Dunia Yumna tiba-tiba berubah ketika sebuah video syur seorang wanita yang wajahnya mirip dengan dirinya sedang bercinta dengan pria tampan, di putar di layar lebar pada hari pernikahan.
Azriel menuduh Yumna sudah menjual dirinya kepada pria lain, lalu menjatuhkan talak beberapa saat setelah mengucapkan ijab qobul.
Terusir dari kampung halamannya, Yumna pun pergi merantau ke ibukota dan bekerja sebagai office girl di sebuah perusahaan penyiaran televisi swasta.
Suatu hari di tempat Yumna bekerja, kedatangan pegawai baru—Arundaru—yang wajahnya mirip dengan pria yang ada pada video syur bersama Yumna.
Kehidupan Yumna di tempat kerja terusik ketika Azriel juga bekerja di sana sebagai HRD baru dan ingin kembali menjalin hubungan asmara dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Arundaru mulai mempersiapkan tempat di sebuah kafe kecil, walau masih ada waktu tiga hari lagi. Kafe itu terletak di sudut kota, dikelilingi pepohonan mungil yang daunnya bergerak lembut tertiup angin sore. Cahaya lampu kuning keemasan di bagian dalam membuat suasananya hangat dan romantis.
Dia sengaja memilih kafe itu karena memiliki area semi outdoor yang tidak terlalu luas, tapi tertata cantik. Ada lampu-lampu kecil yang menjuntai seperti bintang, serta sudut foto yang biasanya digunakan para pengunjung untuk mengambil gambar.
“Aku harus mempersiapkan semuanya dengan matang,” gumam Arundaru sambil menatap area panggung kecil berukuran satu meter itu. “Aku ingin momen ungkapan cinta itu memberikan kesan yang tak terlupakan dalam hidup Yumna.”
Barata yang berdiri di sampingnya hanya menghela napas panjang sambil memeluk dada. “Gila. Kamu serius banget. Biasanya kebanyak orang ngomong cinta itu cuma dua menit. Aku saja bilang cinta sama pacaraku lewat telepon.”
“Beda, Bara. Yumna ini ....” Arundaru menatap langit-langit kafe, membayangkan ekspresi Yumna. “… perempuan yang bikin aku pengen jadi versi terbaik diriku.”
Barata menepuk bahunya dengan tatapan geli. “Kalau dia nolak, apa kamu siap mental?”
“Bodoh amat,” balas Arundaru sambil mendorong pelan kepala sepupunya. “Aku cuma harus bilang. Urusan hati dia, itu hak dia.”
Barata mengangguk pelan. “Ya, udah, ayo lanjut! Kita dekor dari sekarang biar enggak mepet.”
Mereka pun mulai merancang konsep dekorasi. Arundaru ingin sesuatu yang sederhana, namun bermakna. Beberapa lilin kecil di atas meja, rangkaian bunga putih yang menenangkan, serta satu bingkai foto kosong di tengah meja yang nanti akan diisi foto berdua Yumna dan Arundaru jika perempuan itu menerima cintanya.
Jarang-jarang Arundaru mau melakukan hal seperti itu. Bahkan dengan mantan kekasihnya saja tidak ada acara romantis seperti ini.
"Kayaknya dulu mantan tunangan kamu pun tidak mendapatkan perlakuan semacam ini," celetuk Barata sambil menyeringai jahil.
“Aku berubah banyak, Ta,” ucap Arundaru sambil merapikan lilin. “Dan perubahan ini karena dia.”
Barata hanya tersenyum kecil. “Cinta memang bikin orang jadi aneh.”
***
Yumna sedang mengepel lantai lorong lantai lima. Pagi itu gedung tampak sibuk. Banyak karyawan hilir-mudik. Yumna menunduk sambil memeras kain pel, gerakannya cepat dan teratur karena sudah terbiasa dengan ritme kerja seperti itu.
Langkah seseorang terdengar mendekat, disertai suara ketikan ponsel. Yumna yang sedang bergerak mundur tidak sadar bahwa orang itu berjalan sambil membaca pesan.
BRUK!
“Maaf, Pak! Tidak sengaja,” ucap Yumna buru-buru sambil menundukkan kepala.
“T-tidak apa-apa, Mbak. Aku juga—” ucapannya terhenti tiba-tiba. Orang tersebut mematung, tatapannya tidak lepas dari wajah Yumna. “Yumna?!”
Mendengar namanya di panggil, Yumna mengangkat kepala perlahan. Begitu matanya menangkap sosok di depannya, tubuhnya langsung kaku.
“Azriel?” Yumna memundurkan diri setengah langkah. “Sedang apa kamu di sini?”
Azriel tersenyum kecil. Senyuman yang dulu selalu membuat Yumna luluh, tetapi sekarang justru membuat dadanya sesak dan tidak nyaman.
“Aku bekerja di sini sekarang. Menjadi pemimpin HRD yang baru.”
“Ap—apa?!” Suara Yumna bergetar. Tangannya meremas gagang pel dengan kuat. Ia terkejut setengah mati karena kini bekerja di tempat yang sama dengan mantan suaminya.
Azriel melangkah setapak mendekat. “Aku baru mulai hari ini. Waktu lihat daftar karyawan cleaning service, aku langsung penasaran apa benar itu kamu.”
“Untuk apa kamu penasaran?" tanya Yumna merasa tidak suka.
“Aku ingin bicara sama kamu, Yumna. Banyak sekali hal yang harus kita bicarakan berdua,” jawab Azriel dengan tatapan memohon.
Yumna menelan ludah, merasa dadanya nyeri. “Kamu, seharusnya tidak mengungkit yang sudah lewat.”
“Yumna ....” Azriel menghela napas panjang. “Aku masih ingat semuanya.”
Yumna terdiam, hatinya terasa berat. Bukan karena masih menyimpan rasa, melainkan karena trauma, luka, dan ucapan-ucapan Azriel di masa lalu yang dulu sudah menghancurkan dirinya.
Berbeda dengan Yumna yang gugup, Azriel tampak begitu senang. Tatapan matanya dipenuhi harapan yang membuat Yumna semakin tidak nyaman.
“Aku akan rebut hatimu kembali, Yumna,” ucap Azriel mantap. Suaranya rendah, tapi penuh tekad. “Aku sungguh menyesal. Aku ingin memperbaiki semuanya.”
Yumna memejamkan mata sejenak. Hatinya tidak lagi bergetar mendengar kata-kata itu. Justru kini ia merasakan jarak yang begitu lebar antara dirinya dan pria tersebut.
Sesaat kemudian, suara langkah cepat terdengar mendekat dari ujung lorong.
“Yumna!” Arundaru muncul sambil membawa beberapa berkas. Wajahnya langsung berubah ketika melihat Azriel berdiri di dekat Yumna dengan jarak terlalu dekat. Tatapan Arundaru mengeras, dan rahangnya menegang.
Azriel menoleh kepada Arundaru. Senyum kecil muncul di bibirnya. Dalam hati berkata, “Oh, ini yang namanya Arundaru, ya? Pria yang datang ke desa dulu.”
Arundaru mengangkat dagu sedikit, sinis. Dia tidak menyangka kalau mantan suami Yumna sekarang bekerja di kantornya.
“Siapa orang yang sudah menerima dia kerja di sini? Malah buat beban aku saja,” batin Arundaru merasa kesal.
Dua pria itu saling bertatap tanpa berkedip. Udara di antara mereka terasa menegang.
“Yumna,” ucap Arundaru tiba-tiba sambil meraih tangan Yumna. “Ada pekerjaan yang harus kamu bantu di lantai dua.”
Sentuhan itu membuat Yumna tersentak. Namun, ia tidak melepaskan tangan Arundaru. Ada rasa aman, terasa hangat.
Azriel melangkah setapak, mencoba menahan. “Yum—”
Dengan cepat Arundaru menoleh kepada Azriel, tatapannya tajam. “Dia sedang bekerja. Jangan ganggu!”
Azriel membalas tatapan itu tanpa gentar. “Aku hanya ingin bicara sebentat.”
“Sudah cukup,” balas Arundaru dingin. “Jangan gunakan jabatan baru kamu untuk mengusik Yumna.”
Yumna memandang keduanya bergantian, jantungnya berdetak kencang karena canggung dan takut terjadi keributan. “Sudah, jangan berdebat.”
Arundaru mendekatkan tubuhnya sedikit ke arah Yumna, seolah sengaja memberi batas. “Ayo, Yumna.”
Yumna mengangguk perlahan. Ia membungkukkan tubuh sedikit kepada Azriel. “Maaf, saya harus kembali bekerja.”
Azriel hanya memandang kepergian mereka dengan mata perih. “Aku tidak akan menyerah,” gumamnya lirih.
Yumna dan Arundaru berjalan menjauh. Tangan mereka sudah tidak saling menggenggam, tapi jarak antara keduanya begitu dekat seperti ada ikatan tak terlihat yang mulai terhubung.
Sementara itu, Arundaru menahan diri agar tidak melepaskan emosinya. Geram, cemburu, dan rasa takut kehilangan Yumna bercampur satu.
“Maaf,” ucap Yumna lirih, merasa tidak enak atas ketegangan tadi.
Arundaru berhenti berjalan. Dia menatap Yumna dalam. “Kamu tidak salah apa-apa.”
Yumna menunduk. Napasnya pendek, wajahnya memerah. Entah kenapa setiap Arundaru menatapnya seperti itu, dadanya terasa hangat.
“Mulai hari ini,” ucap Arundaru lirih tapi penuh tekad, “aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi.”
Yumna memandang pria itu. Ada sesuatu di matanya. Ketulusan yang selama ini tidak pernah ia temukan pada orang-orang disekitarnya. Hati dia bergetar pelan, tapi nyata.
Dan untuk pertama kalinya, Yumna bertanya dalam hatinya, ”Apa aku mulai menyukai Arundaru?”
Yumna kembali bekerja, begitu juga dengan Arundaru yang kembali ke ruangannya dengan hati kalut. Ia membanting tubuhnya ke sofa, menutup wajah dengan kedua tangan.
“Dia tidak boleh kembali pada Azriel,” bisik Arundaru lirih. “Tidak akan kubiarkan.”
Namun, beberapa detik kemudian, ia tersenyum. Senyum kecil yang hanya muncul ketika ia teringat Yumna yang tadi berjalan di sampingnya dan menggenggam tangannya dengan erat.
“Apa pun yang terjadi, aku akan jujur tentang perasaanku.”
Arundaru tahu satu hal dengan pasti. Ia sudah jatuh cinta. Dan cinta itu tidak mungkin disembunyikan lagi.
semoga keluarga Arun bisa menerima Yumna
ibunya arun gmn setujua g sm yumna
secara yumna kan bukan kalangann atas