Edward terkejut saat istrinya yang hilang ingatan tiba-tiba mengajukan gugatan cerai kepadanya.
Perempuan yang selama empat tahun ini selalu menjadikan Edward prioritas, kini berubah menjadi sosok yang benar-benar cuek terhadap apapun urusan Edward.
Perempuan itu bahkan tak peduli lagi meski Edward membawa mantan kekasihnya pulang ke rumah. Padahal, dulunya sang istri selalu mengancam akan bunuh diri jika Edward ketahuan sedang bersama mantan kekasihnya itu.
Semua kini terasa berbeda. Dan, Edward baru menyadari bahwa cintanya ternyata perlahan telah tumbuh terhadap sang istri ketika perempuan itu kini hampir lepas dari genggaman.
Kini, sanggupkah Edward mempertahankan sang istri ketika cinta masa kecil perempuan itu juga turut ikut campur dalam kehidupan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Takut
"Nona Rihanna?"
Nana langsung berdiri antusias saat seorang wanita dengan setelan kerja yang rapi datang menghampirinya.
"Bu Shera?"
Keduanya saling berjabat tangan. Kemudian, mereka duduk saling berhadapan dengan senyum diwajah masing-masing.
"Senang bertemu dengan Anda, Nona Rihanna!" sapa Shera, wanita berusia 43 tahun yang berprofesi sebagai seorang pengacara.
Nama Shera Benjamin sudah terkenal dimana-mana. Perempuan independen itu kerap kali menjadi pengacara yang mendampingi banyak kalangan orang atas dalam proses perceraian mereka.
Kabarnya, tarif wanita itu juga tidaklah murah . Ditambah lagi, akhir-akhir ini Shera Benjamin tidak sembarangan lagi dalam menerima klien.
Hanya orang-orang yang kenal dekat dengannya saja yang bisa menyewa jasanya dalam beberapa tahun terakhir.
"Panggil Nana saja, Bu Shera," pinta Nana.
Shena pun mengangguk. "Baiklah, kalau itu memang kemauan Nona Rihanna. Mulai sekarang, saya akan panggil Nana saja."
Rumor diluar sana ternyata tidaklah benar. Katanya, Shera Benjamin adalah seorang perempuan yang jarang tersenyum dan susah sekali didekati.
Namun, pada kenyataannya, wanita dewasa itu justru tampak sangat ramah dan memberi kesan hangat kepada Nana.
"Jadi, Nana nggak mau menuntut harta gono-gini apapun kepada Tuan Edward?" tanya Shera memastikan.
Pasalnya, baru kali ini dia mendapatkan seorang klien perempuan yang ingin bercerai tanpa menginginkan bagian dari kekayaan suaminya.
"Iya, Bu Shera. Saya nggak mau menuntut apapun dari Edward. Tapi, ada hal lain yang ingin saya kejar dari dia."
"Apa itu?" tanya Shera dengan tatapan serius.
"Saya ingin menuntut keuntungan saham yang saya miliki di perusahaan Tuan Edward yang selama empat tahun terakhir tidak pernah beliau berikan kepada saya."
"Berapa banyak saham yang Nana miliki di perusahaan Tuan Edward?"
"10 persen," jawab Nana.
"Dan, hasil keuntungan saham itu nggak pernah dikasih sedikitpun kepada Nana?"
Nana mengangguk. "Selama ini, keuntungan saham saya selalu masuk di rekening bersama milik kami. Dan, rekening tersebut selalu dikuasai oleh Edward semenjak kami menikah."
Shera memperbaiki letak kacamatanya. Selintas, dia sudah bisa memahami bagaimana situasi Nana yang sekarang.
Perempuan muda itu mungkin terlalu bucin di masa lalu. Sehingga, semua uang yang dia miliki pun, dia serahkan sepenuhnya kepada sang suami.
Ya, hal seperti ini sudah sangat lumrah di jaman sekarang. Saat perempuan jatuh cinta, kebanyakan memang tak memakai logika.
Namun, saat logika mulai digunakan, itu saatnya para lelaki harus mulai waspada. Karena, wanita yang sudah memakai logika, terkadang jauh lebih berbahaya dibanding harimau yang hidup di alam liar.
"Baiklah! Dalam beberapa hari, berkas perceraian Nana pasti sudah jadi. Nana tinggal menunggu saja di rumah."
"Terimakasih, Bu Shera."
"Ya, sama-sama," angguk Shera.
"Ngomong-ngomong, tarif Bu Shera berapa, ya?" tanya Nana sedikit sungkan. Setahunya, tarif Shera sebagai seorang pengacara cukup tinggi. Takutnya, uang Nana tidak akan cukup.
"Murah saja. Hanya dua juta."
"Hah?" Nana melongo tak percaya.
Dua juta? Serius? Bukan dua ratus juta?
"Kenapa? Apa tarif saya terlalu mahal untuk Nana? Kita masih bisa negosiasi, kok."
"Nggak," geleng Nana cepat. "Bukan itu maksud saya. Saya nggak ada masalah dengan biaya segitu," lanjutnya Nana sambil nyengir malu-malu.
"Baiklah. Kalau begitu, saya pamit dulu! Masih ada pekerjaan lain yang harus saya selesaikan."
"Terimakasih banyak, Bu Shera!"
Nana tersenyum sumringah melepas kepergian Shera. Syukurlah! Ternyata, tarif pengacara kondang itu tidak semahal yang Nana pikirkan.
Meski, dia memiliki kartu hitam pemberian sang Ayah, namun Nana tetap merasa sungkan jika harus menggunakan uang itu banyak-banyak.
Bahkan, setelah keluar dari Hotel Marriott, Nana lebih memilih untuk menyewa sebuah kontrakan kecil untuk ia tinggali selama beberapa waktu.
*
*
*
Nana menarik napas panjang ketika dirinya kembali ke rumah yang selama empat tahun ini pernah menjadi tempat berteduh untuk dirinya.
Dirumah ini, banyak kenangan pahit yang telah terukir. Tentang bagaimana Edward memarahinya, memakinya, bahkan tidak segan-segan menamparnya jika menurutnya Nana melakukan kesalahan.
Saat semua ingatan menyakitkan itu kembali perlahan memenuhi kepalanya, air mata Nana seketika menggenang. Sakit saat mengenangnya namun anehnya dulu Nana sanggup tetap bertahan.
Itu bodoh kan, namanya?
"Tuan Edward!" sapa Nana saat menemukan pria itu sedang duduk di ruang tamu dengan wajah yang terlihat sangat kusut.
"Loh, Na? Akhirnya, kamu pulang juga!"
Wajah kusut pria itu seketika berubah cerah saat melihat keberadaan Nana. Hal yang tentu saja menjadi pemandangan langka di mata Nana.
Apakah sebelum Nana hilang ingatan, Edward pernah menyambut kepulangannya seantusias ini? Sepertinya, tidak. Karena, yang Nana rasakan saat ini hanyalah sakit dibagian dadanya seiring ingatan tentang kemarahan Edward ketika dia pulang terlambat suatu malam.
"Darimana saja kamu? Apa kamu habis main-main dengan pria lain diluar sana mentang-mentang aku tidak ada di rumah, hah? Dasar perempuan liar!"
"Maaf, Ed. Tadi, motorku mogok di jalan. Jadi, aku harus mendorongnya sampai di rumah."
"Jangan banyak alasan! kamu pikir, kamu bisa membohongiku? Sekali perempuan murahan, tetap saja murahan! Cuih!"
"Mana koper kamu? Sini, biar aku bawakan ke dalam kamar!"
Degh!
Suara Edward secara reflek menarik Nana keluar dari ingatan masa lalunya. Tampak, Nana berusaha menetralkan napasnya setelah merasa sesak yang amat menyiksa dibagian dadanya.
Setelah merasa sedikit lebih baik, Nana langsung menatap Edward dengan tatapan nyalang.
"Saya ke sini cuma sebentar kok, Tuan Ed! Jadi, nggak perlu bawa koper," sahutnya Nana dengan wajah dinginnya.
"Maksudnya?"
"Ini berkas perceraian kita! Cepat tanda tangani supaya urusan kita cepat selesai!" tukas Nana sembari menyerahkan sebuah berkas kepada Edward.
Degh!
Detak jantung Edward seketika menjadi cepat. Dia menerima berkas itu dengan perasaan campur aduk.
Pelan, dibukanya berkas itu dan ia baca isinya secara seksama.
"Na! Kamu benar-benar ingin bercerai?" tanya Edward dengan mata memerah.
"Menurut, Tuan Edward?" sahut Nana. "Apa berkas itu belum cukup sebagai bukti?"
Edward menghela napas kasar. Secara spontan, dia merobek berkas perceraian itu dengan penuh amarah.
"Nggak. Aku nggak setuju untuk bercerai, Na!" tolak Edward sambil menghamburkan lembaran kertas yang sudah dia robek kecil-kecil ke udara.
"Nggak masalah kalau Tuan Edward menolak menandatangani berkas itu. Nanti, pengacara saya tetap akan mengajukan gugatan saya ke pengadilan agama!"
"Na!" Edward mencengkram kuat bahu Nana. "Tolong jangan seperti ini! Tolong jangan melakukan hal yang akan kamu sesali nantinya."
Air mata Edward mulai jatuh membasahi pipi pria itu. Nana yang melihat itu pun sontak menjadi heran.
Apa yang Edward tangisi?
"Saat ingatan kamu kembali nanti, pasti kamu akan sangat menyesal, Na. Jadi, tolong hentikan semuanya! Aku mohon!"
"Tuan Edward tenang saja! Sekalipun, ingatan saya kembali, saya tetap yakin kalau saya nggak akan pernah menyesal karena telah mengambil keputusan sebesar ini."
Sorot mata Nana begitu meyakinkan. Dan, bolehkah Edward mengaku jika saat ini dia sedang ketakutan?