Sebuah kecelakaan beruntun merenggut nyawa Erna dan membuat Dimas terbaring lemah di ruang ICU. Di detik-detik terakhir hidupnya, Dimas hanya sempat berpesan: "Tolong jaga putri saya..." Reza Naradipta, yang dihantui rasa bersalah karena terlibat dalam tragedi itu, bertekad menebus dosanya dengan cara yang tak terduga-menjodohkan Tessa, putri semata wayang Dimas, dengan putra sulungnya, Rajata. Namun Rajata menolak. Hatinya sudah dimiliki Liora, perempuan yang ia cintai sepenuh jiwa. Tapi ketika penyakit jantung Reza kambuh akibat penolakannya, Rajata tak punya pilihan selain menyerah pada perjodohan itu. Tessa pun terperangkap dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa harus menjadi beban orang lain. Namun takdir justru menjerat mereka dalam ikatan yang penuh luka. Bisakah Tesha bertahan di antara dinginnya penolakan? Dan mungkinkah kebencian perlahan berubah menjadi cinta?
Keputusan terbaik?
Pagi itu, aktivitas kembali seperti biasa. Tessa ada kelas pagi, jadi ia memilih mandi lebih dulu sebelum Rajata terbangun.
Aroma sabun yang lembut menguar dari kamar mandi, merambat ke seluruh sudut kamar. Rajata yang masih terlelap perlahan menggeliat, kemudian terbangun ketika samar-samar mendengar suara gemericik air. Ia meraih ponselnya di meja samping ranjang—pukul tujuh kurang lima menit.
Dengan mata yang masih berat, ia duduk bersandar pada kepala ranjang. Tarikan napas panjang ia hembuskan, mencoba mengumpulkan nyawanya yang belum terkumpul sepenuhnya. Tepat saat itu, suara pintu kamar mandi terbuka perlahan.
Tessa muncul, hanya dibalut handuk putih yang dililit di tubuh mungilnya. Rambutnya masih basah, tetesan air jatuh di bahunya yang pucat, menelusuri kulit hingga ke tulang selangka. Ia tertegun sesaat ketika melihat Rajata sudah duduk di sana, menatapnya dengan mata yang kini terbuka penuh.
Tessa mendadak kaku. Awalnya ia mengira Rajata masih tidur pulas, jadi ia berencana hanya mengambil pakaiannya sebentar lalu kembali masuk. Namun kini, rencana itu buyar.
Tatapan mereka bertemu. Sunyi. Hanya terdengar detik jam yang seolah berdetak lebih keras dari biasanya.
Rajata menelan ludah, matanya tak berkedip sedikit pun. Pemandangan di hadapannya membuat dadanya berdebar cepat—kulit putih Tessa yang tampak di bagian pundak, tetesan air yang mengilap di permukaan kulitnya, dan rona malu yang merambat di wajah gadis itu.
"Heh!! Tutup mata lo nggak... atau gue colok ya?!" teriak Tessa dengan panik ketika menyadari arah pandangan Rajata yang jelas-jelas tertuju padanya. Tangannya sepontan menyilang didadanya.
Lamunan Rajata langsung buyar. Ia berkedip cepat, lalu menghela napas panjang, mencoba menutupi wajahnya yang tiba-tiba terasa panas. Ia memutar bola mata dengan malas sambil menyandarkan diri ke kepala ranjang.
"Nggak usah ke-PDan lo. Mau lo telanjang sekalipun, gue nggak bakal nafsu lihat lo!" ujarnya sinis, bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang sengaja dibuat menyebalkan.
Tentu saja ucapan Rajata barusan sangat berbeda dengan isi kepalanya. Sejak tadi pikirannya justru sudah melayang ke mana-mana—berkecamuk dengan bayangan kulit putih Tessa yang masih basah, aroma sabun yang lembut melekat di udara, dan siluet tubuhnya yang hanya tertutup handuk tipis. Ia berdeham keras, berusaha mengusir semua imajinasi liar itu dari kepalanya.
Dengan napas sedikit berat, Rajata akhirnya bangkit dari tempat tidur, berniat masuk ke kamar mandi. Namun langkahnya terhenti ketika Tessa masih berdiri di depan pintu kamar mandi sambil menutup bagian dada nya menggunakan tangan.
Tessa tampak waswas, matanya membulat, dan ia spontan mundur selangkah ketika melihat Rajata mendekat.
"Mau... mau ngapain lo?" tanyanya dengan nada tinggi, terdengar gugup.
Rajata tidak menjawab. Ia justru melangkah maju, hanya satu langkah, tapi cukup untuk membuat Tessa mundur lagi selangkah, punggungnya hampir menyentuh daun pintu kamar mandi.
"Ja... jangan macem-macem, Ya! Atau gue teriak, sumpah!!" ancam Tessa, nada suaranya bergetar.
Rajata menyipitkan mata, sedikit tersenyum miring, namun nadanya tetap terdengar malas seperti biasa.
"Minggir, bego. Gue mau mandi," ujarnya santai. "Lo ngalangin jalan gue."
Tessa terdiam sejenak, wajahnya memanas entah karena malu atau takut. Ia ragu, tapi akhirnya menggeser tubuhnya sedikit ke samping, memberi celah agar Rajata bisa lewat.
Rajata melangkah melewatinya begitu dekat hingga bahu mereka nyaris bersentuhan. Aroma sabun yang masih melekat di tubuh Tessa menyeruak, membuatnya harus menahan diri untuk tidak menarik napas terlalu dalam. Ia menggertakkan gigi pelan, lalu masuk ke kamar mandi sambil membanting pintu ringan di belakangnya.
Setelah pintu kamar mandi tertutup, Tessa masih berdiri di tempat dengan wajah semerah tomat. Ia mendesah keras, lalu menjatuhkan diri ke tempat tidur sambil menutup wajah dengan kedua tangan.
"Ya ampun, Tessa... bego banget sih lo! Bisa-bisanya bikin malu gitu!" gerutunya sambil mengetuk pelan kepalanya sendiri.
Sementara di dalam kamar mandi, Rajata menatap cermin sambil mengusap wajahnya sendiri. "Gila... ini cewek bisa bikin gue gila kalau begini terus," desisnya lirih.
Setelah berganti pakaian, Tessa memilih turun lebih dulu ke lantai bawah. Ia sengaja menghindari Rajata karena rasa malunya belum hilang. "Bisa-bisanya gue mikir dia mau macem-macem, padahal dia cuma mau masuk kamar mandi. Malu banget!" batinnya sambil menutup wajah sebentar dengan tangan.
Di ruang makan, sudah ada Reza, Renata, dan Carissa—adik iparnya. Suasana tampak hangat dengan obrolan santai mereka.
Reza yang sedang menyeruput teh langsung mendongak begitu mendengar suara langkah Tessa di tangga. Ia tersenyum kecil ketika mata mereka bertemu. Sekilas pandangannya jatuh pada tampilan Tessa pagi itu—sederhana, tapi entah bagaimana justru memancarkan pesona berbeda.
Atasan hitam polos yang jatuh rapi di tubuhnya, potongan asimetris di bagian bawah membentuk garis yang mempertegas siluet pinggangnya. Rok putih panjang berbahan ringan bergoyang lembut mengikuti setiap langkahnya, memberi kesan feminin yang tak dibuat-buat. Sepasang sneakers putih melengkapi penampilan itu, memadukan kesan santai dan elegan sekaligus.
"Pagi, Pak Reza," sapa Tessa pelan saat tiba di meja makan. Tadinya ia ingin bergabung, tapi tatapan dingin Renata—ibu mertuanya—dan Carissa membuat langkahnya urung. Suasana itu terasa terlalu berat baginya.
"Saya berangkat dulu, Pak," ucapnya cepat sambil menunduk.
Reza mengernyit. "Kamu nggak sarapan dulu? Atau mau nunggu Rajata selesai?"
Tessa menggeleng cepat. "Saya ada kelas pagi, Pak. Lagipula masih ada beberapa barang yang harus saya ambil di rumah lama. Takut nggak keburu."
Reza sempat ingin menahan, tapi melihat raut wajah Tessa yang canggung, ia mengurungkan niatnya. Ya... butuh waktu untuk Tessa beradaptasi di rumah ini. Ia tak mau memaksa.
Begitu keluar dari rumah, Tessa menarik napas panjang, berusaha menenangkan debaran di dadanya. Udara pagi yang sejuk sedikit membantu meredakan perasaan tidak nyaman yang sejak tadi menggelayuti hatinya.
Kenapa rasanya berat banget tinggal di sana? batinnya berbisik. Tatapan dingin Renata dan Carissa tadi kembali terlintas di kepalanya, membuat langkahnya semakin cepat menjauh dari rumah itu.
Tessa merogoh ponsel dari dalam tas, buru-buru membuka aplikasi ojek online. Sepeda motor yang biasa ia gunakan tertinggal di rumah lamanya, jadi ia tak punya pilihan lain.
"Ini mana sih lama banget..." gumamnya pelan, menunggu notifikasi driver. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk belakang ponsel dengan gelisah. Dalam hati ia berharap perjalanan ke kampus kali ini cukup untuk membuat pikirannya lebih jernih.
Tak lama, notifikasi muncul di layar ponselnya. Driver sudah dalam perjalanan menjemput. Tessa menarik napas lega, lalu melangkah ke depan pagar, berdiri menunggu sambil memeluk tasnya erat-erat.
***
Begitu sampai di kampus, Rajata baru saja keluar dari mobilnya ketika suara yang sangat ia kenal memanggil keras.
"Rajata!"
Benar saja. Liora berdiri di sana, kedua tangannya terlipat di dada, wajahnya menegang. Rajata menghela napas panjang, seperti sudah memprediksi ini akan terjadi.
"Sayang... maksud kamu apa mutusin aku sepihak?" Liora langsung menyerbu mendekat. Matanya tampak memerah, suaranya bergetar menahan emosi.
"Rajata... tolong jangan kayak gini. Aku nggak ngerti... salahku apa? Kamu marah karena apa? Aku bisa perbaiki kalau aku salah... jadi jangan tiba-tiba ninggalin aku gini."
Rajata memejamkan mata sejenak, mencoba mengatur napas yang terasa begitu berat. Melihat Liora dengan mata sembab dan suara yang bergetar hampir membuat pertahanannya runtuh. Ia ingin memeluk gadis itu, menenangkan tangisnya, dan berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Namun bayangan ayahnya yang terbaring lemah setelah serangan jantung kembali memenuhi pikirannya. Isak tangis Tessa di pemakaman kemarin terus terngiang di telinganya. Entah kenapa, ia merasa sekarang Tessa jauh lebih membutuhkan dirinya... dan itu lebih menakutkan daripada harus menyakiti Liora.
"Rajata..." suara Liora pecah, "kenapa kamu mutusin aku? Aku ada salah apa? Kalau aku salah, bilang... aku akan perbaiki!" Ulang Liora dengan isakan
Rajata menghela napas panjang. Ia mendongak, menatap mata Liora yang berkaca-kaca. Dan untuk pertama kalinya, ia berbohong dengan penuh kesadaran.
"Kamu nggak salah apa-apa." suaranya terdengar berat, tapi tegas.
"Masalahnya ada di aku. Aku baru sadar... kita nggak akan pernah bisa ke mana-mana. Kamu tahu sendiri, kita beda keyakinan."
Liora tertegun, matanya membulat. "Jadi... itu alasan kamu? Setelah semua yang kita lalui, kamu baru bilang ini sekarang? Rajata... selama ini kamu nggak pernah peduli soal itu!"
"Sekarang aku peduli." Rajata membuang pandangan, menyembunyikan luka di balik sikap dinginnya.
"Aku nggak mau kita berdua makin jauh dan akhirnya tetap saling menyakiti."
Liora menggeleng cepat, air matanya jatuh deras. "Jangan bohong! Ini bukan tentang agama, kan? Kalau kita sama-sama mau, kita pasti bisa cari jalan. Jangan jadi pengecut, Ja... jangan pakai alasan ini buat ninggalin aku!"
"Cukup.. Liora." Rajata mengeraskan suara, meski hatinya perih mendengar gadis itu memohon.
"Hargai keputusanku. Jangan buat ini makin sulit. Kamu berhak dapet yang lebih dari aku."
Sebelum Liora bisa kembali menahan atau berkata apa-apa, Rajata melangkah pergi cepat. Ia tak berani menoleh. Ia tahu kalau ia menatap Liora sekali lagi, semua akan runtuh.
Di belakangnya, Liora terisak, tubuhnya limbung sebelum jatuh berlutut di aspal parkiran. Sementara itu, Rajata terus berjalan tanpa ekspresi. Dalam hati ia berbisik lirih, "Maaf... ini cara terbaik untuk kita berdua."
jangan2...
kasihan, malang benar nasibmu Tessa