Arum Mustika Ratu menikah bukan karena cinta, melainkan demi melunasi hutang budi.
Reghan Argantara, pewaris kaya yang dulu sempurna, kini duduk di kursi roda dan dicap impoten setelah kecelakaan. Baginya, Arum hanyalah wanita yang menjual diri demi uang. Bagi Arum, pernikahan ini adalah jalan untuk menebus masa lalu.
Reghan punya masa lalu yang buruk tentang cinta, akankah, dia bisa bertahan bersama Arum untuk menemukan cinta yang baru? Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06. Rasa cemburu itu muncul sendiri tanpa diminta.
Setelah insiden di meja makan itu, suasana rumah besar keluarga Argantara berubah senyap. Para pelayan berjalan hati-hati, tak berani bersuara sedikit pun. Suara pecahan piring dan gelas yang tadi menggema kini sudah lenyap, tapi ketegangan di udara masih terasa menggantung seperti kabut yang tak mau pergi.
Arum menggenggam gagang kursi roda Reghan dengan hati-hati, membawanya ke arah taman belakang sesuai permintaan Oma Hartati yang ingin suasana menjadi lebih tenang. Di sana, sinar matahari menembus celah dedaunan, jatuh di rambut Arum yang berantakan, membuat wajah pucatnya tampak sedikit lebih hangat.
“Ayahmu tidak seharusnya mengatakan hal itu,” gumam Oma Hartati dengan suara pelan namun penuh amarah yang ditahan. “Dia lupa siapa yang membesarkan perusahaan itu sejak awal.”
Reghan hanya diam, matanya kosong menatap kolam kecil di depan taman. Urat di pelipisnya masih menegang, rahangnya mengeras menahan emosi yang belum reda.
“Dia tahu aku masih bisa berpikir jernih,” suaranya rendah, parau, tapi penuh bara yang terpendam. “Tapi dia tetap memilih Elion, anak dari perempuan itu.”
Arum yang berdiri di belakang kursi rodanya menunduk. Ia tahu Reghan sedang marah, tapi dalam setiap nada bicaranya, Arum juga mendengar luka. Luka yang lebih dalam dari sekadar kehilangan jabatan, itu tentang kepercayaan dan harga diri yang dirampas oleh orang yang seharusnya melindunginya.
Oma Hartati menepuk pelan bahu cucunya. “Sudahlah, Re. Mereka hanya menunggu kau menyerah. Jangan berikan itu pada mereka.”
Reghan mendengus pelan. “Mereka sudah merebut segalanya, Oma.
"Bahkan harga diriku.”
Suara Reghan nyaris seperti bisikan, tapi cukup untuk membuat dada Arum ikut mengencang. Ia menatap punggung pria itu yang tegap namun tampak rapuh di bawah cahaya pagi.
Oma Hartati menghela napas panjang. “Harga dirimu tidak bisa direbut siapa pun, Reghan. Kau hanya perlu berdiri lagi … meskipun dengan cara yang berbeda.”
Reghan menoleh perlahan, matanya tajam tapi sayu. “Berdiri? Bahkan berjalan pun aku belum tentu bisa, Oma.”
Kata-kata itu meluncur dengan getir. Untuk pertama kalinya, Arum melihat sisi rapuh dari sosok yang selama ini selalu terlihat dingin dan tak tersentuh.
Oma Hartati hanya menatap cucunya lama. “Kalau begitu, berdirilah di sini...” ia menepuk dada Reghan perlahan, “bukan dengan kaki, tapi dengan hati dan kepala.”
Seketika, suasana hening kembali. Hanya suara air mancur kecil yang terdengar samar dari kejauhan. Arum, yang sejak tadi menunduk, akhirnya berani bersuara. “Tuan … jika boleh saya bicara, mungkin...”
“Tinggalkan aku sebentar,” potong Reghan datar tanpa menatapnya. Nada suaranya tak meninggi, tapi cukup membuat Arum terdiam. Ia hanya menunduk lebih dalam, lalu mundur beberapa langkah. Namun sebelum benar-benar menjauh, ia mendengar suara lirih Reghan nyaris seperti gumaman pada diri sendiri.
“Aku tidak akan membiarkan mereka menang. Tidak Elion, tidak Maya, dan tidak Alena.”
Kalimat itu menggantung di udara, berat dan penuh dendam yang mulai tumbuh. Arum berdiri di balik pepohonan, menatap sosok Reghan yang kini membisu di bawah sinar matahari. Ia bisa melihat dari kejauhan bagaimana tangan pria itu menggenggam sandaran kursi rodanya erat-erat, seolah berusaha menahan sesuatu yang jauh lebih menyakitkan daripada luka fisik.
Sementara dari sisi lain taman, dua sosok tampak berjalan pelan Alena dan Elion. Mereka berdiri di antara semak mawar, berbicara dengan suara rendah. Arum sempat melihat Alena menyentuh tangan Elion, gerakan lembut yang terlalu intim untuk dua orang yang seharusnya sekadar ipar. Arum belum tahu apa hubungan di antara mereka berdua.
Tatapan mata Alena sesekali mengarah ke Reghan di kejauhan. Senyum samar terbit di bibirnya, senyum yang tak bisa ditafsirkan antara iba atau kemenangan.
Elion pamit dengan tergesa, jas hitamnya berayun ringan ketika melangkah menuju mobil di halaman depan. Beberapa pelayan menunduk memberi hormat, sementara Alena hanya melambaikan tangan sekilas sebelum kembali memutar tubuhnya ke arah taman belakang menuju ke arah Reghan.
Reghan masih di tempat tadi, duduk diam di kursi rodanya, dengan pandangan menerawang pada permukaan kolam yang tenang. Ia tampak tidak terusik oleh kepergian Elion, atau mungkin justru terlalu sibuk menahan sesuatu di dalam dadanya.
Langkah Alena terdengar lembut, tapi cukup untuk membuat Arum yang masih berdiri tak jauh dari sana menoleh. Gaun putih gading Alena berayun pelan, suaranya lembut tapi bergetar.
“Reghan…” panggilnya, ragu tapi tetap berusaha tegas. Reghan tak menoleh, dia hanya mengembuskan napas pelan, lalu menjawab dengan nada dingin namun sopan. “Ada perlu apa, Alena?”
Suara itu membuat udara di sekitar mereka menegang. Arum, yang memegang nampan berisi teh untuk Oma Hartati, menahan langkahnya tanpa sadar.
Alena tersenyum samar, mencoba menutupi sesuatu di balik sorot matanya. “Tidak, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Setelah tadi di meja makan…”
“Baik-baik saja?” potong Reghan pelan, tapi nada suaranya nyaris seperti ejekan halus. “Kau terlalu khawatir pada seseorang yang sudah tidak penting lagi dalam hidupmu.”
Alena terdiam sejenak, tapi bukannya pergi, ia justru mendekat. Perlahan ia berjongkok di depan kursi roda Reghan, menatapnya dari bawah. Tatapan yang dulu mungkin berarti cinta, kini terasa seperti sisa luka yang belum kering.
“Aku tidak pernah bilang kau tidak penting, Reghan,” ucapnya lirih. “Aku hanya … tak punya pilihan waktu itu.”
Reghan akhirnya menoleh, pandangan matanya tajam, tapi kosong. “Pilihan selalu ada, Alena. Kau hanya memilih yang menguntungkan.”
Sunyi, hanya suara burung-burung kecil yang terdengar di antara daun. Arum berdiri kaku di balik pilar taman, dada kecilnya sesak entah kenapa. Ia bahkan tak mengerti apa yang ia rasakan perih. Tapi ada juga sesuatu yang lain yang bergetar halus di dadanya saat melihat tangan Alena perlahan menyentuh jemari Reghan. Dan anehnya, Reghan tidak menepis.
Arum menunduk cepat, tak ingin melihat lebih jauh. Tapi bisikan pelayan di dekatnya membuat langkahnya kembali tertahan.
“Kasihan sekali Tuan Reghan, ya,” bisik salah satu pelayan wanita.
“Kalau saja kecelakaan itu tidak terjadi, mungkin sekarang beliau yang jadi suami Nona Alena, bukan Tuan Elion.”
Yang lain menimpali lirih, “Benar, mereka dulu sudah tunangan, bahkan cincin pernikahan kabarnya sudah dipesan. Tapi takdir berkata lain…”
"Jangan bicara terlalu keras. Takutnya Nyonya Maya dengar kita bisa dalam masalah sebelum pesta pernikahan berlangsung,"
Arum terpaku, tangannya gemetar ringan, dada terasa semakin sesak. Semua kepingan mulai tersambung tatapan Alena, sikap dingin Reghan, dan amarah tersembunyi yang terasa sejak ia pertama kali tiba di rumah itu.
'Jadi ... mereka dulu adalah sepasang kekasih.'
Dan jika bukan karena kecelakaan itu, mungkin merekalah yang akan duduk berdampingan di meja makan tadi bukan Reghan dengan kursi roda, bukan Elion dengan senyum kemenangan.
Arum menelan ludah pelan, berusaha menenangkan diri, tapi perasaan itu tetap mengalir seperti air yang tak bisa dibendung, yaitu rasa cemburu. Ia memalingkan wajah, menatap taman yang diterpa cahaya. Entah sejak kapan, keberadaan Reghan tak lagi sekadar tugas baginya.
gara gara part ini aku sampai nangis bombai.......,😭😭😭 nyesek banget rasanya nya.....
udah jangan bersinggungan lagi dengan reghan,
walaupun Revan anak reghan kayanya terlalu sakit kalo Arum dan reghan harus bertemu lagi,,takut banget nanti keluarga reghan mengusik Arum lagi,,