Setiap kali Yuto melihat bebek, ia akan teringat pada Fara, bocah gendut yang dulunya pernah memakai pakaian renang bergambar bebek, memperlihatkan perut buncitnya yang menggemaskan.
Setelah hampir 5 tahun merantau di Kyoto, Yuto kembali ke kampung halaman dan takdir mempertemukannya lagi dengan Bebek Gendut itu. Tanpa ragu, Yuto melamar Fara, kurang dari sebulan setelah mereka bertemu kembali.
Ia pikir Fara akan menolak, tapi Fara justru menerimanya.
Sejak saat itu hidup Fara berubah. Meski anak bungsu, Fara selalu memeluk lukanya sendiri. Tapi Yuto? Ia datang dan memeluk Fara, tanpa perlu diminta.
••• Follow IG aku, @hi_hyull
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hyull, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 | Pagi yang Manis
Saat baru saja mengupas bawang, suara hujan terdengar di luar sana. Deras kali. Fara sudah menduga itu sejak semalam, karena biasanya kalau malam harinya panas kali, biasanya besoknya akan turun hujan.
Ia senang karena hujan. Tapi ia cemas juga, kepikiran Ingus dan Kutu. Subuh-subuh kayak gini dua kucing itu pasti sedang tidur di parkiran. Jika hujan, sudah pasti akan dingin. Ikan tongkol yang ia janjikan sudah ludes pula dimasak semua sama mamanya.
“Kenapalah anak dua itu nggak suka wet food instan. Padahal aromanya kan kuat kali. Kayak aroma sarden kalengan,” gumam Fara, memasukkan terasi ke dalam blender, bersamaan dengan 5 siung bawang putih dan 4 siung bawang merah. Tak hanya itu, Fara juga menambahkan sedikit udang ebi, kemudian bumbunya sudah dihaluskan.
Apa yang akan dia buat untuk sarapan pagi itu? Nasi goreng cabe ijo.
Selain bumbu halus, Fara juga mencincang kasar cabai hijau, dan bawang putih. Setelah itu ia mulai menumis.
Tumis bawang putih sejenak, lanjut menumis bumbu, lalu masukkan nasi. Aduk sebentar, masukkan cincangan cabai hijau. Langsung saja ia beri garam, sedikit gula, kecap asin khas Kota Langsa, kecap manis, kecap ikan, dan daun bawang.
Sentuhan terakhir, Fara berikan minyak wijen. Aduk sebentar, kompor pun di matikan. Fara pindahkan ke mangkuk kaca besar, ia taburkan daun sop, lalu ia lanjut membuat telur dadar.
Selesai membuat sarapan, Fara lanjut membuat bakwan, santapan wajibnya hampir di setiap paginya. Sangat mudah membuatnya, sekadar mencampur irisan kol dan parutan wortel. Ia bumbui dengan bawang putih giling, lada, garam dan sedikit gula. Kemudian, ia beri sedikit tepung maizena, dan terigu. Pagi ini bakwannya sangat simple, tanpa telur.
Saat bakwan mulai ia tuang per sendok ke dalam minyak panas, saat itulah senyuman timbul di wajahnya. Ia suka melihat minyak yang beraksi saat bertemu adonan, juga suka dengan aroma yang seketika menyeruak di depan wajahnya.
Mendengar suara pintu rumah tertutup, Fara menoleh ke belakang. Papanya sudah masuk ke dalam rumah, tak perlu menyiram tanaman lagi. Sudah disiram langit.
“Pa… teh manis atau air putih hangat?” tanyanya.
“Air putih hangat aja,” jawab papanya singkat.
Sembari bakwan digoreng, Fara siapkan air untuk papanya, sekalian menata piring di meja makan. Terakhir, ia juga sajikan beberapa potong bakwan di meja makan, sisanya ia masukkan ke dalam kotak makannya—yang sudah berisikan nasi goreng buatannya tadi. Ia susun 5 potong bakwan di sekat terpisah, bersama telur dadar.
Mengembang lagi senyumnya. Selalu bahagia setiap kali melihat bekalnya.
Ia biarkan bekalnya terbuka, masih panas soalnya.
Usai itu, ia sudah masuk ke dalam kamar mandi di kamarnya.
Ia mandi, lalu berpakaian, juga memakai jilbab. Untuk polesan wajah, sekadar sunscreen, garis alis tipis, maskara, dan lipstik nude yang ia beri warna lebih gelap di bagian tengahnya.
Selesai penampilannya di pagi itu. Pipi tembamnya mengembang lagi melihat pantulan tubuh gemoy-nya di cermin. Meski gemoy, tapi penampilannya selalu menarik, dengan pakaian-pakaian longgar agar tak membentuk tubuh ektra-nya.
Fara raih ponsel dan ransel kuningnya. Sebelum melangkah keluar kamar, ia berhenti sejenak. Pandangannya tertuju ke laci meja belajarnya. Beberapa saat kemudian, ia mengambil sesuatu di dalam laci, barulah setelah itu ia keluar dari kamar.
Ia ke dapur, menutup kotak bekal dan ia masukkan ke ransel. Saat menarik resleting ransel, sebuah gantungan kunci berbentuh bebek bergemerincing. Itu gantungan kunci yang baru saja ia ambil dari laci, sengaja ia pasang di ranselnya agar dirinya lebih *happy*.
Melewati meja makan, ia melihat mama papanya sedang sarapan sambil mengobrol.
“Pergi dulu, Ma, Pa,” pamitnya, menyalami kedua orang tuanya.
Mamanya menyambut tangannya. “Uang Tante Ijah udah kirim?”
“Udah, Ma.”
Ia lanjut menyalami papanya. “Hujan ini,” kata papanya.
“Gapapa, Pa. Pake mantel. Pergi ya.”
Ia buka pintu rumahnya, lalu ia pandangi sejenak hujan dari ambang pintu. “Basah juga nih celanaku walaupun pake mantel,” gumamnya. “Yasudah lah, mau kek mana lagi.”
Fara keluarkan Filano kuningnya dari ruang tamu. Di teras, ia panaskan sejenak mesinnya. Sembari membuka mantel—hendak memakainya—ia mendadak dikagetkan dengan suara klakson mobil. Begitu mengangkat pandangannya, ia melihat sebuah mobil berwarna hitam berhenti di tepi jalan di depan rumahnya.
Ia merasa mengenal mobil itu. Kayak pernah lihat.
Sedetik kemudian, dua kaca mobil bergerak turun. Tampaklah Yuki dan Endah. Tak hanya mereka, di samping Yuki, Fara juga dapat melihat Yuto duduk di balik setir.
“Ayo sama kami aja. Gak usah bawa kereta. Hujannya awet sampe sore,” teriak Endah, berusaha mengalahkan suara hujan.
Ia hendak menolak—karena sudah terbiasa naik motor pakai mantel. Ia pun justru suka naik motor hujan-hujan. Tapi, belum juga bersuara, ia melihat Yuto sudah keluar dari mobil, melangkah cepat menujunya menggunakan sebuah payung.
Mata fara melebar saat Yuto semakin mendekat. Dapat ia lihat, Yuto terus menatapnya sambil terus melangkah, lalu tersenyum saat sudah tiba di terasnya, di hadapannya.
"Ayo," kata Yuto singkat.
Lucunya, bukannya menyampaikan penolakannya, Fara malah mengangguk. Dengan polosnya ia mematikan mesin motornya, mengunci stang, lalu masuk ke dalam rumah.
"Ma, Fara pergi sama Bang Yuto..." ucapnya sedikit keras sambil meletakkan kunci motornya di laci meja konsul.
Usai itu, tanpa menunggu sahutan mamanya, Fara keluar dari rumah tak lupa menutup pintu. Kemudian, bersama Yuto, mereka melangkah bersama di bawah satu payung.
Perhatian kali Yuto. Ia memastikan payung yang ia pegang memayungi Fara sepenuhnya, tak peduli meski bahunya terkena hujan. Yuto juga membukakan pintu untuk Fara, tetap memayungi ketika Fara masuk ke dalam mobil, dan akhirnya Fara duduk di tengah bersama Endah.
"Nanti siang anginnya bakal kencang kali, sampe sore. Bahaya naik kereta," kata Endah, bersamaan dengan itu Yuto juga masuk ke dalam mobil setelah melipat payungnya.
"Iya, makasih Bu," kata Fara.
Setelah duduk di dalam sana, barulah Fara sadari. Kenapa dia semudah itu menerima tawaran mereka dan tiba-tiba sudah duduk saja di dalam sana?
"Lucu kali gantungan kuncinya," kata Endah lagi, tepat saat Yuto kembali menyetir.
Fara tersenyum, senang gantungan kunci bebeknya dipuji. "Ini dari Kira, Bu. Katanya dia beli waktu liburan ke Kyoto."
"Oh ya? Pantes, lucu," kata Endah, lalu melirik ke sang ponakan yang sedang menyetir.
Yuto yang sedang menyetir, tampak menahan senyum, tampak senang mendengar Fara yang menyukai gantungan kunci itu.
Dan Fara, yang masih memeluk ranselnya erat, menyandarkan punggung ke jok sambil melirik ke luar jendela. Hujan turun deras, tapi hatinya seperti baru saja diberi sinar hangat.
Dia nggak tahu kenapa hari ini terasa berbeda.
Baginya, pagi ini terasa manis.
.
.
.
.
.
Continued...