Tawanan Pesantren
Part 1 - Kafilah Cinta
~💠💠💠~
Sinar matahari sore menyengat aspal jalanan yang mulai ramai dengan suara motor knalpot bising.
Brooom! Brooom! Brooom!
Grunggg! Grunggg! Grunggg!
Di sudut sebuah gang, tokoh utama dalam cerita ini yang bernama Miska Izzatunnisa duduk di atas motor temannya sambil menghisap permen karet dengan santai.
Seragam putih abu-abunya sudah kusut, roknya sedikit dinaikkan, dan kerudungnya pun tergantung asal di lehernya.
“Mis, lo nggak pulang?,” tanya Rendi, yang selalu menjadi teman nongkrongnya, sambil menyalakan rokok.
“Ntar aja, males,” jawab Miska dengan santainya. “Di rumah pasti ribet, nyokap pasti ceramahin gue lagi," lanjutnya.
“Gara-gara bolos kemarin?," tanya Rendi sambil terkekeh.
Miska pun mengangguk cuek, lalu matanya melirik geng sebelah yang baru datang.
Sejak masuk SMA, hidupnya seperti ini, pulang sekolah bukan ke rumah, tapi ke jalanan. Nongkrong, balapan liar, dan sesekali ribut dengan geng lain.
“Hoi, Miska!,” teriak seorang gadis dari kejauhan. Gadis itu bernama Nadine, rival sekaligus musuh bebuyutannya.
Miska lalu berdiri sambil melipat tangannya dan membalas teriakan itu, “Apaan lo?," ujarnya.
Nadine pun mendekat dengan dua orang cowok di belakangnya. “Gue denger lo ngomongin gue di belakang, ya? Sini kalau berani," tantang Nadine
Mendengar tantangan itu, suasana pun langsung memanas. Beberapa anak mulai bersorak dan menunggu pertarungan yang sengit.
"Miska! Miska! Miska! Miska!."
"Nadine! Nadine! Nadine!."
Semua orang menyerukan nama kedua gadis itu yang nampak sudah siap untuk bertarung.
Adapun Miska, ia tidak pernah mundur kalau ditantang. Kini, tangannya sudah mengepal dan siap untuk menghajar Nadine seperti yang sudah-sudah.
"Maju lo!!."
Tapi sebelum sempat bergerak, suara sirene terdengar meraung di kejauhan.
Wiiiwwww!!!
Wiiiwwww!!!
Wiiiwwww!!!
"Polisi patroli!."
Seketika anak-anak remaja disana langsung bubar kalang kabut, termasuk Miska yang buru-buru menaiki motor Rendi.
“Sialan, kabur dulu!,” teriaknya.
Mereka ngebut melewati gang-gang kecil untuk menghindari razia. Jantung Miska pun berdegup kencang, bukan karena takut, tapi karena adrenalin yang ia sukai. Karena ia merasa, jika jalanan ini dunianya, tempat ia merasa bebas.
**
Setelah berhasil menghindari razia, Miska bukannya pulang ke rumah. Adrenalin masih mengalir deras di tubuhnya hingga membuatnya malas menghadapi rumah dan omelan orang tuanya.
“Ke rumah gue aja dulu,” ajak Rendi setelah mereka berhasil keluar dari gang sempit.
Tanpa pikir panjang, Miska pun mengangguk setuju. Mereka pun melaju ke rumah Rendi, sebuah kontrakan kecil di pinggir kota yang sering jadi tempat nongkrong anak-anak geng.
Rumah itu tidak terlalu besar, tapi cukup untuk jadi tempat pelarian.
Begitu masuk ke rumah tersebut, bau asap rokok tercium menyengat, bercampur dengan suara musik metal yang menggelegar dari speaker kecil di sudut ruangan.
Beberapa anak sudah duduk santai, ada yang bermain kartu, ada juga yang sibuk dengan ponsel mereka.
“Eh, Miska datang!,” seru Arul, salah satu teman mereka.
Miska hanya tersenyum kecil, lalu menjatuhkan dirinya di sofa kumal yang ada di tengah ruangan.
Lalu, Rendi melemparkan sekaleng soda ke arahnya, yang langsung Miska tangkap dengan sigap.
“Lo udah makan?,” tanya Rendi.
Miska pun menggeleng. “Males.”
“Wih, jagoan! Bukan Miska namanya kalau nggak cuek sama perut sendiri," timpal Arul sambil tertawa.
"Ha ha ha ha...."
Semua orang pun ikut tertawa dan menikmati momen kebersamaan itu tapi malam terus berjalan. Miska semakin tenggelam dalam keseruan sehingga lupa waktu dan lupa segalanya.
Hingga saat ini jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Di rumah besarnya, kedua orang tua Miska duduk menunggu dengan gelisah.
Ibunya mondar-mandir di ruang tamu sambil terus menatap layar ponselnya yang tak kunjung mendapatkan pesan dari Miska.
“Abi, gimana ini? Anak kita belum pulang,” ucap sang ibu merasa cemas.
Sementara itu Ayah Miska duduk diam di sofa dengan wajah yang tampak serius. “Abi sudah telepon temennya, tapi nggak ada yang tahu dia di mana.”
“Kita harus cari dia. Umi takut terjadi sesuatu,” ujar ibunya panik.
Ayah Miska menghela napas dan mengusap dadanya. Ini bukan pertama kalinya Miska pulang larut malam tanpa kabar, tapi kali ini perasaannya benar-benar tidak enak.
Sementara itu, di rumah Rendi, Miska baru menyadari jam yang sudah sangat larut.
“Gila, udah jam 10! Gue harus pulang,” katanya sambil meraih tasnya.
“Yaudah, hati-hati. Lo naik apa?," jawab Rendi seraya mengangkat bahunya.
“Gue pesen ojek online aja.”
Setengah jam kemudian, Miska sampai di depan rumahnya. Lampu teras masih menyala, menandakan orang tuanya masih menunggu hingga jantungnya pun mulai berdebar.
Ngeeeeekkk...!!
Perlahan, Miska membuka pintu. Begitu masuk, ibunya langsung menghampiri.
“Miska, kamu dari mana? Kamu tau udah jam berapa ini?," tanya ibunya dengan suara yang gemetar, campuran antara perasaan marah dan lega.
"Biasa aja, Umi. Aku kan cuma main," jawab Miska sambil melepas sepatu dengan malas.
“Kamu itu anak perempuan, Miska! Pulang jam segini, nggak kasih kabar. Kamu nggak mikir, kita di rumah gimana?,” kata ibunya lagi dengan suara yang mulai meninggi.
“Kamu pikir hidup ini cuma buat main? Kamu mau jadi apa kalau terus begini?," timpal Ayahnya yang duduk di sofa sambil menatap Miska dengan tajam.
"Aish!." Miska mendengus kesal karena merasa diceramahi lagi. “Udah, kan aku pulang? Nggak usah lebay," ujar Miska tidak mengindahkan perkataan orang tuanya.
Plak!
Tangan ibunya hampir saja mendarat di pipi Miska, tapi di tengah jalan gerakan itu berhenti. Ibunya menghela napas berat, lalu berbalik dan berusaha menahan tangis.
Sementara, Ayahnya yang biasanya lebih tegas kali ini hanya mengusap wajahnya sendiri, seolah lelah menghadapi putri satu-satunya itu.
“Abi dan Umi udah nggak tau lagi harus gimana sama kamu, Miska,” ucap ayahnya pelan.
Miska pun kini diam. Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba menyusup di hatinya, tapi ia terlalu gengsi untuk menunjukkannya.
“Kamu tidur. Besok kita bicara,” kata ayahnya dengan suara yang terdengar dingin.
Miska tidak menjawab lagi dan hanya mengikuti perintah ayahnya. Ia lalu berjalan menuju kamarnya. Saat pintu kamarnya tertutup, ia duduk di tepi ranjang, lalu menatap langit-langit.
Entah kenapa, kali ini rasanya berbeda. Biasanya ia tidak peduli saat dimarahi, tapi malam ini... ada sesuatu yang membuat dadanya sesak.
BERSAMBUNG...
Jangan lupa like, subcribe, vote dan kasih bintang 5 nya ya... 🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Orangtuamu sedih karena kelakuanmu 😌
2025-02-28
2