Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Empat Saudara Arjuna
Di ruang tamu kecil milik Kirana, suasana terasa tegang. Secangkir kopi mengepul di meja, sementara Arjuna, Bara, dan Kirana duduk melingkari meja kecil itu. Bara bersandar di kursi dengan tangan terlipat di dada, sementara Kirana duduk dengan tangan menopang dagu, menatap kosong ke cangkir kopinya.
Arjuna, yang masih merasa tidak nyaman dengan keadaan dunia ini, akhirnya membuka suara. "Jadi, kalian pikir seseorang memberikan kekuatan kepada para pejabat itu?"
Bara mengangguk. "Itu satu-satunya penjelasan logis. Mereka tidak mungkin mendapatkan kekuatan begitu saja tanpa ada campur tangan sesuatu yang lebih besar."
Kirana menghela napas. "Tapi siapa? Dan kenapa mereka? Maksudku, para pejabat korup sudah cukup buruk tanpa kekuatan super. Kalau mereka diberi kekuatan, itu artinya seseorang ingin mereka semakin berkuasa."
Arjuna menatap mereka dengan serius. "Di Gunung Meru, ada seseorang yang mungkin cukup licik untuk melakukan hal ini."
Bara mengangkat alis. "Maksudmu… seseorang dari duniamu?"
Arjuna mengangguk. "Nakula, saudaraku. Dia selalu merasa tersaingi olehku. Jika dia benar-benar berada di balik semua ini, maka dia pasti punya rencana lebih besar."
Kirana merinding mendengar hal itu. "Jadi, kita bukan hanya berhadapan dengan pejabat yang korup dan berkekuatan, tapi juga seorang dewa?"
Bara mendengus. "Hebat. Seperti belum cukup buruk."
Arjuna mengepalkan tangan. "Aku tidak bisa membiarkan ini terus berlanjut. Aku akan menghentikan mereka, meski tanpa kekuatan."
Kirana menatapnya dengan khawatir. "Arjuna, ini bukan seperti duel atau pertempuran kehormatan di Gunung Meru. Ini dunia nyata. Orang-orang bermain kotor, dan kau tidak punya kekuatanmu untuk melindungi dirimu sendiri."
Arjuna tersenyum sombong. "Aku tidak perlu kekuatan untuk menang. Aku masih seorang pejuang."
Bara menggeleng. "Kau keras kepala. Tapi kalau kita ingin melakukan sesuatu, kita harus punya rencana. Tidak bisa hanya mengandalkan insting dan keberuntungan."
Kirana menambahkan, "Dan kita harus mencari tahu lebih banyak tentang Nakula. Jika dia memang ada di dunia ini, pasti ada jejaknya."
Mereka bertiga saling bertukar pandang. Malam itu, tanpa disadari, mereka baru saja membuat keputusan yang akan mengubah segalanya.
Bab Berikutnya: Saudara-Saudari Arjuna
Arjuna menyandarkan punggungnya ke sofa, matanya menatap langit-langit sejenak sebelum kembali menatap Kirana dan Bara. Dia menghela napas panjang, lalu berkata,
“Di Gunung Meru, aku bukan satu-satunya anak dari Dewa Arkadewa dan Dewi Laksmi. Aku memiliki empat saudara yang masing-masing memiliki kekuatan luar biasa.”
Bara menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan tangan terlipat. “Empat saudara? Jadi mereka juga dewa?”
Arjuna mengangguk. “Ya. Masing-masing dari mereka memiliki kekuatan yang berbeda dan mengendalikan elemen tertentu. Yang tertua adalah Dewi Indira, dewi petir dan badai. Dia bisa mengendalikan cuaca sesuka hatinya, mendatangkan hujan, angin topan, atau bahkan petir yang bisa membakar segalanya dalam sekejap.”
Kirana mendengarkan dengan saksama. “Dia terdengar seperti seseorang yang kuat.”
Arjuna tersenyum kecil. “Indira memang kuat. Tapi dia juga bijaksana. Dia selalu menempatkan keseimbangan di atas segalanya. Kemudian ada Dewa Bhima, saudara laki-lakiku yang memiliki kekuatan fisik luar biasa. Dia adalah dewa bumi. Dia bisa memanipulasi tanah dan batu sesuka hatinya, menciptakan gempa, membentuk gunung, atau bahkan menghancurkan daratan dengan satu pukulan.”
Bara mengangkat alis. “Oke… jadi dia semacam manusia super dengan kekuatan penghancur?”
Arjuna tertawa kecil. “Bisa dibilang begitu. Tapi Bhima bukan hanya seorang petarung. Dia juga seorang pelindung. Dia ingin menjaga dunia tetap stabil, tapi dia punya kelemahan—emosinya meledak-ledak. Dia sulit mengendalikan kemarahannya.”
Kirana menyilangkan tangan di dadanya. “Lalu siapa yang lain?”
Arjuna melanjutkan, “Saudari ketigaku adalah Dewi Saraswati, dewi seni, musik, dan kebijaksanaan. Dia adalah yang paling cerdas di antara kami. Dia tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan, tapi juga mampu menggunakan suaranya untuk mempengaruhi orang lain. Jika dia menyanyikan lagu, bahkan dewa lain bisa terpengaruh oleh kekuatannya.”
Bara bersiul pelan. “Oke, itu terdengar berbahaya.”
Arjuna mengangguk. “Dia tidak sering bertarung, tapi dia adalah penasihat terbaik di Gunung Meru. Dan terakhir… adalah Dewa Nakula.”
Ekspresi wajah Arjuna berubah serius saat menyebut nama itu. “Dia adalah dewa angin seperti aku. Tapi berbeda denganku, dia lebih cepat, lebih lincah, dan lebih licik. Nakula memiliki kemampuan untuk bergerak secepat angin, menghilang dari satu tempat ke tempat lain dalam sekejap. Dia adalah yang paling sulit dipahami di antara kami.”
Kirana memperhatikan ekspresi Arjuna yang tiba-tiba berubah suram. “Sepertinya kau tidak akur dengannya.”
Arjuna mengepalkan tangannya. “Dulu, aku meremehkan Nakula. Aku menganggapnya hanya bayanganku, seseorang yang tidak bisa menyaingiku. Tapi aku salah. Dia lebih berbahaya dari yang aku kira. Jika dia benar-benar yang ada di balik kekacauan di dunia ini… kita menghadapi ancaman yang lebih besar dari yang kalian bayangkan.”
Bara dan Kirana saling bertukar pandang, menyadari bahwa apa yang mereka hadapi bukan hanya soal para pejabat korup dengan kekuatan, tapi juga konspirasi yang lebih dalam—dan lebih berbahaya.
Di sebuah ruangan mewah yang dipenuhi perabotan mahal, Andi Wijaya duduk di kursi besar di belakang meja kayu berukir. Ia adalah salah satu pejabat yang mendapatkan kekuatan dari Nakula, dan saat ini ia tengah menikmati secangkir anggur merah di tangannya.
Di depannya, layar monitor menampilkan rekaman kamera pengawas dari berbagai sudut kota. Beberapa video menunjukkan kerusuhan yang terjadi sejak beberapa hari terakhir—penjarahan, perkelahian, dan kebrutalan polisi yang semakin meningkat. Ia tersenyum puas melihat kekacauan itu.
Seseorang berdiri di sampingnya, seorang pria berbadan tegap dengan jas hitam. “Tuan, pasukan kita sudah mulai bergerak. Orang-orang semakin takut, dan media sudah mulai menggiring opini bahwa ini ulah para pemberontak.”
Andi mengangguk pelan, menikmati setiap kata yang ia dengar. “Bagus. Rakyat akan segera tunduk, dan mereka yang berani menentang akan kita hancurkan.”
Pria di sampingnya ragu-ragu sejenak sebelum berbicara. “Tapi… ada satu masalah, Tuan.”
Andi menoleh dengan tatapan tajam. “Masalah apa?”
“Kami mendapatkan laporan dari anak buah di lapangan. Ada seseorang yang mencoba melawan para polisi korup di jalan. Dia tidak memiliki kekuatan, tapi memiliki keterampilan bertarung yang luar biasa. Orang itu… mengenakan pakaian seperti dewa.”
Tatapan Andi Wijaya berubah serius. Ia meletakkan gelas anggurnya dan bersandar di kursinya. “Pakaian seperti dewa? Kau yakin?”
“Ya, Tuan. Dan yang lebih aneh lagi, orang itu tidak takut sama sekali menghadapi aparat kita. Dia bertarung tanpa ragu, meskipun tanpa senjata atau perlindungan.”
Andi Wijaya tersenyum sinis. “Menarik. Kalau begitu, kita harus segera menguji batasnya.”
Ia bangkit dari kursinya, berjalan menuju jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota Jakarta yang mulai tenggelam dalam kegelapan malam. “Kita lihat seberapa lama dia bisa bertahan di dunia ini… tanpa kekuatannya.”
Sementara itu, di sudut ruangan, bayangan seseorang berdiri diam dalam kegelapan. Sosok itu mengamati semuanya dengan tenang, sebelum akhirnya menghilang seperti tiupan angin. Nakula telah mendengar semuanya. Ia tersenyum licik.