Seorang dokter muda yang idealis terjebak dalam dunia mafia setelah tanpa sadar menyelamatkan nyawa seorang bos mafia yang terluka parah.
Saat hubungan mereka semakin dekat, sang dokter harus memilih antara kewajibannya atau cinta yang mulai tumbuh dalam kehidupan sang bos mafia yang selalu membawanya ke dalam bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Suara dentuman keras menggema ketika pintu gudang terbuka paksa. Seketika, udara dipenuhi dengan suara langkah berat dan teriakan perintah. Liana menahan napasnya saat melihat beberapa pria bersenjata masuk dengan wajah penuh kemarahan. Mereka mengenakan pakaian gelap, jelas bukan orang biasa—ini adalah anak buah Adrian.
"Cari mereka! Jangan biarkan ada yang keluar hidup-hidup!" suara dingin salah satu pria itu terdengar.
Luca bergerak lebih dulu, menarik Rafael ke belakang tumpukan peti kayu yang bisa dijadikan perlindungan. Liana terpaku, dadanya berdebar kencang saat suara tembakan pertama meledak di dalam ruangan.
DOR! DOR! DOR!
Peluru menghantam dinding dan peti di sekelilingnya, membuat serpihan kayu beterbangan. Luca membalas dengan tembakan cepat, sementara Rafael, meskipun terluka, tetap sigap menembakkan pistolnya ke arah musuh. Namun, jumlah mereka jauh lebih banyak.
Liana merunduk di balik meja tua, jari-jarinya mencengkeram jas putihnya dengan gemetar. Ia bukan petarung. Ia bukan bagian dari dunia ini. Tapi di saat yang sama, ia tidak bisa membiarkan Rafael dan Luca menghadapi ini sendirian.
Suara langkah mendekat. Salah satu anak buah Adrian berhasil menyelinap ke sisi lain gudang dan melihatnya.
"Hei! Kau di sana!" pria itu mengangkat senjatanya.
Liana membeku. Otaknya bekerja cepat. Jika ia tetap diam, ia akan mati. Jika ia tidak melakukan sesuatu, Rafael dan Luca bisa kalah.
Pilihan harus dibuat.
Dengan gerakan cepat, ia meraih batang besi yang tergeletak di dekatnya dan, tanpa berpikir panjang, mengayunkannya ke kepala pria itu.
BRAK!
Pria itu terhuyung ke belakang, senjatanya terlepas dari genggaman. Liana menendang pistolnya menjauh dan, dengan napas tersengal, ia meraih senjata itu. Tangannya gemetar saat memegangnya, tapi ia tahu tidak ada jalan lain.
Ia sudah memilih.
Dengan tekad yang bulat, ia bergerak ke arah Rafael dan Luca. "Apa yang harus aku lakukan?!" serunya.
Rafael menoleh, terkejut melihat Liana memegang senjata. Tapi tidak ada waktu untuk bertanya. "Tetap di belakangku. Kalau ada yang mendekat, tembak mereka. Jangan ragu!"
Luca menyeringai di tengah pertempuran. "Selamat datang di neraka, dokter."
Liana menelan ludah. Tangan kanannya memegang pistol erat-erat. Suara tembakan masih bersahut-sahutan, dan ia bisa merasakan setiap denyut ketakutannya. Tapi ia sudah memilih jalannya.
Di seberang ruangan, salah satu pria berbadan besar mengeluarkan radio dan berbicara cepat. "Kita butuh backup! Mereka lebih kuat dari dugaan!"
Mata Rafael menyipit. "Kita harus keluar dari sini sebelum lebih banyak dari mereka datang."
Liana menoleh ke arah pintu belakang. "Ada jalan keluar di sana!"
Luca menembakkan peluru terakhirnya sebelum berlari ke arah Liana. "Bagus! Tapi kita harus menerobos mereka dulu."
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, suara deru mesin terdengar dari luar gudang.
Lebih banyak musuh telah tiba.
Liana mengerutkan kening. Napasnya semakin berat. Adrenalin yang sebelumnya meluap kini berubah menjadi ketakutan yang lebih nyata. Ia menoleh ke Rafael yang tampak berpikir cepat. Luka di perutnya jelas membuatnya kesulitan, tapi tatapan matanya tetap tajam.
"Mereka datang lebih banyak," Rafael berbisik. "Kita tak punya banyak waktu."
Luca mengintip dari celah peti dan menggeram. "Mereka membawa senapan otomatis. Kalau kita tetap bertahan di sini, kita akan mati terjebak."
Liana mengencangkan genggamannya pada pistol yang dipegangnya. Tangannya masih gemetar, tapi kini ada tekad yang baru. "Kita bisa mengalihkan perhatian mereka."
Rafael menoleh padanya. "Apa maksudmu?"
Liana menelan ludah. "Aku bisa menyalakan salah satu mesin tua di belakang sana. Itu akan menciptakan suara dan mungkin cukup untuk membuat mereka mengalihkan perhatian."
Luca menatapnya ragu. "Dan bagaimana kalau mereka sadar itu jebakan?"
Liana mengangkat bahu. "Kalau kita tidak mencoba, kita akan mati di sini."
Rafael tersenyum samar, meskipun wajahnya tampak lelah. "Aku suka caramu berpikir, dokter."
Tanpa menunggu lebih lama, Liana merayap ke bagian belakang gudang, mendekati mesin generator yang sudah berkarat. Tangannya bekerja cepat, mencari sakelar utama di tengah kegelapan dan suara tembakan yang masih bersahut-sahutan.
Detik berikutnya, mesin tua itu bergetar keras.
Suara gemuruhnya memenuhi gudang, menarik perhatian beberapa anak buah Adrian yang langsung menoleh.
"Apa itu?!"
"Ada seseorang di belakang!"
Beberapa pria langsung bergerak ke arah suara, meninggalkan posisi mereka. Rafael dan Luca menggunakan kesempatan itu untuk menembak beberapa musuh yang tersisa.
"Ayo pergi sekarang!" Rafael berseru.
Liana berlari kembali ke mereka, jantungnya berdegup kencang. Mereka bergerak cepat ke pintu belakang, menghindari baku tembak sebisa mungkin. Namun, sebelum mereka bisa keluar, sebuah suara berat terdengar dari luar.
"Jangan biarkan mereka kabur!"
Liana berhenti mendadak. Dari cahaya redup lampu luar gudang, ia melihat sosok yang berdiri tegap dengan senapan terarah ke mereka.
Adrian.
Senyumnya penuh kemenangan, sementara di belakangnya, puluhan anak buahnya sudah bersiap mengepung.
"Permainan sudah selesai, Moretti," ujarnya dingin.
Rafael menggeram, mencengkeram pistolnya lebih erat. Luca menatap sekeliling, mencoba mencari celah untuk kabur.
Liana menahan napasnya.
Mereka terjebak.