Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Malam telah larut, dan angin dingin menyelinap melalui celah jendela. Namun, di dalam kamar itu, kehangatan masih tersisa di antara mereka.
Yuki berbaring di pangkuan Pangeran Riana, tubuhnya yang lelah hanya tertutup selimut tipis. Matanya terpejam, napasnya tenang, tetapi jari-jarinya masih menggenggam lembut lengan pria itu—seolah memastikan bahwa dia masih ada di sisinya.
Pangeran Riana sendiri tidak sepenuhnya tenggelam dalam ketenangan. Dia bersandar di kepala tempat tidur, matanya tajam menatap gelapnya malam, sementara suara dari telinganya terus mengalirkan laporan.
Bangsawan Voldermon dan Bangsawan Xasfir masih mengerahkan pasukan mereka, menyisir setiap sudut untuk menemukan keberadaan Lekky.
Pangeran Riana mengangkat tangan, membelai rambut Yuki dengan lembut, namun sorot matanya tetap tajam, penuh perhitungan.
Lekky masih berada di luar sana. Dan selama pria itu masih bernapas, ketenangan ini hanya sementara.
Yuki menggeliat pelan, matanya terbuka dengan malas saat rasa lapar mulai mengusik kesadarannya. Perutnya terasa kosong—baru sekarang dia menyadari bahwa dia belum makan apa pun sejak makan siang.
Dia mengingat sesuatu. Kue.
Sore tadi, dia dan Nayla memanggang kue bersama. Aroma manisnya masih terbayang di ingatan, membuat perutnya semakin protes.
Dengan perlahan, Yuki berusaha bangkit, selimut melorot dari bahunya. Dia melirik Pangeran Riana yang masih bersandar di kepala tempat tidur, tampak sibuk mendengarkan laporan. Mungkin jika dia pelan-pelan, dia bisa keluar dan mengambil kue tanpa mengganggunya.
Saat Yuki mencoba bangun dari tempat tidur, tangannya langsung dicekal oleh Pangeran Riana. Tatapan tajam pria itu menahannya di tempat.
Yuki menatapnya dengan mata berbinar, memohon, “Aku lapar.”
Belum sempat Pangeran Riana menanggapi, perut Yuki berbunyi pelan. Wajahnya memerah karena malu, tetapi itu tidak membuatnya menyerah.
“Aku ingin kue yang kupanggang tadi sore dengan Nayla,” katanya lirih.
Pangeran Riana menghela napas, lalu bangkit dari tempat tidur. “Diam di sini,” perintahnya singkat, sebelum mengambil handuk di tepi ranjang dan melilitkannya di pinggangnya.
Tanpa banyak bicara, dia berjalan menuju pintu penghubung yang menghubungkan kamar mereka. Begitu membukanya, matanya segera menangkap nampan makanan yang telah disiapkan oleh pelayan. Di antara hidangan itu, dia menemukan kue yang dimaksud Yuki.
Dengan tenang, Pangeran Riana mengambil nampan tersebut dan membawanya kembali. Dia mendorong pintu agar terbuka lebih lebar, lalu kembali melangkah ke kamar mereka, membawa makanan yang diinginkan Yuki.
Yuki bersembunyi di bawah selimut, tangannya meraba-raba dalam gelap, berusaha menemukan pakaiannya. Namun, saat jemarinya hanya merasakan kain yang compang-camping, dia baru menyadari bahwa pakaiannya telah disobek oleh Pangeran Riana.
Dengan napas memburu dan wajah memerah karena kesal, Yuki meraih satu-satunya kain yang bisa dijangkau—kemeja milik Pangeran Riana yang tergeletak di dekatnya. Dia buru-buru menyelubungkannya ke tubuhnya, berharap bisa menutupi dirinya sebelum—
Namun terlambat.
Pangeran Riana menarik selimut dengan gerakan cepat. Yuki terpekik pelan, rasa malunya memuncak saat pria itu menatapnya dengan senyum penuh kemenangan.
“Pangeran Riana!” protes Yuki, suaranya dipenuhi rasa kesal dan malu. Dengan gerakan cepat, dia menyelubungi tubuhnya dengan kemeja milik pria itu, jari-jarinya dengan gesit mengancingkannya satu per satu.
Pangeran Riana hanya tersenyum, jelas menikmati melihat Yuki kebingungan menutupi dirinya. Dia tidak berkata apa-apa, hanya duduk di tepi tempat tidur, lalu dengan santai menyodorkan sepiring makanan ke arahnya.
“Makanlah,” katanya singkat, nada suaranya tenang namun tak terbantahkan. “Kau tidak perlu ke mana-mana jika kau butuh sesuatu. Katakan padaku,” suaranya terdengar rendah namun tegas.
Yuki menelan ludah, matanya tertuju pada kue di tangannya. Aroma manisnya begitu menggoda, dan tanpa berpikir panjang, dia meraih satu potong dan menggigitnya dengan lahap.
Pangeran Riana duduk di tepi tempat tidur, memperhatikan Yuki dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada kepuasan di sana, melihat Yuki menurut dan tetap berada dalam jangkauannya.
Saat Yuki menikmati kue itu, dia menyadari sesuatu. Pria ini mungkin dingin dan keras, tapi dia selalu memastikan kebutuhannya terpenuhi—dengan caranya sendiri.
Pangeran Riana masih sibuk mendengarkan laporan dari alat komunikasi di telinganya. Wajahnya tetap serius, matanya sedikit menyipit saat mendengar informasi yang disampaikan. Namun, meskipun pikirannya terbagi, dia tidak menolak ketika Yuki dengan lembut menyuapkan sepotong makanan ke arahnya. Tanpa berkata apa-apa, dia menerimanya, membiarkan Yuki menyuapinya di sela-sela kesibukannya.
Yuki menatap pria itu sejenak. Meskipun Pangeran Riana adalah seseorang yang dominan dan penuh ambisi, saat seperti ini—saat dia hanya diam dan membiarkannya melakukan hal-hal kecil seperti menyuapinya—ada sisi lain dari dirinya yang terasa lebih lembut. Tapi Yuki tahu, kelembutan itu hanya sementara.
Setelah selesai makan, Yuki meletakkan nampannya di meja samping lalu berjongkok, tangannya meraba-raba mencari kopernya di bawah tempat tidur.
“Aku akan mandi lebih dulu,” katanya santai, tanpa melihat ke arah Pangeran Riana.
Pangeran Riana, yang masih duduk di tempat tidur, mengamati Yuki dengan tatapan tajam. Tanpa ragu, dia melepaskan alat komunikasi di telinganya, memutuskan sambungan secara tiba-tiba, lalu melemparkannya ke nakas di samping tempat tidur dengan suara berdenting pelan.
Yuki, yang masih sibuk mencari pakaiannya, tidak menyadari perubahan sikap Pangeran Riana. Namun, keheningan yang tiba-tiba di ruangan membuatnya berhenti sejenak. Saat dia mengangkat kepalanya, mata mereka bertemu—tatapan pria itu gelap, intens, dan penuh maksud.
“Apa…” kata Yuki tidak mengerti.
Pangeran Riana tersenyum tipis, ekspresi di wajahnya tampak santai, tetapi sorot matanya berkata lain. Dia bangkit dari tempat tidur, berjalan mendekati Yuki dengan langkah pelan namun penuh kepastian.
“Aku tahu,” katanya ringan, tetapi tangannya dengan cepat menarik koper Yuki dari bawah tempat tidur dan membukanya tanpa meminta izin.
“Tunggu. Pangeran ! Aku bisa mengambilnya sendiri!” protes Yuki, buru-buru meraih pakaiannya sebelum tangan Pangeran Riana lebih dulu menyentuhnya.
Pangeran Riana hanya mengangkat alis. “Cepatlah,” katanya santai. “Aku akan menunggumu.”
Yuki mengerutkan kening. “Menunggu untuk apa?”
Pangeran Riana menatapnya seolah pertanyaannya tidak perlu dijawab. “Untuk mandi.”
Wajah Yuki langsung memerah. “M-Maksudku, aku akan mandi sendiri! Aku tidak mengajakmu mandi bersama!”
Pangeran Riana tertawa pelan, nada suaranya rendah dan dalam. “Aku tahu,” katanya lagi, tetapi tatapan matanya berkata sebaliknya.
Yuki mengambil pakaiannya dengan buru-buru. Dia sengaja menepiskan posisi Pangeran Riana di bahunya agar tidak terlalu mendekat.
Pangeran Riana membiarkannya, tetapi tatapan matanya tak lepas dari setiap gerakan Yuki. Ia bersandar di tiang tempat tidur dengan tangan terlipat di dada, menikmati bagaimana Yuki berusaha menghindari kontak dengannya.
Yuki menggenggam pakaiannya erat, melangkah mundur menuju pintu kamar mandi. “Aku tidak akan lama,” katanya buru-buru, berharap pria itu tidak mengikuti.
Namun, tepat ketika tangannya meraih gagang pintu, Pangeran Riana sudah bergerak lebih dulu. Dengan satu langkah cepat, ia berdiri tepat di belakang Yuki, membiarkan kehadirannya terasa jelas.
“Jangan mengunci pintunya,” bisiknya dekat di telinga Yuki, suaranya terdengar santai tetapi penuh peringatan.
Yuki menegang. “Kenapa?”
Pangeran Riana tersenyum kecil, menurunkan wajahnya hingga hampir menyentuh tengkuk Yuki. “Karena aku bisa saja berubah pikiran dan ikut masuk.”
Yuki langsung memutar kenop pintu dan masuk ke dalam, menutupnya dengan cepat sebelum keberanian Pangeran Riana benar-benar menjadi kenyataan.
...****************...
Yuki menghentikan langkahnya sejenak, menatap Pangeran Riana yang terlihat santai bersandar di kepala tempat tidur. Rambutnya masih sedikit basah, menunjukkan bahwa dia baru saja selesai mandi juga. Tempat tidur yang sebelumnya berantakan kini sudah rapi kembali, selimut ditata dengan baik, dan hanya ada satu bantal tambahan di sisi tempat tidur.
Pangeran Riana mengangkat alis ketika melihat Yuki berdiri terpaku di ambang pintu kamar mandi. “Kenapa diam di sana?” tanyanya dengan nada santai, tetapi sorot matanya tajam, mengisyaratkan bahwa dia mengharapkan jawaban.
Yuki menelan ludah. “Aku… hanya ingin memastikan kau tidak akan berbuat sesuatu lagi,” katanya jujur, meskipun suaranya terdengar lebih seperti gumaman.
Pangeran Riana tersenyum tipis, lalu menepuk tempat kosong di sampingnya. “Kemari,” perintahnya.
Yuki ragu sejenak, tetapi dia tahu bahwa melawan hanya akan membuat keadaan semakin sulit. Dengan langkah pelan, dia mendekat dan duduk di sisi tempat tidur, menjaga jarak sebisa mungkin.
Namun, sebelum dia bisa menarik selimut untuk tidur, Pangeran Riana sudah meraih pergelangan tangannya, menariknya agar lebih dekat. “Tidurlah di sini,” katanya dengan nada yang terdengar seperti perintah mutlak.
Yuki menghela napas, tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat. Dengan pasrah, dia membaringkan diri di samping Pangeran Riana, mencoba menjaga ruang di antara mereka tetap ada. Namun, saat dia mulai merasa nyaman, lengan kokoh Pangeran Riana sudah melingkari pinggangnya, menariknya ke dalam pelukan hangatnya.
“Tidur, Yuki,” bisiknya di dekat telinga Yuki, membuat napas gadis itu tercekat.