NovelToon NovelToon
Ibu Pengganti Anak Sponsor Ku

Ibu Pengganti Anak Sponsor Ku

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / CEO / Ibu Pengganti / Pengasuh / Chicklit
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Alensvy

"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."

Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”

Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”

Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”

“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”

Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14

...****************...

Pagi-pagi gini, aku udah ngerasa ada yang gak beres.

Bukan karena mimpi buruk atau suara alarm yang bikin jantungan, tapi lebih ke… perasaan aneh yang entah kenapa bikin kepalaku agak nyut-nyutan. Mungkin karena semalam kebanyakan mikirin hal gak penting.

Aku menggeliat malas di kasur, meraih ponsel di nakas. Pas ngecek, kosong. Gak ada chat. Gak ada panggilan tak terjawab.

Aku mendengus kecil. Bagus. Sepi. Tenang. Harusnya aku senang, kan?

Tapi kenapa malah merasa aneh?

Aku menggeleng cepat. Enggak, ini bagus. Aku gak perlu diganggu siapa pun. Termasuk—

Aku buru-buru banting ponsel ke kasur. Sienna, sadar! Kenapa lo malah nungguin telepon dari duda itu?!

Bangkit dari kasur, aku langsung jalan ke dapur, ambil segelas air buat nenangin kepala. Baru juga nyeruput seteguk, ponselku tiba-tiba bergetar di atas meja. Aku melirik malas.

Arsen.

Aku mendecak. Baru juga bilang gak mau diganggu, eh, muncul juga.

Aku angkat teleponnya sambil tetep nyeruput air. "Apa?" tanyaku datar.

"Kau di rumah?"

Aku mengernyit. Ya iya lah, masa lagi wisata ke bulan?

"Iya. Emang kenapa?"

"Aku di bawah."

Aku hampir nyemburin air minumanku. Di bawah?! Maksudnya di bawah apartemenku?!

"Hah?! Ngapain?" seruku panik.

"Boleh aku naik?" tanyanya, masih dengan nada super santainya.

Aku menekan pelipis. Pagi-pagi udah begini. Ini orang mau ngapain lagi sih?!

...****************...

"Pagi."

"Pagi, apanya? Kenapa kau datang pagi-pagi gini?"

"Buka pintunya dulu."

Aku menghela napas, lalu menarik gagang pintu dan membiarkannya masuk. Seperti biasa, dia langsung melangkah masuk tanpa ragu, sementara aku buru-buru mengunci pintu di belakangnya.

"Kau bawa apa?"

"Sarapan," jawabnya singkat sambil mengangkat kantong plastik di tangannya.

Aku melirik Nathan yang masih duduk nyaman di gendongannya, tampak tenang, bahkan gak nangis sama sekali. Itu yang bikin aku tambah bingung.

"Terus, kenapa bawa anak segala? Dia gak nangis, kan?"

"Belum," jawabnya santai.

"Hah?"

"Kalau langsung dikasih dot, nanti nangis. Jadi lebih mudah kalau sebelum nangis, kau susuin dulu, baru gantian."

Aku melongo, gak yakin barusan dengar apa. "Kau serius?"

Dia mengangguk tanpa ekspresi. "Kau keberatan?"

Aku menatapnya, lalu menatap Nathan. Anak itu masih diam, matanya setengah terpejam. Jujur, aku gak habis pikir. Biasanya Arsen datang dalam kondisi panik karena Nathan nangis, bukan gini.

"Kenapa aku merasa kau cuma cari alasan buat datang ke sini?"

Arsen menoleh, pandangannya datar. "Kau terlalu percaya diri."

Aku mendecak, lalu menyambar kotak makanan yang dia bawa. "Ya udah, aku makan dulu. Gak akan susuin kalau belum makan."

Dia hanya mengangguk, lalu duduk di sofa dengan Nathan masih di pelukannya. Kami diam beberapa saat, dan keheningan itu malah bikin canggung.

Pikiran aku langsung ke kejadian semalam. Aku gak tahu apakah dia juga kepikiran atau enggak, tapi yang jelas, suasana jadi agak aneh.

Aku melirik sekilas, dan tanpa sengaja mata kami bertemu.

Cepat-cepat aku pura-pura fokus ke makananku. "Kau gak ada kerjaan lain, ya?"

"Ada. Tapi sekarang lebih penting ini dulu," jawabnya santai.

Aku mengunyah pelan. "Kau aneh."

"Kau lebih aneh."

Aku mendesah panjang. Kenapa pagi-pagi begini rasanya lebih melelahkan dari latihan?

...****************...

"Udah kenyang, sekarang kau bisa mulai," ujar Arsen datar, mengalihkan pandangannya ke Nathan yang masih tenang dalam gendongannya.

Aku menghela napas panjang, lalu meletakkan kotak makananku ke meja. "Kau selalu bossy, ya?"

Dia hanya menatap tanpa ekspresi, seperti biasa. Aku mendecak sebal sebelum akhirnya mengulurkan tangan untuk mengambil Nathan. Arsen menyerahkannya dengan santai, seolah ini udah jadi rutinitas kami.

Dulu, aku pasti bakal ribet sendiri setiap kali melakukan ini. Tapi sekarang? Entah sejak kapan, rasanya aku udah terbiasa.

Dengan gerakan natural, aku menarik tali baju tidurku ke bawah, membiarkan satu sisi terbuka. Nathan langsung bereaksi. Anak ini emang pintar, udah tahu harus ngapain bahkan sebelum aku benar-benar siap.

Aku mengusap kepalanya pelan. "Kau ini, cepat banget, sih."

Nathan menggumam kecil, kedua tangannya mencengkeram bajuku seolah takut aku bakal menariknya pergi. Aku mendesah pelan, lalu menatap Arsen sekilas.

Dia… diam saja.

Gak ada reaksi aneh, gak ada tatapan berlebihan, gak ada ekspresi mencurigakan.

Aku mengerjapkan mata. "Kau gak risih, ya?"

"Harusnya?" tanyanya balik.

Aku mendengus. "Mungkin kau harusnya malu atau—entahlah, bersikap normal, gitu?"

"Ini normal," balasnya santai.

Aku terdiam, lalu menghela napas lagi. Oke, mungkin aku aja yang terlalu mikirin ini.

Nathan mulai sedikit bergerak di pelukanku, kakinya menendang kecil ke perutku. Aku mengusap punggungnya pelan. "Kau mulai aktif sekarang, ya? Jangan terlalu heboh, nanti aku gak bisa nafas."

Arsen melirik sekilas, lalu mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Nathan juga.

Aku menatapnya dengan alis terangkat. "Sejak kapan kau jadi lembut begini?"

Dia hanya mengangkat bahu. "Kau sendiri sejak kapan jadi ibu dadakan?"

Aku menghela napas panjang. "Jangan ingetin, aku masih dalam tahap denial."

...****************...

"Aduh, aduh, aduh! Nathan, jangan gigit!" Aku langsung meringis, tubuhku menegang seketika. "Astaga, sakit!"

Tapi anak ini bukannya lepas, dia malah makin erat nyedot. Aku mencoba menariknya pelan, tapi tetap gak bisa.

"Arsen, bantu aku, dong!" Aku melotot ke arah pria itu yang berdiri di samping sofa dengan wajah datarnya.

Dia menatapku sebentar sebelum menghela napas. "Jangan panik. Dia gak bakal lepas kalau kau tegang."

"Oh ya? Mau coba sendiri?!" geramku.

Arsen akhirnya mendekat, ekspresinya tetap tenang meskipun aku yakin dia juga bingung menghadapi situasi ini. Dia menelusuri wajah Nathan, lalu mengusap kepalanya lembut. "Nak, ayo lepas. Kau udah cukup, kan?"

Nathan gak bereaksi.

Arsen mencoba mengambil dot dari dalam tas dan mendekatkannya ke bibir Nathan. "Gantian, ya?"

Anak itu tetap gak tertarik, malah makin erat mencengkeram bajuku, seakan takut aku bakal menariknya pergi.

Aku meringis. "Kenapa dia begini? Biasanya gak sekeras ini."

Arsen menatapku, lalu turun pandangan ke… ya, ke situ. "Mungkin dia nyaman."

"Nyaman gimana? Aku kesakitan, tahu!"

Arsen menghela napas, lalu merendahkan suaranya. "Aku bakal coba sesuatu. Jangan kaget."

Sebelum aku sempat protes, dia mengulurkan tangannya ke dadaku.

Aku langsung membeku.

"Hei! Kau—"

"Diam sebentar."

Tangannya, besar dan hangat, menyentuh kulitku dengan hati-hati. Jemarinya yang kokoh mulai memijat area sekitar isapan Nathan, gerakannya pelan tapi terarah.

Aku menahan napas.

Oh Tuhan…

Suhu tubuhku langsung naik. Arsen masih fokus, jarinya mulai menekan titik tertentu, memutar dengan lembut tapi cukup kuat untuk menstimulasi refleks pelepasan.

Aku menggigit bibir bawah, berusaha tidak mengeluarkan suara aneh.

"Jangan… usap-usap terus!" Aku berbisik, suaraku sedikit bergetar.

Arsen tetap tenang, tapi aku bisa lihat rahangnya mengeras. "Kalau kau diam, ini bakal lebih cepat selesai."

Jari-jarinya semakin dalam menekan area sensitif itu, sedikit memutar dan—sial! Aku menggigit bibir lebih kuat, berusaha keras menahan reaksi tubuhku yang mulai gak karuan.

Dadaku naik-turun, bukan hanya karena kejadian ini, tapi karena Arsen yang… entah kenapa terlalu dekat. Nafasnya menghangat di kulitku, dan matanya—tatapan tajam dan fokus itu bikin perutku berdesir aneh.

Aku hampir protes lagi sebelum akhirnya Nathan melepas sendiri.

Aku buru-buru menarik kembali bajuku, napas masih sedikit berantakan. Nathan mengerjapkan mata, menggeliat kecil, tampak sedikit kesal karena dipaksa berhenti.

Aku mengangkat kepala dan menemukan Arsen menatapku.

Kami saling diam.

Jarak di antara kami terasa lebih dekat dari seharusnya.

Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya.

Sama-sama bingung.

Sama-sama canggung.

Sama-sama bertanya-tanya… barusan itu apa?

.

.

.

Next 👉🏻

1
Semangat
lanjut thor
Alen's Vy: Iyaa ntar sore yakk
total 1 replies
Alen's Vy
Bagusss
Anonymous
Yang baca juga shock ko sienna, ga kamu doang/Facepalm//Awkward/
Semangat
jahat bgt. untung putus ya thor
Alen's Vy: Iya ih, untung aja.
total 1 replies
Semangat
modus duda ini pasti.
Semangat
luar biasa
Semangat
Hahahaa Thor😭😭
Alen's Vy: Sstt🤫🤣
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!