Revan Santiago adalah seorang pemuda biasa yang telah menjadi menantu mitralokal di keluarga Barnes. saat ini, dia sedang berjuang untuk mencari biaya untuk pengobatan ibunya dirumah sakit. ketika dia meminta bantuan kepada temannya, Revan bukan hanya tidak mendapatkan pinjaman namun, dia malah di pukuli hingga sekarat. dalam kondisi sekarat dia tiba-tiba mendapat warisan, "Selamat datang pewaris Dewa semesta!" tiba-tiba Revan mendengar suara seorang pria tua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudoelf Nggeok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meminta Penjelasan.
Kesal dengan sikap Revan yang mengabaikannya, dia pun berteriak, "Berhenti! Apa kamu pikir, orang sepertimu bisa seenaknya masuk kedalam sana?"
Revan menoleh dan menatap Agus lalu berkata, "Apa kamu sedang berbicara denganku?"
Saat Revan menatapnya, Agus merasa seperti ditatap oleh seekor hewan buas. Dia pun bergidik ngeri. entah mengapa dia langsung merasa ketakutan. Namun dia menepis pikirannya itu. mengapa dia harus takut dengan sampah tidak berguna sepertinya? Tidak peduli bagaimana dia menatapku. Dia tetaplah sampah yang tidak berguna.
"Siapa lagi kalau bukan kamu? Apakah kamu pikir, kamu mampu membayar minuman yang ada disini?"
Sambil menatap tajam kearah Agus, Revan berkata dengan suara dingin, "Sebaiknya, kamu tidak menggangguku lebih jauh lagi. Suasana hatiku sedang tidak baik hari ini!"
"Hahaha mengganggumu?" Agus tertawa terbahak-bahak saat mendengar kata-kata Revan. Setelah itu dia berteriak, "Lona, seseorang mencoba membuat keributan disini?"
Sesaat kemudian Lona berjalan keluar menghampiri Agus, "Siapa yang berani membuat keributan disini?"
Agus pun menunjuk ke arah Revan, sambil mencemooh, "Siapa lagi kalau bukan si sampah Revan!"
Setelah Lona datang, dia menggantikan Agus untuk duduk di meja jaga.
Agus kemudian menatap Revan lalu melanjutkan, "Sepertinya, pukulan kemari tidak membuatmu jerah. tapi, aku harus memujimu. kulitmu cukup tebal. Aku tidak percaya kamu berhasil pulih dengan cepat setelah kamu di pukuli hingga sekarat. Hanya dalam beberapa hari!"
Setelah itu, kilatan dingin melintas di matanya, "Enyah kau dari hadapanku. Aku tidak berminat untuk bermain-main denganmu!"
Revan kembali menatapnya dengan tatapan dingin. Lagi-lagi,dia bertanya, "Apa kamu sedang berbicara denganku?"
Emosi Agus langsung membuncah, "Apa kamu gila? selain kamu, siapa lagi yang ada disini?" umpat Agus sambil menunjuknya.
Namun, sesaat kemudian terdengar jeritan histeris.
Ahhh ...
Agus merasakan jarinya kesakitan. Dia kemudian melihat jarinya, seketika dia membeku. Dia mendapati jika jarinya sudah terpotong. Darah pun mengalir tanpa henti.
Setelah menyadari bahwa jarinya benar-benar terputus, dia menatap Revan yang saat ini sedang duduk santai di sofa. Entah sejak kapan sampah itu duduk di sana.
"Kamu ..." Agus tidak bisa melanjutkan kalimatnya akibat rasa sakit yang luar biasa.
Bagaimana bisa dia tidak bisa melihat gerakan Revan?
"Aku paling benci ada orang yang mengarahkan jari telunjuknya padaku. Terutama saat suasana hatiku sedang tidak baik. apalagi, aku orangnya pendendam. Kita punya masalah yang harus di selesaikan."
"Aku akan memberimu satu kesempatan. Berlutut dan meminta maaf padaku, maka aku anggap masalah ini sudah selesai."
Sambil duduk santai di sofa, Revan menatap Agus dengan tatapan dingin, "Kamu hanya punya satu kesempatan, aku harap kamu bisa memanfaatkannya dengan baik." kata Revan acuh tak acuh.
Wajah Agus menjadi muram, saat dia melihat jarinya tergeletak di lantai dia menjadi semakin marah. Namun Rasa sakit yang dia rasakan saat ini benar-benar tak tertahankan.
"Revan, sepertinya kekerasan tidak bisa di hindari hari ini." kata Agus sambil menegakkan tubuhnya. Amara nampak jelas di wajahnya.
Selanjutnya Agus berteriak dengan suara keras, "Kamu pikir kamu siapa? Beraninya kamu membuat keributan di wilayahku?"
Setelah berkata seperti itu, agus pun melangkah maju dan melayangkan tinjunya ke wajah Revan, sambil berteriak, "Kamu pikir kamu siapa? beraninya kamu bersikap sombong di wilayahku?
Agus adalah pria bertubuh tinggi dan berotot dan juga memiliki sabuk hitam taekwondo.
Namun, hari ini akibat kecerobohannya, jari tangannya terpotong oleh kekuatan misterius Revan.
Agus tidak bisa lagi menahan amarahnya dan menyerang Revan dengan ganas. Beraninya sampah seperti Revan ini mencari masalah di wilayah kekuasaannya.
Revan menatap pria itu sambil mencibir. Detik berikutnya, Revan menangkap tinju itu lalu memelintirnya.
Krak!
Suara renyah patah tulang pun terdengar.
Setelah itu, Revan mengayunkan tangannya dan menampar pria itu hingga terhempas ke lantai. Kecepatan Revan sangat cepat sehingga Agus tidak tahu siapa yang menyerangnya.
Buk!
"Siapa?"
Agus terkejut. seluruh tubuhnya kesakitan dan pipinya membengkak.
Dia tidak tahu kapan dia di serang dan mengapa dirinya tiba-tiba terhempas?
Namun, setelah di melihat di sekelilingnya, hanya ada Lona dan Revan. Tidak ada orang lain selain mereka bertiga.
Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Revan.
Dia mendapati bahwa Revan juga sedang menatapnya dengan senyum menyeringai lalu berkata, "Bukankah kamu ingin memukulku? kanapa malah kamu yang terlihat menyedihkan?"
Suara sarkas Revan membuat amarah Agus semakin membuncah.
Agus seketika berpikir, "Apakah Revan yang menamparnya?"
Namun, dia menepis pikiran itu sambil menggelengkan kepalanya. Jika yang menamparnya adalah Revan, dia tidak mungkin terhempas dan mengalami Luka berat seperti ini. Mengingat postur tubuhnya dengan Revan sangat jauh.
Agus pun berusaha bangkit berdiri sambil menatap Revan dengan tatapan dingin, "Tempat ini di bawa perlindungan Lukas Samos. Kamu tahu siapa dia, kan? Dia adalah anggota keluarga Samos dan juga merupakan adik kandung Herry Samos. Kamu berani berbuat masalah di sini? kamu sepertinya sudah bosan hidup!"
Meskipun dia tidak tahu siapa yang menyerangnya barusan, tapi Agus yakin bahwa, orang itu sedang bersembunyi di kegelapan dan ada hubungannya dengan Revan.
Jika tidak, Revan tidak akan punya keberanian untuk membuat keributan disini.
"Kamu mengancamku dengan nama Lukas? Apa kamu serius?" kata Revan sambil tersenyum mengejek.
Revan kemudian melanjutkan, "Hari ini, aku datang untuk meminta penjelasan. Sudah kubilang, aku ini pendendam. berlutut dan meminta maaf padaku atau ... Bahkan jika Herry Samos datang, dia tidak akan bisa menyelamatkanmu!"
Mendengar itu, Agus tertawa terbahak-bahak.
"Oh, aku sangat takut ..." ejek Agus. "Kamu pikir kamu siapa? Bahkan Herry Samos tidak bisa menyelamatkanku?"
"Apa otakmu sudah tidak waras?" bentak Agus.
Lona yang sejak tadi duduk diam di balik meja pun ikut berbicara, "Ya, Tuhan ... sepertinya pukulan waktu itu menyebabkan sampah ini menjadi bodoh!"
Sesaat kemudian, ekspresi Agus tiba-tiba berubah, "Aku tidak tahu kamu bekerja untuk siapa, tapi kamu sudah membuat keributan disini. jangan harap kamu bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup!"
Setelah mengatakan itu, Agus melambaikan tangannya, seketika lusinan pengawal bertubuh kekar bergegas masuk.
Masing-masing, dari pengawal itu memegang Tongkat listrik.
"Sekarang, belum terlambat bagimu untuk berlutut dan memohon ampun padaku!" ujar Agus dengan nada datar.
Revan masih duduk bersandar di sofa sambil menyilangkan kakinya dengan tenang. Dia menatap para pengawal itu dengan tatapan dingin.
"Aku baru saja mengatakan padamu, siapapun yang datang hari ini, tidak ada yang bisa menyelamatkanmu. Aku akan menghitung sampai tiga. Jika kamu tidak segera berlutut dan meminta maaf padanya, maka jangan salahkan aku. Tidak ada kesempatan lagi bagimu!" kata Revan acuh tak acuh sambil tersenyum tipis.
"Dasar bajingan! Kamu masih berani menggertak dalam situasi seperti ini? Kalian, patahkan tangan dan kakinya!" perintah Agus. Dia tidak tahu, dari mana keberanian sampah ini berasal.
Dia kemudian mundur kebelakang sambil mengawasi orang yang barusan menyerangnya.
Setelah mendapat perintah, lusinan pengawal itu bergegas menyerang Revan.
"Bocah, berani sekali kamu memprovokasi Tuan Agus? Kamu sudah bosan hidup rupanya!" seru seorang pengawal.
"Apa yang membuatmu berpikir, tempat ini adalah tempat bagimu untuk bermain-main?" pengawal itu menambahkan.
Revan perlahan bangkit berdiri sambil menatap pengawal itu dengan tatapan dalam lalu bertanya, "Apa kamu sedang berbicara denganku?"
Mendengar pertanyaan Revan, Amara pengawal tersebut langsung tersulut, sambil berteriak, "Sialan! sebentar lagi kamu akan segera mati, namun masih berlagak sombong!"
Sambil memegang tongkat listrik di tangannya dia bergegas menghampiri Revan.
Revan menggelengkan kepalanya, "Aku tidak ingin menyakiti orang yang tidak bersalah. Tetapi, karena kalian yang menginginkannya, maka jangan salahkan aku!"
Tongkat listrik itu hanya berjarak beberapa milimeter darinya.namun Tiba-tiba tongkat itu berhenti. Revan langsung bergerak secepat kilat hingga menyisakan bayangan melewati pengawal itu. Detik selanjutnya, pengawal itu merasakan pergelangan tangannya seperti di jepit oleh dua batang baja. Revan kemudian memelintir tangan pengawal itu hingga menimbulkan suara retakan tulang .
Krak!
Setelah memelintir tangannya, Revan menampar pengawal itu hingga terpental beberapa meter jauhnya.
**********