~Karya Original~
[Kolaborasi dari dua Author/BigMan and BaldMan]
[Update setiap hari]
Sebuah ramalan kuno mulai berbisik di antara mereka yang masih berani berharap. Ramalan yang menyebutkan bahwa di masa depan, akan lahir seorang pendekar dengan kekuatan yang tak pernah ada sebelumnya—seseorang yang mampu melampaui batas ketiga klan, menyatukan kekuatan mereka, dan mengakhiri kekuasaan Anzai Sang Tirani.
Anzai, yang tidak mengabaikan firasat buruk sekecil apa pun, mengerahkan pasukannya untuk memburu setiap anak berbakat, memastikan ramalan itu tak pernah menjadi kenyataan. Desa-desa terbakar, keluarga-keluarga hancur, dan darah terus mengalir di tanah yang telah lama ternodai oleh peperangan.
Di tengah kekacauan itu, seorang anak lelaki terlahir dengan kemampuan yang unik. Ia tumbuh dalam bayang-bayang kehancuran, tanpa mengetahui takdir besar yang menantinya. Namun, saat dunia menjerumuskan dirinya ke dalam jurang keputusasaan, ia harus memilih: tetap bersembunyi/melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 22 - Latihan yang Sesungguhnya: Bagian 1: Ayunan
...----------------...
Abirama dan Sora akhirnya tiba di sebuah tempat yang tersembunyi di balik pepohonan tinggi. Tanah ini dikelilingi oleh batu-batu besar, sebagian tertutup lumut, menciptakan kesan bahwa tempat ini sudah lama tidak tersentuh manusia. Salju tipis menutupi tanah, memberikan suasana yang sunyi dan hampir sakral.
Sora memperhatikan sekelilingnya dengan rasa penasaran. "Ayah... tempat ini..."
Abirama tersenyum tipis, pandangannya menyapu area itu dengan sorot mata yang dipenuhi nostalgia. "Ayah dulu sering datang ke sini," katanya pelan. "Saat pertama kali tinggal di desa ini bersama ibumu, ayah masih sulit untuk melepaskan kebiasaan berlatih. Jadi, sesekali, ayah akan datang ke sini sendirian, mengayunkan pedang, hanya untuk memastikan tidak kehilangan jati diri ayah."
Sora menatap ayahnya dengan mata penuh kekaguman. "Lalu... kenapa berhenti?"
Abirama tertawa kecil, namun ada nada pahit di dalamnya. "Karena ibumu."
Sora terdiam.
"Ibumu tidak pernah melarang ayah secara langsung," Abirama melanjutkan, suaranya lebih lembut. "Tapi ayah tahu... setiap kali ayah kembali ke rumah dengan napas berat dan tangan gemetar karena latihan, ibumu akan melihat ayah dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Seperti seseorang yang takut kehilangan sesuatu yang berharga."
Sora menelan ludah. "Ibu tahu kalau ayah adalah seorang pendekar?"
Abirama mengangguk. "Tentu saja. Tapi ibumu ingin ayah menjadi seorang suami, bukan seorang pejuang. Jadi, perlahan-lahan, ayah berhenti datang ke sini. Ayah mulai percaya bahwa pedang ayah tidak diperlukan lagi."
Hening sejenak. Sora memandang ayahnya, memahami betapa beratnya keputusan itu.
"Tapi sekarang..." Sora mengepalkan tangannya. "Ayah datang ke sini lagi. Bersamaku."
Abirama menatap anaknya, lalu tersenyum samar. "Ya."
Sora merasa dadanya menghangat. Ia tahu bahwa ayahnya tidak akan kembali ke tempat ini jika bukan karena dirinya. Jika bukan karena keyakinan bahwa Sora layak mewarisi sesuatu yang dulu pernah ditinggalkannya.
"Mari kita mulai, Sora." Seru Abirama.
......................
Abirama berdiri di tengah lapangan kecil yang dikelilingi pepohonan tinggi. Salju tipis masih menyelimuti tanah, namun udara dingin tak menghalangi semangat yang terpancar dari sorot mata Sora.
Di tangannya, Abirama menggenggam sebuah pedang kayu, sementara di hadapan Sora, sebuah pedang sungguhan tertancap di tanah.
Sora menatap pedang itu, lalu ke arah ayahnya. "Ayah yakin? Aku pakai pedang sungguhan?"
Abirama mengangguk. "Ya. Pedang sungguhan lebih berat dari yang kau kira. Jika kau ingin belajar, kau harus mulai dari sesuatu yang nyata."
Sora menarik napas dalam, lalu menggenggam gagang pedang itu dengan kedua tangannya. Perlahan ia menariknya dari tanah, mengangkatnya setinggi dada. Abirama memperhatikan dengan saksama.
Awalnya, ia mengira Sora akan kesulitan. Namun…
—Srek!
Sora mengayunkan pedang itu dengan lancar.
Mata Abirama menyipit. "Hoo…"
—Srek!
Sora mengayunkannya lagi. Gerakannya kasar, tapi ada kekuatan dalam setiap ayunan. Pedang itu tidak terlihat terlalu berat baginya.
Abirama menggenggam pedang kayunya lebih erat. Ada sesuatu yang tidak biasa.
"Sora."
"Ya, Ayah?"
"Kau tidak merasa pedang itu berat?"
Sora mengerutkan alisnya. "Berat… tapi tidak sampai sulit mengangkatnya."
Abirama menatap anaknya dengan tatapan sulit dijelaskan. Tidak masuk akal. Anak seusia Sora seharusnya kesulitan bahkan hanya untuk mengayunkannya.
Abirama menelan ludah.
"Tidak salah lagi, ini adalah kemampuan dari Klan Strein. Tapi... dari mana ia mendapatkan kekuatan ini?" Darahku tidak berasal dari klan itu, begitu pula Kimiko, Lalu… bagaimana bisa?"
Abirama masih diam, tatapannya dalam. Ada sesuatu yang aneh di sini. Ia menggenggam pedang kayunya lebih erat. Hatinya dipenuhi pertanyaan yang tidak bisa ia jawab.
Sora menatap ayahnya dengan bingung. "Ayah?"
Abirama tersadar dari lamunannya. Ia menghela napas panjang dan menenangkan pikirannya.
"Ayo mulai," katanya.
Sora mengangguk.
Abirama memposisikan dirinya. "Dengarkan baik-baik. Yang pertama dan terpenting dalam ilmu pedang adalah… mengayun."
Sora berkedip. "Mengayun?"
"Ya."
"Tapi… hanya itu?"
Abirama tersenyum tipis. "Mengayun pedang bukan hanya soal menggerakkan tangan. Ini soal keseimbangan, kendali, dan ketepatan. Jika kau bisa menguasai ayunanmu, maka kau bisa menguasai pedangmu."
Sora tampak tidak sepenuhnya yakin, tapi ia tetap mengangguk.
"Baiklah, coba tiru ayah."
Abirama mengangkat pedang kayunya, lalu mengayunkannya ke depan dengan gerakan yang halus dan presisi. Sora memperhatikan dengan serius, lalu mencoba menirunya.
—Srak!
Pedang di tangannya melesat ke depan. Gerakannya masih kasar, tapi kekuatannya nyata.
Abirama memperhatikan dengan seksama.
"Ulangi."
Sora mengangguk dan mengayunkan pedangnya lagi.
"Lagi."
—Srak!
"Lagi."
—Srak!
Pelatihan berlanjut, suara pedang membelah udara berulang kali. Salju di sekitar mereka perlahan-lahan berhamburan akibat tekanan ayunan yang kuat.
Sora mulai terengah-engah.
"Tunggu…" katanya. "Kenapa hanya mengayun?"
Dengan suara tenang, Abirama berkata, "Sora, ketika seorang pandai besi menempa pedangnya, apakah ia langsung menciptakan bilah yang sempurna dalam satu pukulan?"
Sora mengerutkan kening, mencoba memahami maksud ayahnya. "Tidak... butuh banyak pukulan dan waktu untuk membentuknya."
Abirama mengangguk. "Begitu juga dengan seorang pendekar. Sebuah pedang bisa tajam, tapi jika tidak terbiasa diayunkan dengan benar, maka ia hanya sebilah besi yang sia-sia. Mengayun pedang bukan hanya soal gerakan, tapi soal membentuk dasar. Kekokohan tanganmu, keseimbangan tubuhmu, dan ketahanan napasmu. Semuanya diuji di sini."
Sora terdiam. Kata-kata itu masuk ke dalam pikirannya, menancap lebih dalam dari yang ia kira.
"Sekarang, perhatikan ini baik-baik," ujar Abirama, suaranya tenang namun tegas.
Ia mengangkat pedang kayu itu setinggi bahunya, lalu mengayunkannya ke depan dengan gerakan yang tampak sederhana—namun seketika udara di sekitarnya bergetar.
WUSSHH!
Hempasan angin dari ayunan itu merontokkan dedaunan di pepohonan sekitar, bahkan salju yang menumpuk di sekitarnya tersapu oleh kekuatan tak kasatmata.
Sora membelalakkan mata. Dadanya berdebar kencang.
Abirama menurunkan pedangnya perlahan, seakan tak ada yang terjadi. Namun, keheningan yang muncul setelah ayunan itu lebih menegangkan daripada suara ledakan.
Ia menatap Sora dalam-dalam. "Pedang sejati bukan hanya tajam di bilahnya, tapi juga tajam di tangan yang menggenggamnya."
Abirama menepuk bahunya pelan. "Jadi, bersabarlah, pendekar sejati bukan mereka yang terburu-buru menguasai seribu teknik, tetapi mereka yang mengasah satu teknik hingga menjadi bagian dari dirinya sendiri."
Sora menatap ayahnya, lalu kembali menggenggam pedangnya lebih erat. Kali ini, ketika ia mengayunkan pedang, ada pemahaman baru yang menyertainya.
1. Disiplin >> Lulus.
2. .... ?
Lanjut thoorr!!! /Determined//Determined/