Pernikahan Arya dan Ranti adalah sebuah ikatan yang dingin tanpa cinta. Sejak awal, Arya terpaksa menikahi Ranti karena keadaan, tetapi hatinya tak pernah bisa mencintai Ranti yang keras kepala dan arogan. Dia selalu ingin mengendalikan Arya, menuntut perhatian, dan tak segan-segan bersikap kasar jika keinginannya tak dipenuhi.
Segalanya berubah ketika Arya bertemu Alice, Gadis belasan tahun yang polos penuh kelembutan. Alice membawa kehangatan yang selama ini tidak pernah Arya rasakan dalam pernikahannya dengan Ranti. Tanpa ragu, Arya menikahi Alice sebagai istri kedua.
Ranti marah besar. Harga dirinya hancur karena Arya lebih memilih gadis muda daripada dirinya. Dengan segala cara, Ranti berusaha menghancurkan hubungan Arya dan Alice. Dia terus menebar fitnah, mempermalukan Alice di depan banyak orang, bahkan berusaha membuat Arya membenci Alice. Akankah Arya dan Alice bisa hidup bahagia? Atau justru Ranti berhasil menghancurkan hubungan Arya dan Alice?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erna BM, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 28 Bos Davidson
Arya menatap kedua anaknya bingung. "Kamu? kamu makan segini banyak memangnya habis?"
kedua anak itu mengangguk. "Pasti habis pa. Aku kan pesen sekalian buat sore. Nanti di bawa pulang"
Arya hanya bisa mengangguk. Dan mengajak bermain Devan kembali ke tempat kolam ikan. Devan senang sekali dengan ikan-ikan koi yang berawarna warni cerah berjalan lenggak lenggok di dalam air.
Siang itu, cahaya yang mulai terik menyelimuti taman kota. Suara keramaian orang berlalu lalang menambah keindahan suasana.
Arya dan Alice tampak asyik bermain bersama Devan, putra mereka yang masih kecil. Di dekat kolam ikan yang penuh dengan ikan koi berwarna-warni. Deva tertawa ceria setiap kali ikan-ikan itu mendekat, berharap mendapatkan remahan roti yang ia lemparkan.
Alice, dengan senyum lembutnya, menatap Arya. Meski hubungan mereka tak dimulai dengan mudah, cinta yang tumbuh di antara mereka kini tak terbantahkan. Devan adalah bukti nyata dari kebahagiaan mereka.
Arya meraih tangan Alice, menggenggamnya erat, seolah berjanji untuk selalu melindungi keluarganya dari segala ancaman apapun.
Di meja taman restauran, Shela dan Dela masih duduk di restoran terbuka yang menghadap langsung ke kolam ikan. Shela dan Dela menikmati makanan dan minumannya yang baru di hidangkan. Selebihnya mereka bungkus. sambil sesekali melirik ke arah Alice dan Arya.
"Kamu lihat mereka?" ujar Shela, nada suaranya penuh kebencian.
Dela, yang sedari tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Aku tahu apa yang harus kulakukan Kak," katanya. Di balik wajah polosnya, tersimpan niat jahat yang diperoleh dari sang ibu.
Sesaat Shela menatap adiknya. "Kita tidak bisa membiarkan mereka terus bahagia, sementara kita menderita. Kasihan mama," bisiknya.
Dela mengangguk. Dengan cekatan, ia merogoh saku kecilnya dan mengeluarkan sebuah botol kecil berisi bubuk berwarna putih, menaburkannya ke minuman Alice. Gerakannya begitu halus, nyaris tak terlihat.
Bubuk racun itu adalah hasil racikan dari teman Ranti yang memiliki koneksi dengan dunia gelap.
Restoran itu mulai ramai saat menjelang siang. Alice, Arya, dan Devan bergabung dengan Shela dan Dela di meja mereka. Alice duduk di sebelah Dela, tidak menyadari bahaya yang mengintai.
"Pasti Devan senang sekali bisa bermain di sini," ujar Shela, berpura-pura ramah.
Alice tersenyum lembut. "Iya, dia sangat suka melihat ikan-ikan itu."
"Oh iya, kalau begitu, kami pulang dulu yah. Pa, kami pamit yah," ucap Shela.
Arya mengangguk. "Yah, kamu hati-hati"
Shela dan Dela meninggalkan tempat itu, menghampir Ranti sang ibu, yang sedari tadi menunggu di ujung jalan.
Devan berlari mengambil minuman milik Alice, dan meminumnya.
Setelah beberapa saat, Devan merasakan gatal seluruh badannya. Ia garuk-garuk terus menerus.
"Kamu kenapa Dev? Kenapa garuk-garuk terus?" tanya Arya dengan cemas.
"Iya, kamu kenapa sayang?" Tanya Alice.
"Gatal... Gatal.. . Aduh.. . Aku gatal," ucap Devan sambil terus menggaruk-garuk.
"Alice, apa mungkin Devan ada alergi sesuatu?"
"Perasaan gak ada deh mas! Kita ke dokter saja yah," Alice menggendong Devan yang masih garuk-garuk.
Di tengah perjalanan, Devan menangis karena rasa gatal yang tidak tertahankan. Arya menghubungi dokter sambil tetap menyetir dengan kecepatan penuh. Devan di kursi belakang menangis keras, tak mengerti apa yang terjadi pada dirinya.
Di rumah sakit, Devan langsung mendapat perawatan intensif. Dokter mencurigai adanya keracunan, tetapi belum bisa memastikan jenis racun yang digunakan. Arya duduk di ruang tunggu, wajahnya kusut dengan mata merah.
Saat dokter keluar dari ruang IGD, Arya segera mendekatinya. "Bagaimana kondisi anak saya, Dok?"
"Kami berhasil menstabilkannya untuk saat ini. Dan kami akan menetralisir racunnya. Tapi kami perlu tahu lebih lanjut tentang racun yang masuk ke tubuhnya benar-benar racun, atau Devan hanya alergi makanan," ucap dokter.
Arya menggeleng, merasa putus asa melihat Devan menangis sambil terus menggaruk, menjadikan kulitnya banyak yang terluka. Dan kini, tangannya di ikat kiri kanan. Ia menghela nafas dengan air mata yang mulai tergenang. Ia tidak pernah menduga bahwa ada ancaman sebesar ini terhadap anaknya.
Setelah beberapa hari, kondisi Devan mulai membaik. Dokter menyatakan bahwa racun yang digunakan tidak mematikan tetapi cukup untuk membuat jaringan kulit rusak parah jika tidak ditangani dengan cepat.
Di sisi lain, Ranti merasa gugup. Rencananya tidak berjalan seperti yang diharapkan. Alih-alih menyingkirkan Alice, kini perhatian Arya justru semakin besar kepada istrinya itu. Rasa benci Ranti ke Alice semakin membara, namun ia menyadari bahwa tindakannya telah gagal.
Ketika Devan akhirnya diperbolehkan pulang, Arya memutuskan untuk lebih berhati-hati.
Meski Devan belum pulih sepenuhnya, Alice berusaha menjaga penuh pada putranya. Setiap malam, Arya duduk di samping ranjang Alice, memegang tangannya, berbisik lembut, "Aku tidak mau kamu dan Devan kenapa-napa. Aku tidak mau terjadi sesuatu hal buruk menimpa kalian berdua"
Alice menatap suaminya, merasakan cinta yang begitu tulus. Ia tahu bahwa cobaan ini justru membuat mereka semakin kuat.
Di sisi lain, Dela mulai merasa khawatir. Jika sang ayah menemukan bukti keterlibatan mereka, semuanya akan berakhir. Ranti tahu akan kekhawatiran anaknya. Ia mengusap kepala Dela.
Shela hanya bisa terdiam. Ia sadar bahwa rencana mereka kini telah berada di luar kendali. Namun mereka tidak berani menolak perintah ibunya yang mendoktrin anaknya untuk membenci Alice dan Arya.
______
Arya duduk di sudut kamarnya, menatap kosong ke dinding. Sejak keluar dari penjara, hidupnya terasa berantakan. Ia kehilangan banyak hal. Seperti pekerjaan dan harga diri, dan masa depan yang dulu ia bayangkan. Namun, ia tak ingin terus-menerus tenggelam dalam keterpurukan.
Tiba-tiba, pikirannya menangkap sesuatu. Ingatan samar muncul di kepalanya. Ia mengingat seorang pria bernama Roy temannya saat di dalam penjara. Saat itu, Roy memberinya sebuah kartu nama dan menyuruhnya menghubungi seseorang setelah bebas. Dengan cepat, Arya berdiri dan merogoh sakunya, mengeluarkan dompet lusuh yang selalu ia bawa. Ia membuka setiap lipatan hingga akhirnya menemukan selembar kartu nama yang sudah agak kotor dan lecek.
Davidson Liam.
Nama itu tertera dengan jelas di atas kartu nama tersebut, diikuti dengan nomor telepon dan alamat kantor. Arya menatapnya cukup lama sebelum akhirnya menghela napas dalam.
"Aku harus mencoba," gumamnya.
Tangan Arya sedikit gemetar saat ia mengambil ponselnya. Ia mengetik nomor yang tertera di kartu nama, lalu menekan tombol panggil. Suaranya tercekat saat mendengar nada sambung.
"Halo?" Suara seorang pria terdengar dari seberang.
Arya menelan ludah. "Selamat siang, Pak Davidson. Saya Arya. Saya mendapatkan nomor ini dari Roy saat saya berada di dalam penjara. Ia menyarankan saya untuk menghubungi Anda."
Davidson diam sejenak sebelum akhirnya ia menjawab, "Arya? Kau mengenal Roy?"