Malam "panas" antara Danar dan Luna, menjadi awal kisah mereka. Banyak rintangan serta tragedi yang harus mereka lalui. Masa lalu mereka yang kelam akankah menjadi batu sandungan terbesar? atau malah ada hamparan bukit berbatu lainnya yang terbentang sangat panjang hingga membuat mereka harus membuat sebuah keputusan besar dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Kunci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22.
ALangit malam hari itu terlihat cerah, suara klakson disepanjang jalan dari semua arah riuh bersahutan, mengular lalu lintasnya. Luna terlihat sedang asik mendengarkan sebuah musik, sesekali suara senandungnya terdengar dengan hampir seluruh tubuhnya bergerak. Malam itu dia sedang berada di apartemen Danar, setelah menghabiskan malam bersama di ruang rahasia Sang Atasan juga resmi menjadi sepasang kekasih, Danar bukan saja mempercayakan kartu masuk ruang kerja di ABS tetapi juga kartu akses masuk ke apartemen pribadinya. Luna masuk ke dalam apartemen sangat luas juga mewah itu tentu saja untuk menunaikan tugas tambahan yang tertera di dalam kontrak khususnya dengan Sang Kekasih. Perlahan namun pasti, satu - persatu ruangan serta lorong di apartemen itu selesai dikerjakannya hingga satu ruangan lagi yang akhirnya berani dia buka dan masih dipandang cukup lama hingga tubuhnya yang sedang berdiri di ujung pintu menggeliat juga terkejut ketika ada sentuhan lembut pada pinggang agak rampingnya. Senyum manis perempuan yang malam itu membuat cepolan pada rambutnya terkembang, lalu dia perlahan membalik tubuh dan menyampirkan kedua tangan di leher sosok yang memeluknya dari belakang.
"Mas, aku masih bau loh. Kamu emang betah...," ucapnya dengan nada suara lembut dan pandangan matanya yang agak menggoda, dia melihat keseluruhan wajah Danar secara bergiliran.
Danar dalam diam lalu mengangkat tubuh Luna, menggendong perempuan itu ala bride hingga teriakan keci terdengar dari bibir mungil Luna. Pupil Luna membesar ketika dilihat ekspresi wajah Danar, seolah dia mengetahui maksud kekasih lumayan tampannya itu. Danar membawa tubuh Luna keatas ranjang nan empuknya dan dibaringkannya perlahan, seketika ekspresi wajah Luna berubah karena sekelebat kejadian malam pertama mereka masih terbayang.
"Kalau nggak mau, nggak usah dipaksa ya. Kita bisa...," ucapan Danar terpotong ketika wajah mereka sangat dekat, dirasakan pegangan kuat di salah satu tangan kokohnya.
"Aku belum mandi, apa nggak..." Luna yang berniat memotong ucapan Danar, kini berada di posisi sebaliknya. Ucapan perempuan itu terhenti karena sentuhan lembut nan agresif dari bibir Danar.
Langit yang memang terlihat sudah gelap, namun waktu ternyata belum menunjukkan terlalu malam itu dan sinar rembulan purnama menjadi saksi kedua insan dimabuk asmara yang sedang memadu lebih dari perasaan yang mereka rasakan satu sama lain. Waktu itu Danar terlihat tidak memberi ruang sedikitpun untuk Luna menjauh darinya, sentuhan serta dekapan penuh cinta disiramkan lelaki itu pada perempuan yang baru 90% menjadi miliknya itu.
"Ada apa?" tanya Danar ketika Luna dan rambutnya yang sudah tergerai, membaringkan kepalanya di dada bidang Sang Kekasih. Tangan Danar mengelus pelan lengan agak kecil Luna dengan lembut dan dirasakan ada yang berbeda dari wanitanya itu.
"Aku takut..." jawab singkat Luna dengan suara agak pelan dan paraunya.
Senyum lebar dan kedua mata Danar terpejam sambil terus mengelus pelan Luna.
"Hamil..." jawab menggoda Danar dengan senyum lebar yang terus terukir.
Luna langsung bangun terduduk dengan selimut melilit tubuhnya dan dipukul keras dada Sang Kekasih hingga tawa yang sempat ditahan oleh Danar keluar. Kemudian kedua matanya terbuka dan agak bangun kedua tangannya memegang lengan Luna yang sedikit memberontak karena kesal mendengar jawabannya tadi, namun Danar selalu menang dan berhasil membuat wanitanya itu kembali ke posisi awal. Kini tangannya sudah menjadi bantal kepala Luna dengan belaian lembut dikepala cukup besar perempuan muda itu.
"Takut apa?" tanya Danar masih dengan nada suara santai.
"Ibu Rania juga Mbak Nadia. Mas, Mbak Nadia itu serasi banget sama kamu, aku...," ucapan Luna terhenti ketika Danar merubah posisinya dengan memegang bibir Luna hingga berubah bentuk menjadi agak maju.
"Kamu, hanya kamu yang serasi sama aku. Kalau bukan kamu, aku nggak mau. Jadi, please jangan mikir yang macem - macem, buang perasaan takut nggak pentingmu itu atau...," Danar mengatakan itu semua dengan wajah serius dan agak kaku, namun tiba - tiba terhenti.
Kini bibir Luna berubah kembali normal ketika tangan Danar sudah memegang pundaknya dan mendekat ke salah satu daun telinga perempuan manis itu.
"atau lusa kamu bakal liat garis dua di toilet...," lanjut Danar dengan suara berbisiknya.
Pupil Luna membesar dan di dorong kekasih super jahilnya itu, lalu dia tidur berbalik arah membelakangi Danar yang tertawa lepas ketika melihat reaksi Sang Kekasih. Perlahan dengan masih tertawa kecil Danar melingkarkan satu tangannya ke pinggang Luna dan menariknya hingga mereka kembali menjadi sangat dekat.
"I love you Luna and always...," bisik Danar yang ditutup dengan kecupan dalam di kepala Luna.
Senyum lebar perempuan manis itu terkembang dengan perlahan tangan Luna meraih tangan Danar yang melingkar di pinggangnya, lalu di dekapnya cukup erat.
Di siang hari sebelumnya...
Dimas berjalan cukup cepat dan beberapa kali terlihat menghindar ketika tidak sengaja akan menabrak seseorang yang dilewatinya. Wajahnya kaku, pandangannya lurus ke depan. Begitu cepat dia berjalan hingga secara mendadak langkahnya terhenti ketika dilihat dari kejauhan sosok yang dia cari, yaitu Dian. Perempuan berkacamata itu terlihat sedang memandu seorang teman satu divisi Dimas yang sedang mendorong kereta barang dengan tumpukan kardus yang cukup banyak untuk mengikuti dirinya. Dimas dengan cepat merogoh saku celana dan memakai masker wajahnya lalu langkah cepatnya mendekat kearah temannya itu, dari samping yang lengah akan tangkapan mata elang Dian, Dimas memberi isyarat kepada temannya untuk berganti posisi. Tanpa Dian sadari mereka sudah masuk ke lift barang dan menuju ke sebuah lantai. Kebetulan perawakan serta penampilan Dimas hampir mirip dengan temannya tadi, sehingga Dian tidak merasa curiga bahkan ketika perempuan itu tidak sengaja melihat kearah Dimas yang masih dikira adalah orang dari divisi kebersihan.
Suara khas lift membuat langkah mereka kembali berlanjut hingga terhenti diujung lorong, Dian memindai kartunya dan pintu besi dengan pengaman ketat terbuka. Dimas mendorong kereta kardus itu dan terasa hawa sangat dingin dari dalamnya.
"Mas Saiful, bisa tolong tata kardus yang ini disana, biar sisanya saya disini. Kalau sudah selesai yang bagian saya ditaruh dilantai saja ya, Mas bisa lanjut kerja yang lain...," jelas Dian dengan nada suara yang berbeda dari kemarin saat merek berbincang singkat, padat dan tegang.
Dimas hanya mengangguk dan langsung mengikuti arahan Dian dengan sesekali curi pandang pada perempuan berkacamata itu. Dian sendiri tidak merasa curiga dan terus fokus pada kardus - kardusnya. Namun, baru berjalan sesaat tiba - tiba Dian hampir saja mengalami nasib naas. Tanpa meminta pertolongan Dimas yang dianggapnya Saiful, Dian berniat meletakkan kardus cukup besar ke salah satu rak bertingkat dengan hanya menggunakan kemampuan berjinjitnya. Alhasil, salah satu engkelnya mengalami lemah otot dan telapak kakinya berubah posisinya lalu membuat keseimbangan tubuhnya seketika tidak ada, teriakan agak kencang terdengar bersamaan dengan suara buku yang cukup berat jatuh ke lantai. Kedua mata Dian terpejam sesaat dengan dahinya yang sangat berkerut hingga perlahan dibukanya, samar dilihat bayangan seseorang yang berada diatasnya memegang tubuh dan melindunginya dari sesuatu. Pandangan samar itu berganti menjadi terang ketika dilihat aliran darah muncul dipelipis Dimas yang masih disangk Saiful oleh Dian.
"Darah, Mas Saiful, Mas nya berdarah...," ucap Dian yang kemudian berusaha berdiri tegak lagi dan kemudian memegang satu tangan Dimas.
Lelaki itu kemudian mencari darah yang dikatakan oleh Dian tadi, namun tangannya ditahan oleh perempuan berkacamata itu.
"Jangan dipegang Mas, nanti infeksi. Mari saya bantu duduk dulu...," lagi suara lembut ajakan bersahabat terdengar dari Dian membuat debaran yang dirasakan Dimas kembali muncul namun kali ini agak berbeda.
Saat sedang duduk, lelaki itu memandangi Dian yang sedang fokus mencari pertolongan pertama pada kotak P3K ruangan itu. Menyipit, kelopak mata Dimas terlihat dan ada senyum kecil terbentuk tatkala melihat Dian dari jarak yang tidak seberapa jauh. Namun, dengan cepat pandangan dan ekpresinya tadi dialihkan ketika Dian mendekat dengan semua peralatan medis yang didapatnya dan duduk tepat dihadapnnya, jarak mereka hampir mirip seperti tadi, cukup dekat.
"Mas, bisa tolong dilepas maskernya...," pinta Dian sembari mempersiapkan kapas serta beberapa tetes alkohol yang sudah mulai membasahi benda berbentuk persegi nan lembut itu.
Namun masih dalam posisi diam, Dimas menggeleng tanpa sepenglihatan Dian. Ketika perempuan itu sudah melihat kearah Dimas, ia merasa aneh karena masker itu belum juga terlepas dari wajah lelaki yang dikiranya Saiful. Sekali lagi Dian meminta dengan sopan namun lagi - lagi hanya gelengan kepala yang bisa diberikan oleh Dimas. Kedua tangan Dian yang sudah disterilisasi menjadi tidak sabaran dengan tatapannya menjadi sedikit datar dan tajam.
"Mas, kerjaan saya bukan cuman ngobatin Mas Saiful. Lepas sekarang atau saya bakal lapor ke Ibu Rahma kalau Mas Saiful tidak kooperatif saat kerja sama saya...," nada yang masih lekat di benak Dimas tiba - tiba muncul.
Dengan masih bertatapan, Dimas akhirnya mau mengalah dan membuka masker wajah dengan kedua tangannya. Pupil dan mimik wajah Dian seketika berubah, lalu perempuan itu perlahan berdiri dengan kerutan di dahinya.
"Apa - apaan ini? tadi kamu ada di ruangan saya, sekarang kamu menyabotase teman satu divisi mu...," Dian kemudian berbalik, namun dengan cepat Dimas menahan langkah perempuan itu.
"Kenapa harus bohong? Kenapa buat ngaku aja susah? Kenapa? Kamu suka sama saya?" pertanyaan bombardir Dimas membuat wajah Dian semakin kesal. Lagi, tangan Dimas yang menahannya dihempas dengan sangat keras sekarang. Lalu, Dian berjalan mendekat kearah Dimas, walaupun agak mendongak karena adanya perbedaan tinggi badan, namun perempuan berkacamata itu memastikan retina miliknya dan Dimas bertemu.
"Suka? Ternyata selain menjadi bagian terendah di struktur perusahaan ini, tingkat kepercayaan diri kamu sangat tinggi. Kasihan, saya kasihan sama kamu. Kamu bukan tandingnya Pak Danar. Puas sekarang...," penjelasan Dian kali ini membuat bukan hanya membeku tapi binar disorot mata Dimas hilang. Seketika lelaki itu merasa harga dirinya tercabik - cabik, kedua tangannya terkepal dan dia masih dalam posisi berdiri dengan darah yang masih mengalir, Dian meninggalkannya sendirian di ruangan yang sangat dingin.
********