Soal keturunan memang kerap menjadi perdebatan dalam rumah tangga. Seperti yang terjadi dalam rumah tangga Hana.
Hubungan yang sudah dibangun selama 10 tahun, tiba-tiba hancur lebur dalam satu malam, saat suaminya mengatakan dia sudah menikahi wanita lain dengan alasan keinginan sang mertua yang terus mendesaknya untuk memiliki keturunan.
"Jangan pilih antara aku dan dia. Karena aku bukan pilihan." -Hana Rahmania.
"Kalau begitu mulai detik ini, aku Heri Hermawan, telah menjatuhkan talak kepadamu, Hana Rahmania, jadi mulai detik ini kamu bukan istriku lagi." -Heri Hermawan.
Namun, bagaimana jika setelah kata talak itu jatuh, ternyata Hana mendapati dirinya sedang berbadan dua? Akankah dia jujur pada Heri dan memohon untuk kembali demi anak yang dikandung atau justru sebaliknya?
Jangan lupa follow akun sosmed ngothor
Ig @nitamelia05
FB @Nita Amelia
salam anu 👑
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ntaamelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Makin Muak
"Aku udah transfer uang gajiku ke rekeningmu," ucap Heri setelah selesai mandi dan melihat Mayang yang ada di dalam kamar.
Wanita yang tengah menyisir itu langsung menoleh ke arah suaminya dengan senyum sumringah. "Semuanya kan?" Tanyanya, memastikan bahwa Heri mentransfer semua uang gajinya, karena saat ini dia adalah kepala keuangan keluarga.
"Maksudnya?" Heri balik bertanya dengan kening mengernyit.
"Iya Kakak transfer semua uangnya ke aku kan? karena biasanya istri itu pegang semua keuangan suami," jawab Mayang sesuai pemahamannya. Berdasarkan cerita teman, juga bacaan-bacaan yang lewat di beranda sosial medianya.
Heri tercenung, selama lima tahun dia menikah dengan Hana, tak sekalipun dia memberikan gajinya utuh kepada wanita itu. Hana memang memegang ATM-nya, tapi itu juga separuh karena dia juga membaginya untuk Mamah Saras.
Heri mengangguk, terpaksa berbohong. Karena dia tidak ingin Mayang menguasai semua miliknya. Yang ada dia akan kesulitan.
"Iya, jangan lupa jatah Mamah," ujar Heri, tes pertama, karena dia ingin tahu bagaimana Mayang mengelola keuangannya. Mayang juga mendapatkan gaji, jadi seharusnya wanita itu tidak akan keberatan.
"Jatah Mamah? Maksudnya aku harus kasih uang? Kan Mamah udah dapet dari Papah, tanggung jawab kamu itu sekarang cuma aku, Kak! Jadi seharusnya Mamah nggak perlu, yang kita pikirin ya keperluan rumah tangga kita aja. Bayar ART kamu pikir nggak besar?" jawab Mayang dengan menggebu.
Heri menghela nafas panjang, kini dia kembali menemukan perbedaan yang sangat mencolok.
"Tapi kamu juga punya gaji, Mayang. Apa itu nggak cukup?!" cetus Heri jadi meninggikan suaranya.
"Gaji aku ya punya akulah, Kak. Kamu nggak berhak memakainya. Lagian kita ini udah ada rencana punya anak. Kita perlu nabung, biaya untuk anak itu nggak murah!" cerocos Mayang dengan beribu-ribu alasan untuk mempertahankan argumennya. Sedikitpun dia tidak ingin berbagi.
Mendengar itu Heri merasa makin muak, jadi dia langsung menyambar baju dan berkata. "Hah, terserahlah. Kamu atur saja semuanya sendiri."
Kemudian dia berlalu dari kamar karena mereka memang belum makan malam. Mayang berdecak, tapi bersyukur juga karena Heri mau mengalah.
"Aku udah capek-capek kerja dan rela tinggal lagi di rumah ini cuma biar hemat. Eh dia malah mau ngasih-ngasih Mamah. Uang Mamah juga udah banyak kali, kan Papah masih kerja!" gerutunya sambil melanjutkan kegiatannya menyisir.
***
Di meja makan wajah Heri terlihat tertekuk. Dia masih kesal karena Mayang selalu seenaknya sendiri. Beda dengan Hana yang patuh dan selalu mendukung apapun keputusannya.
Namun, Mayang yang masa bodoh tidak begitu memperhatikan suaminya. Selesai makan dia langsung pergi dari dapur, karena sudah ada ART yang akan membereskannya.
"Her, kamu sudah gajian kan?" tanya Mamah Saras, yang sudah menghafal tanggal gajian putranya. Heri mengangguk kecil. "Udah ditransfer?" Lanjutnya dengan wajah sumringah.
Heri terdiam, andai dia tidak menyisakan uang dan berbohong pada Mayang. Mungkin dia tidak akan bisa berbagi pada ibunya.
"Nanti ya, Mah, hp ku ada di atas," jawab Heri yang membuat Mamah Saras tersenyum lebar.
Pria itu kembali ke kamar, saat dia mencari-cari ponselnya dia tidak menemukan benda itu dimanapun.
"Kamu cari ini?" tanya Mayang sambil memperlihatkan benda pipih milik suaminya. Heri terperangah.
"Sini!" katanya, tapi Mayang malah menyembunyikannya di belakang punggung.
"Enggak! Kakak mau transfer uang ke Mamah kan? Emangnya aku nggak tahu?" ujarnya yang membuat Heri mengeratkan gigi depannya. Kenapa ribet sekali berurusan dengan istri barunya ini.
***
Seperti rencananya Hana pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungannya. Sebagai ibu hamil, hampir seluruh pasien didampingi oleh suami, berbeda dengan Hana yang ditemani Rindy, karena kebetulan wanita itu masuk shift dua.
Di samping Hana, Rindy mengelus lembut lengan ibu hamil itu, menyadari tatapan Hana yang sedikit sendu. "Nggak apa-apa, Han, kan ada aku."
Mendengar itu Hana langsung tersenyum dan mengangguk. Dia memang tak seberuntung wanita lain, tapi dia harus bersyukur karena masih memiliki orang-orang baik di sekitarnya.
Setelah cukup lama mengantri akhirnya nama Hana dipanggil. Dia melakukan USG untuk melihat perkembangan janinnya yang ada di dalam sana, Hana terus tersenyum selama pemeriksaan, tak menyangka jika akhirnya Tuhan memberikan kesempatan kepadanya untuk menjadi seorang ibu.
"Jenis kelaminnya belum kelihatan ya, Dok?" tanya Rindy yang terlihat lebih antusias.
"Untuk saat ini belum, mungkin di pertemuan yang akan datang kita bisa lihat sama-sama, pasti Ibu penasaran kan?" jawab sang dokter. "Yang penting Ibu jangan terlalu capek ya, dan makan makanan yang bergizi supaya dedeknya sehat terus." Sambungnya memberi wejangan.
"Tapi saya kerja, Dok, sebaiknya saya mulai ambil cuti di minggu ke berapa ya?" balas Hana berkonsultasi, supaya kehamilannya tidak terganggu sampai persalinan meski dia berkegiatan.
"Untuk cuti melahirkan biasanya saat usia kehamilan menginjak 34-36 minggu atau mendekati hari perkiraan lahir, semua tergantung kebijakan perusahaannya. Sebaiknya Ibu juga bicara dengan atasan, supaya lebih enak," jelas wanita berjas putih itu.
Rindy langsung menatap ke arah Hana, karena setahunya Hana tidak menjelaskan kehamilannya ke pihak perusahaan. Ditambah tubuh Hana yang kecil, jadi perutnya tidak terlalu kentara.
Setelah pemeriksaan selesai Rindy mengajukan pertanyaan di sela-sela langkah mereka menuju parkiran. "Sebaiknya kamu bilang lebih awal, Han, aku takut kamu malah dituduh yang tidak-tidak sama atasanmu karena menyembunyikan kehamilan demi bisa bekerja. Kalaupun nantinya kamu dipecat, kamu tidak perlu khawatir, aku akan menanggung biaya sehari-harimu sampai melahirkan nanti. Aku masih punya tabungan."
Hana benar-benar merasa terharu karena Rindy begitu perhatian padanya. Namun, saat ini dia tidak perlu cemas, karena Ibu Mia sudah tahu semuanya tanpa harus dijelaskan.
"Makasih ya, Rin, kamu udah baik banget. Tapi—kamu tenang aja, atasan aku udah tahu kalo aku hamil, dan perusahaan nggak mempermasalahkan. Aku bisa kerja kayak biasanya dan ambil cuti," jelas Hana dengan wajah teduhnya yang menenangkan.
Rindy pun bernafas dengan lega. Karena ternyata Tuhan sudah mempermudah jalan Hana dan bayinya.
"Syukurlah, Han, aku ikut seneng. Sekarang kita mau kemana? Langsung pulang atau ada mampir-mampir?" balas Rindy.
"Eum—gimana kalo kita pergi ke panti? Kamu masih punya waktu nggak?" jawab Hana memberikan ide. Rindy melihat jam di pergelangan tangannya, masih cukup pagi dan dia bisa mampir sebentar.
"Boleh," katanya sambil mengangguk.
Akhirnya mereka menaiki taksi menuju panti asuhan. Sesampainya di sana mereka disambut anak-anak yang ingin bersalaman sekaligus menginginkan es krim yang Rindy bagikan. Hal kecil yang membahagiakan, karena Hana dan Rindy pun pernah ada di posisi itu.
"Jangan rebutan ya, nanti juga kebagian semua," ucap Hana. Dan di saat ramai-ramai itu, panti asuhan kembali kedatangan sebuah mobil berwarna hitam. Semua orang langsung mengalihkan perhatiannya, termasuk Hana, ingin melihat siapa yang akan turun.
Seorang pria yang mengemudi tampak keluar lebih dulu, dia membukakan pintu yang lain dan menggandeng seorang wanita paruh baya. Hana terbelalak, sementara Ibu Rima tampak berjalan tergesa-gesa menghampiri keduanya.
"Ya ampun, Bu Mirna, apa kabar?" tanyanya sambil bersalaman juga cipika-cipiki, seperti dua orang yang baru pernah bertemu lagi.
"Saya baik, Bu Rima, gimana Ibu dan anak-anak? Maaf ya baru bisa mampir lagi. Oh iya kebetulan saya nggak datang sendiri, saya bawa anak bujang yang lagi libur, jadi saya suruh jadi supir," jawab Mamah Mirna seraya mencolek bahu pria yang ada di sebelahnya. Pria yang sedari tadi jadi fokus Hana.
'Elgar?'
kamu sudah buang berlian hanya demi batu kerikil heri... sekarang rasakan akibatnya
nggak gila aja masih untung kalian🤭
TPI kalau ketemu beneran sama elgar kmu jangan coba coba pukul dia ya kalau GK mau kamu yg nanti akan dihajar balik,😂