“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Suara lantang dari toa masjid membelah keheningan pagi, menusuk masuk ke telinga Syanas dengan intensitas yang tak memberi ruang untuk diabaikan. Lantunan ayat-ayat suci terdengar begitu jelas, seolah pengeras suara itu dipasang tepat di samping telinganya. Tidak ada jeda, tidak ada ampun.
Syanas mengerang pelan, tubuhnya bergeliat gelisah di atas ranjang. Selimut tebal yang membungkus tubuhnya terasa seperti tak mampu melindunginya dari gangguan luar.
Ia meraba-raba ke samping, menemukan bantal, dan langsung menekannya ke atas kepalanya, berusaha mati-matian memblokir suara yang membuat pikirannya semakin kusut.
“Berisik banget! Apa nggak ada yang bisa matiin itu toa?!” umpatnya dalam hati, penuh dengan kejengkelan yang menggelegak. Ia meringkuk lebih dalam, mencoba kembali ke pelukan tidur yang tadi terasa begitu singkat.
Namun, suara itu terus menghantam seperti ombak yang tak mengenal belas kasih, membangkitkan satu demi satu rasa kesal di dalam dirinya. Matanya masih terpejam rapat, tetapi pikirannya mulai bekerja.
Kenapa bisa sebising itu? Rumahnya jauh dari masjid. Syanas tidak pernah dengar suara sekencang itu, bahkan azan pun jarang sampai kedengaran.
Semakin ia mencoba mengabaikan, semakin nyaring suara itu menggema di telinganya. Jantungnya mulai berdegup cepat, bukan hanya karena gangguan yang terus mengusik, tapi juga karena ada sesuatu yang terasa tidak biasa. Syanas mulai sadar ada yang salah.
Perlahan ia membuka mata, hanya untuk disambut oleh pemandangan yang benar-benar asing. Ruangan di sekitarnya sama sekali bukan kamarnya.
Dinding penuh dengan rak buku, berjajar rapi, dipenuhi dengan buku-buku yang bahkan judulnya tidak ingin ia pedulikan. Perabotan di dalamnya terasa terlalu ramai untuk selera Syanas yang selalu ingin serba minimalis.
Dan di atas semuanya, ada kaligrafi besar yang menggantung di dinding, dengan tulisan arab yang terlihat begitu mencolok, membuat suasana ruangan itu semakin terasa religius.
Syanas mengerutkan kening, rasa bingung dan kesal bersatu dalam dadanya. Tangannya meremas ujung selimut, dan pandangannya mulai menyapu ruangan dengan lebih seksama. Jantungnya berdetak lebih cepat saat satu kesadaran melintas.
Pria itu. Kahfi.
Ia menggigit bibir bawahnya, pikirannya mulai menyusun potongan-potongan kejadian terakhir yang ia ingat. Lalu sebuah kesimpulan yang tak ingin ia akui muncul di benaknya, membuat darahnya mendidih.
Ini pasti rumah Kahfi.
Napas Syanas tercekat, dadanya bergejolak antara marah dan panik. Dengan gerakan cepat, ia bangkit dari tempat tidur, matanya mencari sesuatu yang bisa membuktikan bahwa dugaannya salah. Tapi tidak ada yang mendukung harapannya.
Hatinya mencelos, namun rasa kesalnya mendominasi. Ia memandangi ruangan itu sekali lagi, dan amarah pun meletup dalam dadanya.
Bagaimana bisa Kahfi membawanya ke sana tanpa izin?! pikir Syanas geram. Namun, jauh di dalam hatinya, ada rasa takut yang perlahan-lahan merayap, menghantui setiap sudut kesadarannya.
Syanas menggerutu dalam hati, masih dilingkupi rasa kesal yang belum hilang sepenuhnya. Matanya beralih ke jendela di sudut ruangan, seolah mencari sesuatu yang bisa memberikan jawaban atas kekacauan yang ia rasakan. Langkahnya terhenti di depan jendela itu. Ia menyibak tirainya perlahan, dan pemandangan di luar membuatnya terdiam.
Langit di luar masih gelap, dihiasi bintang-bintang yang bersinar lemah. Namun, yang lebih menarik perhatiannya adalah kerlip lampu-lampu kecil yang tersebar di berbagai sudut. Beberapa orang terlihat berjalan di pelataran, sebagian membawa kitab, sementara yang lain duduk di tangga, berbicara dengan bisik-bisik.
Ia mengernyit, pandangannya tertuju pada jam dinding di ruangan itu. Jarumnya menunjukkan pukul empat dini hari. Masih malam? pikirnya heran. Tapi keheningan malam itu terasa aneh, karena diluar sana, tempat itu terlihat tetap hidup.
Tanpa berpikir panjang, Syanas membuka jendela, dan angin dingin segera menyergap kulitnya. Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang, merasakan udara segar yang menusuk. Kemudian matanya menangkap balkon kecil tepat di luar jendela itu. Dengan langkah hati-hati, ia melangkah keluar.
Angin dingin semakin terasa menusuk kulitnya yang hanya dilapisi gaun tipis. Ia merapatkan tangan di dada, mencoba menahan hawa dingin yang merayap. Tapi tak ada yang bisa mengalihkan perhatiannya dari pemandangan di bawah sana.
Sekarang ia bisa melihat lebih jelas. Area itu adalah sebuah kompleks besar, dipenuhi gedung-gedung dengan gaya arsitektur sederhana namun kokoh. Di setiap sudut, ada lampu yang menerangi jalanan dan bangunan, memberikan kesan tenang namun penuh aktivitas.
Di bawah sana, santriwan dan santriwati berkeliaran. Sebagian besar mengenakan baju koko dan sarung atau gamis panjang. Mereka tampak sibuk, beberapa membawa buku, sementara yang lain tampak berjalan santai, mungkin menuju tempat tertentu.
Mata Syanas membelalak perlahan. Kesadarannya mulai menyusun potongan-potongan informasi yang ia lihat. Ini bukan tempat biasa. Ini, pesantren.
Jantungnya berdegup cepat, dan ia merasa panas merambat ke tubuhnya, meskipun udara dingin masih menusuk kulit.
Kepalanya berputar-putar memikirkan apa yang terjadi. “Dia bawa gue ke sini? Tempat ini pesantren? Pesantren yang terkenal banget di kota gue?” pikirnya dengan panik.
Tangannya mencengkeram pagar balkon, mencoba menenangkan diri. Tapi itu percuma. Di atas sana, dengan pakaian yang jelas-jelas tidak cocok untuk tempat seperti ini, Syanas merasa seperti seekor serigala yang tersesat di tengah kawanan domba.
Namun, sebelum sempat melampiaskan lebih jauh, ia tiba-tiba merasakan sesuatu melingkari tubuhnya. Selimut tebal yang hangat dilemparkan ke pundaknya, diikuti oleh lengan kokoh yang menariknya mundur dengan paksa.
“Eh, apaan sih?!” Syanas berontak, tubuhnya digiring menjauh dari balkon.
Sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, tubuhnya diangkat dengan mudah seperti karung beras. Kahfi, pria yang tadi malam menyeretnya dari klub, kini berdiri di belakangnya dengan ekspresi dingin yang sulit dibaca.
“Lepasin gue, gila lo?! Apa-apaan sih bawa gue ke sini?!” Syanas menendang dan memukul dengan sekuat tenaga, tetapi pria itu tidak bergeming.
Dengan langkah tegas, Kahfi membawa Syanas kembali masuk ke kamar, meletakkannya di lantai dengan sedikit hentakan, lalu menutup dan mengunci jendela di belakang mereka.
Syanas berdiri dengan napas memburu, tangannya menunjuk Kahfi dengan gemetar. “Gue nggak ngerti otak lo itu apa! Bawa gue ke tempat begini, lo pikir gue bakal nurut? Gue mau pulang, sekarang juga!”
Namun, Kahfi tetap diam. Ia hanya menatap Syanas dengan pandangan dingin, seperti singa yang mengamati mangsanya. “Kamu nggak akan pulang. Mulai sekarang, kamu tinggal di sini. Bersama denganku.”
Syanas tertawa pendek, penuh sarkasme. “Oh, jadi ini rencana lo? Lo pikir lo bisa ngatur hidup gue kayak gini? Lo nggak lebih baik dari preman jalanan, Kahfi! Gue nggak sudi tinggal sama lo!”
Amarah di matanya membara, sementara umpatan demi umpatan keluar tanpa henti. Tetapi Kahfi tetap berdiri di tempatnya, membiarkan kata-kata kasar itu menghujaninya. Hingga akhirnya, dengan satu gerakan tiba-tiba, Kahfi berteriak keras.
“DIAM!”
Suara itu menggema di ruangan, membuat Syanas langsung terdiam. Tubuhnya membeku, dan untuk pertama kalinya, ia melihat wajah Kahfi yang begitu menakutkan.
Sorot matanya tajam, rahangnya mengeras, dan aura di sekitarnya berubah menjadi sesuatu yang membuat bulu kuduk meremang.
Hening yang mencekam melingkupi ruangan. Lalu, dengan nada dingin dan tanpa emosi, Kahfi berucap, “Kamu istri aku sekarang. Dimana aku tinggal, di situ juga kamu tinggal.”
Kata-kata itu menghantam Syanas seperti palu godam. Tubuhnya terasa lemas, dan pikirannya berputar-putar mencoba mencerna apa yang baru saja ia dengar. “Istri? Lo nggak mungkin serius,” gumamnya dengan suara nyaris berbisik.
Tapi tatapan Kahfi tidak berubah. “Aku nggak bercanda. Kita sudah menikah. Dan kamu akan mengikuti aku, mau atau tidak mau.”
Wajah Syanas memerah karena amarah yang tak lagi bisa ditahan. Tubuhnya bergetar, bukan karena dingin, tetapi karena kemarahan yang meluap. Menikah? Gue udah dijual? Kayak barang murah?! pikirnya, nyaris tak percaya.
Ia melangkah mundur, tubuhnya menabrak kursi yang ada di belakangnya. Tatapannya tidak lepas dari Kahfi, penuh kebencian yang membara.
“Lo pikir gue akan nerima ini begitu aja? Gue lebih baik mati dari pada hidup kayak barang obralan!” ujar Syanas dengan suara bergetar, matanya mulai basah oleh air mata yang ia tahan mati-matian.
Tetapi Kahfi tidak menjawab. Ia hanya menatap Syanas sedingin batu es.
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..