"Aku hamil lagi," ucap Gladys gemetar, ia menunduk tak berani menatap mata sang pria yang menghunus tajam padanya.
"Gugurkan," perintah Gustav dingin tanpa bantahan.
Gladys menggadaikan harga diri dan tubuhnya demi mimpinya menempuh pendidikan tinggi.
Bertahun-tahun menjadi penghangat ranjang Gustav hingga hamil dua kali dan keduanya terpaksa dia gugurkan atas perintah pria itu, Gladys mulai lelah menjalani hubungan toxic mereka.
Suatu ketika, ia bertemu dengan George, pelukis asal Inggris yang ramah dan lembut, untuk pertama kalinya Gladys merasa diperlakukan dengan baik dan dihormati.
George meyakinkan Gladys untuk meninggalkan Gustav tapi apakah meninggalkan pria itu adalah keputusan terbaik?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nara Diani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 21
HARAP JANGAN DIBACA SIANG HARI ATAU SEDANG PUASA!
****
Byur!
Gustav melompat ke dalam kolam renang menciptakan riak besar, ia bergerak lincah dan cepat mengitari kolam renang luas itu lantas menepi mengusap sisa air di wajahnya.
“Minuman Anda, Tuan,” tegur seorang pelayan wanita meletakan minuman dingin di atas meja kecil di samping kursi panjang.
Gustav tidak menjawab melainkan langsung naik ke atas, si pelayan menelan ludahnya begitu melihat otot-otot liat Gustav yang basah mengeras seksi, lekuk badannya tercetak jelas karena hanya ditutupi celana pendek basah.
Si pelayan menyerahkan handuk padanya sambil menunduk menyembunyikan wajahnya yang memerah dan cepat-cepat pergi karena merasa malu.
“Jam berapa ini?” gumam Gustav mengecek jam pada ponsel.
Merasa masih punya waktu sebelum pergi ke kediaman Aji, Gustav rebahkan diri di kursi panjang serta menyeruput minumannya.
“Tidak biasanya Anda pulang,” sapa wanita tua berpakaian pelayan, meski sudah berumur tapi wanita itu terlihat masih segar.
“Apakah aneh aku pulang ke rumah sendiri, Mrs, Dharma?” tanya Gustav menaikkan alisnya.
Mrs. Dharma adalah pengasuhnya sejak lahir juga kepala pelayan mansion saat ini, wanita inilah yang merawat kediaman mewah Gustav setelah Ibu dan kakeknya meninggal.
Mrs. Dharma tersenyum simpul, kulit di bagian mata dan bibirnya mengeriput ketika ia tersenyum.
“Tentu saja tidak, Tuan. Hanya saja Anda sudah lama tidak berkunjung kemari,” jawab Mrs. Dharma.
Hal itu memang benar, Gustav jarang pulang ke sini semenjak Gladys ada, selesai dari kantor atau dari luar kota dia memilih pulang ke apartemen Gladys daripada ke kediaman mewahnya.
Gustav sendiri bahkan lupa kapan terakhir kali ke sini saking jarangnya dia pulang.
“Sepertinya Anda sudah menemukan rumah lain, Tuan. Apakah rumah yang Anda tinggali itu nyaman?” tanya Mrs. Dharma, pancaran matanya penuh akan kelembutan dan kasih sayang.
Wanita tua ini sangat berjasa di hidup Gustav, ditengah-tengah tuntutan kakek dan ibunya yang otoriter mendidik Gustav sebegitu keras agar menjadi pewaris yang sempurna Mrs. Dharma hadir sebagai penenangnya, wanita tua itu selalu mendukungnya dengan lembut dan mendengarkan keluh kesah Gustav kapan pun dia butuh.
“Rumah ya?” gumam pria itu merebahkan kepalanya pada kursi, wajah Gladys cantik muncul begitu ia memejamkan mata.
“Bukan rumah, hanya persinggahan Mrs. Dharma,” jawab Gustav tanpa membuka matanya sama sekali.
Pria itu tersenyum miring, Gladys tidak se istimewa itu hingga pantas disebut rumah baginya, memang Gustav akui jika bersama Gladys dia merasa tenang, pelukannya hangat, usapannya lembut, suaranya merdu, dan bibirnya yang merah merona ketika—
“Jika bukan rumah mengapa Anda sangat betah?” celetuk Mrs. Dharma.
Pria itu refleks membuka kedua matanya, kedua alis tebal Gustav mengernyit dalam, entah sedang memikirkan apa, Mrs. Dharma yang memahami betul karakter anak asuhnya ini tersenyum simpul.
Wanita tua itu menepuk pundak Gustav pelan. “Sudah saat berhenti bermain-main, Nak. Nikahilah dia secepatnya, keluarga ini juga butuh penerus.”
Mrs. Dharma berlalu pergi masuk ke dalam kediaman, Gustav menatap punggung wanita tua itu dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Menikahi Gladys yang benar saja?”
***
Pria itu berdiri tegap di depan cermin besar, jemarinya dengan tenang mengancingkan kemeja. Tatapannya fokus, memastikan setiap kancing terpasang rapi. Sesekali, ia merapikan kerah dan menarik lengan, memastikannya nyaman sebelum melangkah keluar.
Gustav menuruni anak tangga besar melingkar dari atas kamarnya yang ada di lantai dua. Di bawah ia berpapasan degan Mrs. Dharma.
“Apa Nick sudah datang?” tanya pria itu.
“Sudah, Tuan. Nick menunggu di dalam mobil.”
Mrs. Dharma mengikuti langkah lebar Gustav dari belakang. “Tuan Muda.”
Langkah Gustav terhenti, dia berbalik pada sang ibu asuh. Mrs. Dharma tersenyum tulus.
“Saya serius mengenai perkataan saya tadi, Anda sudah berkepala tiga, sudah saatnya menikah, rumah besar ini juga butuh seorang nyonya,” ucap wanita tua itu.
“Dan juga penerus,” sambungnya.
Gustav berdecak. “Mrs. Dharma, aku masih muda dan kuat tidak perlu memintaku mencetak anak, aku bisa menangani semua sendiri.”
“Justru karena itu, Tuan Muda,” sela Mrs. Dharma maju selangkah.
“Justru karena Anda masih muda, manfaatkan stamina Anda yang masih bagus ini, jika sudah terlalu tua Anda akan sulit memiliki keturunan,” ujarnya.
“Diam lah! Aku tidak butuh pernikahan, anak, atau apapun itu!” sinis pria itu berlalu pergi dari hadapan Mrs. Dharma. Mood nya yang semula bagus jadi berantakan membahas pernikahan.
“Tuan, tidak semua wanita di dunia ini seperti Nyonya Nayla.” Langkah Gustav spontan berhenti, tangannya terkepal mendengar nama wanita yang amat dia benci itu kembali ia dengar.
“Nyonya Nayla mungkin salah karena memperlakukan Anda seperti boneka tapi tidak semua wanita di dunia ini seperti dia, lihat saya Tuan saya—“
“Tutup mulutmu Mrs. Dharma!” bentak Gustav, rahangnya mengeras marah, mata pria itu nyalang menatap Mrs. Dharma.
“Aku tidak akan pernah menikah dan punya anak! Dan untuk penerus kita bisa mengambil salah satu dari anak sepupuku sebagai pewaris Serenova!” Setelah mengatakan itu Gustav berlalu pergi.
Gustav menuju ke halaman depan di mana Nick sudah stand by di kursi kemudi, pria itu masuk ke jok belakang.
“Jalan, Nick!”
***
Mobil yang Nick kendarai sampai pada kediaman megah Aji, kendaraan-kendaraan mahal berjejer rapi di halaman depan.
Seorang pekerja membukakan pintu untuk Gustav, lantas menuntunnya ke tempat di mana pesta dilangsungkan.
“Wah ... ini dia tamu istimewa, selamat datang di rumah sederhana saya Gustav,” sambut Aji mempersilahkan Gustav masuk ke kediaman mewahnya.
“Selamat malam, selamat untuk Anniversary yang ke 29 tahun, Pak Aji,” ucap Gustav memberikan salam formal.
Aji menyambut baik. “Terima kasih, silahkan nikmati pestanya. Ah, ya, Brica duduk di meja sana.” Aji menunjuk meja paling tengah, isyarat halus agar Gustav menghampiri anaknya.
Pria itu mengangguk pamit pergi menemui Brica yang malam itu tampil cantik dengan gaun warna cream dengan potongan dada rendah sedang memegang gelas wine putih.
“Gustav kamu datang?” Wanita dewasa itu langsung berdiri menyambut Gustav.
Pria itu tersenyum kecil mencium tangan Brica. “Kau terlihat sangat cantik malam ini.”
Brica tersipu. “Terima kasih.”
“Selamat ulang tahun pernikahan yang ke-29, Tante Megan,” ucap Gustav menjabat tangan Mami Brica.
Megan yang masih terlihat cantik dan anggun di usianya yang tidak lagi muda tersenyum ramah.
“Tante dengar kamu dan suami tante sedang merancang proyek baru di Kalimantan,” celetuk Megan, Gustav mengambil segelas wine dari pelayan meneguk sekali lalu mengangguk pada Megan.
“Benar, Tante. Saya, Pak Aji dan beberapa orang lain sedang merancang proyek pembuatan kota baru.”
Aji tiba-tiba sudah ada di belakang menyeletuk. “Ini proyek yang sangat besar, tapi Gustav berhasil meyakinkan para investor untuk menginvestasikan uang mereka pada proyek kota baru ini,” puji pria tua itu menepuk punggung Gustav bangga.
“Mereka secara gila-gila berinvestasi karena proyek ini dipegang olehmu,” lanjut Aji.
Mereka kemudian larut dalam pembicaraan seputar bisnis hingga tanpa sadar waktu sudah berlalu, Gustav pamit mencari udara segar karena merasa sesak sejak tadi dikerumuni oleh pebisnis-pebisnis senior yang menyodorkan anak perempuan mereka padanya.
Pria itu pergi ke area kebun belakang yang terbuka, duduk di salah satu kursi yang ada di sana menghirup kembali energi yang terkuras di dalam. Kepalanya juga terasa pening dari tadi.
“Gustav ternyata kamu di sini.” Pria itu menoleh.
Brica mendatanginya, kali ini wanita itu memakai dress ungu pendek yang cantik dengan model sabrina.
“Kau ganti baju?” tanya Gustav.
Brica mengangguk. “Ya, gaunku tadi ketumpahan jus,” ujarnya ikut duduk di kursi sebelah pria itu.
Dengan sengaja Brica menyilang kaki sehingga gaunnya tersingkap ke atas memperlihatkan paha mulus miliknya. Wanita itu tersenyum licik.
Gustav memijit pelipisnya yang berdenyut sejak tadi. Beberapa kali Gustav mengipasi badan dengan mengangkat kerah kemeja karena seluruh badannya terasa panas.
“Gustav, kamu tidak apa-apa?” tanya Brica menggoyangkan bahu pria itu yang terlihat gelisah.
Gustav menoleh, bukannya menatap mata wanita itu matanya justru tertuju pada belahan dada Brica terbuka karena model gaunnya.
Menelan ludah. “Kau sengaja memasukkan sesuatu ke minumanku?” geram pria itu serak, napasnya terengah-engah menahan hasrat.
Brica dengan tenang menyentuh pipi pria itu menggunakan kedua tangannya. “Aku hanya ingin mendapatkan keinginanku.”
“Apa yang kau inginkan itu, hem?” tanya Gustav sayu, otaknya mulai tidak waras.
“Kamu, aku mau kamu jadi milik—hppmm!” Detik itu juga Gustav menyambar bibir Brica, mencium wanita itu dengan liar.
Suara kecupan dua orang dewasa itu memecah kesunyian dalam taman. Keduanya saling menghisap, menggigit dan menjelajahi tiap inci ruang mulut masing-masing.
Brica menarik diri dengan napas terengah dan wajah memerah. “Kamarku di lantai dua paling dekat dengan tangga,” bisiknya memeluk Gustav mesra.
Gustav berdiri, menggendong Brica pergi naik ke kamarnya.