"Berawal dari DM Instagram, lalu berujung sakit hati."
Khansa Aria Medina tidak pernah menyangka DM yang ia kirimkan untuk Alister Edward Ardonio berujung pada permasalahan yang rumit. Dengan munculnya pihak ketiga, Acha-panggilan Khansa-menyadari kenyataan bahwa ia bukanlah siapa-siapa bagi Al.
Acha hanyalah orang asing yang kebetulan berkenalan secara virtual.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Kencan
Acha menatap pantulan dirinya di sebuah cermin panjang di dalam toilet. Dilihatnya wajah hingga pakaiannya dari kamera tersebut. Lalu, ia memutar tubuhnya 360 derajat untuk memastikan tidak ada sesuatu yang aneh. Semua harus terlihat cantik dan sempurna. Acha sangat mementingkan kesan pertama.
"Udah cantik lo, anjir. Nggak usah ngaca lama-lama, entar jadi monyet," tukas Serra yang melihat sahabatnya sudah berada di depan cermin sejak sepuluh menit yang lalu.
"Sirik lo!" sahut Acha tak peduli.
Sesudah itu, Acha, Serra, dan Maya keluar dari toilet. Acha melihat ponselnya. Tadi, Bagas menyuruhnya bertemu di depan restoran Pepper Lunch. Sehingga kakinya kini berjalan menuju tujuannya.
Tidak jauh dari Pepper Lunch, Acha dan Maya berdiri sembari mengamati seorang laki-laki yang cukup menarik—tentunya tidak menarik bagi Serra. Serra lebih memilih menatap layar ponsel dalam genggamannya.
"Eh, itu Bagas udah dateng," bisik Acha sambil tersenyum manis.
Maya melihat sosok dengan perawakan yang tinggi itu dengan terkesima. Tidak menyangka Acha bertemu dengan orang setampan itu. Bahkan menurutnya, Bagas jauh lebih tampan ketimbang Al.
"Udah ya, gue pergi dulu. Kalian jangan hilang!" Acha berjalan mendekat Bagas yang asyik memainkan ponselnya.
Sementara Serra hendak mengajak Maya mencari tempat yang sedikit jauh dari Acha dan Bagas. Tentu agar tidak menimbulkan kecurigaan. Sayangnya, Maya masih melongo melihat Bagas yang sudah mengobrol bersama sahabatnya. Bagas tersenyum pada Acha, senyumnya sangat manis dan membuat Maya meleleh.
"Woi! Sadar lo!" Serra menggoyangkan bahu Maya. Gadis berumur tujuh belas tahun itu masih tidak ada tanda-tanda hendak bergerak. "ADA JEFRI NICHOL!"
Maya mengerjapkan matanya berulang kali. Kemudian, ia menoleh ke sana ke mari untuk memastikan artis seperti Jefri Nichol berada di sini—sesuai perkataan Serra. Setelah tahu ia sedang ditipu, Maya melayangkan cubitan kecil untuk Serra. "Kurang ajar banget kamu, Ser!"
"Bego, cowok mulu yang dipikirin," dengus Serra. Ia menatap Bagas dan Acha yang sudah mulai berjalan lalu menarik tangan Maya agar segera mengikutinya.
Di sisi lain, Bagas mulai mengajak Acha menyusuri beberapa toko di Gandaria City. Mereka berhenti di sebuah toko boneka.
Acha melihat sebuah boneka beruang yang cukup besar dengan takjub. Bagas yang paham pun langsung mendekati beruang tersebut dan membawanya menuju kasir.
"Eh, eh! Ngapain?" tanya Acha panik sembari memegang lengan Bagas sebelum laki-laki itu mendekati kasir.
"Hem ... lo mau ini, kan?" Bagas mengangkat boneka tersebut tepat di depan wajah Acha.
"Ya, bukan berarti lo yang bayar, keles." Acha mengambil alih boneka itu lalu membawanya ke kasir. Dicarinya dompet di dalam tas dan segera mengeluarkan beberapa uang setelah sang kasir menyebutkan harganya.
Selanjutnya, Bagas mengajak Acha mengelilingi berbagai toko di sana. Mereka hanya berjalan-jalan dan sesekali berhenti untuk melihat barang-barang yang terpajang di sana. Tidak ada hal yang menarik sampai perut Acha mulai keroncongan. Apesnya, bunyi itu terdengar cukup keras dan menjadi perhatian Bagas.
Bagas tertawa kencang sebelum akhirnya Acha mencubit lengan laki-laki itu. "Anjir, sakit!" rintihnya.
"Kita makan dulu aja," pinta Acha.
Bagas mengajak Acha ke salah satu restoran. Katanya, makanan di restoran ini cukup enak meski tidak terlalu terkenal. Semoga saja perkataan Bagas sesuai dengan faktanya. Kemudian, Acha sesekali melirik ke belakang untuk memastikan Serra dan Maya masih ada di sana. Dalam hati, Acha tertawa kencang melihat ekspresi Serra yang terlihat jengkel. Mungkin karena sepanjang jalan, Acha dan Bagas tidak duduk sama sekali. Sehingga membuat kedua perempuan yang mengikutinya itu pegal-pegal.
Setelah duduk dan memesan, Bagas mengajak Acha berbicara. Topik obrolan mereka seputar kehidupan pribadi dan Al. Ya, beberapa kali Acha membahas Al di depan Bagas. Setelah pesanan mereka datang, Acha segera menyambutnya dengan bahagia sebelum perutnya kembali berteriak.
"Jadi, lo sekolah di Citra Harapan." Acha mengangguk pelan. "Nggak begitu jauh, ya. Bisa ketemuan, dong!"
"Ya, kalau lo nggak keberatan, boleh sih."
Dalam hati, Acha bersorak kencang setelah mengetahui beberapa informasi yang ia dapat dari Bagas. Seperti dugaannya, Bagas bisa membantunya untuk proses pedekatenya dengan Al.
"Gue tebak, lo tahu Al dari TikTok gue, kan?" tebak Bagas yang langsung disambut anggukan Acha.
"Al emang ansos gitu anaknya?" tanya Acha sambil memotong daging sapi pesanannya. "Gue lihat, dia kayaknya nggak begitu aktif."
"Dia emang nggak begitu suka main media sosial," jawab Bagas.
Selanjutnya, keheningan menyelimuti atmosfer si sekitar mereka. Acha pun memutuskan menyelesaikan makan siangnya.
"Asik juga kencan sama lo," celetuk Bagas setelah mereka keluar dari restoran.
"Ini bukan kencan." Acha mendengus kesal. "Pahamin kalimat gue. Ini cuman makan-makan biasa."
Bagas tergelak. Sejak pertama kali mereka bertukar pesan, Bagas sudah tahu bahwa Acha tertarik dengan Al. Ia pikir, mengerjai Acha bisa membuatnya terhibur. "Acha...."
"Hem?" Acha bergumam pelan.
"Lo mau tahu sesuatu?"
Acha mengangkat alisnya. Sedikit tertarik tentang sesuatu yang akan Bagas sampaikan.
"Al itu belum move on dari mantannya."
JEDAR!
***
Kalimat Bagas masih terngiang-ngiang di telinganya. Mungkin ini terdengar lebay, tetapi Acha benar-benar tidak terima dengan kenyataan bahwa Al masih belum move on dari mantannya. Mendengar kata mantan saja sudah membuatnya kesal sendiri.
Alhasil, setelah makan siang, Acha memutuskan untuk pulang. Ia menolak ajakan Bagas untuk menonton bioskop. Ia sedang ingin mencari tempat sepi lalu berteriak sekuat tenaga. Tahu bahwa Al tidak lagi mengikuti Instagram-nya saja sudah membuatnya kesal setengah mati, kini ia harus tahu bahwa Al masih berada dalam bayang-bayang mantan? Bagas sudah membuatnya cukup gila.
"Lo yakin nggak mau gue anter?" Kesekian kalinya Bagas menawarkan tumpangan untuk Acha.
"Nggak, nggak usah. Supir gue udah jemput kok," tolak Acha.
Lalu, bunyi notifikasi tanda pesan muncul. Acha bisa melihat pesan dari Serra. Ia yakin sahabatnya itu sedang mengumpat namanya di dalam mobil. Ya, tipikal Serra yang mudah emosi.
[Serra]
[Woi!]
[Lo di mana?]
[Buruan ke parkiran bego.]
[Acha]
[Bacot, sabar.]
Acha memasukkan ponselnya lalu menatap Bagas yang sedang menatapnya. "Mobil lo di lantai berapa?"
"Lantai tiga. Supir lo mana?" tanya Bagas. Posisi mereka masih berada di dalam mal.
"Ada di parkiran lantai satu," jawab Acha. "Ya udah, kita misah ya. Thank you buat hari ini. Kapan-kapan mungkin bisa jalan bareng, sama Al juga." Acha menyengir lebar.
Mendengar itu, Bagas sedikit tergelak. Ia kira Acha akan melupakan Al setelah mendengar omongannya tadi, ditambah lagi ekspresi kesal yang Acha pasang sedari tadi. Mungkin saja gadis itu akan berpikir dua kali untuk mengejar Al. "Wah, lo nggak putus asa ya? Gue kira—"
Sebelum Bagas melanjutkan kalimatnya, Acha langsung memotong. "Eits, jangan harap. Sebelum janur kuning melengkung, gue nggak bakal berhenti ngejar Al. Jadi, lo juga kudu bantuin gue buat deketin sahabat lo itu."
"Kalau gue nggak mau?"
"Kenapa nggak mau?"
Bagas mengangkat bahunya. "Nggak tahu, nggak mau aja."
Acha tidak menjawab lebih lanjut. Dirinya tidak mau repot-repot memaksa Bagas. Jika laki-laki itu tidak mau, ia bisa mendekati Al dengan usahanya sendiri. Atau, mungkin dengan bantuan Serra dan Maya pula. Lalu, setelah berpamitan, kaki Acha melangkah menuju parkiran cepat-cepat. Ia tidak sabar menceritakan segala hal baru kepada dua sahabatnya itu.
Di parkiran, Acha langsung menemukan mobil yang ia cari. Sebelum membuka pintu, ia berusaha mempersiapkan telinganya agar tidak pecah ketika mendengar teriakan Serra nanti. Benar saja, begitu ia membuka pintu, teriakan Serra menyambutnya.
"WOI, GEBLEK! LAMA BANGET LO!" Serra melipat kedua tangannya di dada. Wajahnya cemberut kesal. "Katanya habis makan, mau langsung balik!"
Acha sengaja membiarkan Serra mengomelinya. Ia sibuk memperbaiki posisi duduk lalu menyuruh supirnya untuk menjalankan mobilnya. Setelah itu, ia menatap ke samping—ke arah Serra dan Maya. Acha memasang wajah serius.
"Al belum move on dari mantannya." Begitulah kalimat yang Acha lontarkan dan berhasil membuat Serra bungkam sejenak.
"Jangan bilang, yang ngomong gitu Bagas?" tanya Maya sedikit tidak percaya. Lalu, setelah melihat anggukan Acha, ia tertawa pelan. "Palingan akal-akalan Bagas biar kamu mundur kali, Cha."
"Bisa jadi, tapi kalau emang Al belum move on gimana?" Acha tampak berpikir.
Serra menimpali. "Artinya lo kudu mundur deh, saingannya masa lalu, nggak mungkin lo kuat. Lo kan mental bubur, lembek banget."
Rasanya Acha ingin memasukkan tisu bekas keringatnya itu pada Serra. Omongan Serra memang tidak sepenuhnya salah, tetapi ia tidak harus mengatakan itu di depannya, kan? "Gue tampar sesekali, sabi kali?" Acha kehabisan akal untuk mendekati Al. "Ya udah, pokoknya kalian kudu pakai otak kalian buat bantuin gue."