Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.
Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.
Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PTP Episode 16
Sartika mengangkat kepalanya, menatap tangan Calvin yang terulur ke arahnya. Matanya berkedip ragu, seolah tak percaya ada seseorang yang masih peduli padanya, bahkan setelah hampir membuat dirinya celaka.
Tapi, bukankah itu juga yang terjadi selama ini? Hidup terus membawanya ke titik terendah, dan saat ia hampir tenggelam, ada saja tangan asing yang mencoba menariknya kembali ke permukaan.
Pelan-pelan, ia mengangkat tangannya yang gemetar dan menerima uluran tangan Calvin. Pria itu membantunya berdiri, genggamannya kuat namun tidak kasar. Begitu Sartika tegak berdiri, Calvin melepaskan tangannya dan menatapnya tajam.
“Kau melamun di tengah jalan. Mau mati, huh?” tanyanya dingin.
Sartika menelan ludah, merasa malu. “Aku… tidak sengaja.”
Calvin menghela napas panjang. Matanya meneliti keadaan Sartika, baju lusuh, rambut berantakan, wajah pucat. Wanita ini jelas bukan orang yang sedang baik-baik saja.
“Kau tinggal di mana?” tanyanya lagi.
Sartika menggigit bibirnya, tak tahu harus menjawab apa. Haruskah ia berkata jujur? Bahwa ia bahkan tak punya tempat tinggal, bahwa ia hidup di jalanan?
Calvin menunggu, tapi ketika tak ada jawaban, ia menyimpulkan sendiri. “Kau gelandangan?”
Sartika terdiam, lalu akhirnya mengangguk pelan.
Calvin memijat pelipisnya, merasa sedikit menyesal telah bertanya. Ia bukan tipe orang yang peduli urusan orang lain, terutama dengan orang asing yang baru saja hampir ia tabrak. Namun, ada sesuatu dalam tatapan wanita ini yang membuatnya ragu untuk pergi begitu saja.
Setelah beberapa detik berpikir, Calvin akhirnya berkata, “Naiklah.”
Sartika mengernyit, tidak mengerti. “Apa?”
“Naik ke mobilku,” ulang Calvin. “Aku tidak bisa membiarkanmu terus berkeliaran di jalan seperti ini.”
Sartika menatapnya, mencoba mencari niat tersembunyi di balik tawaran itu. “Kenapa kau peduli?”
Calvin mendengus. “Aku pun tidak tahu. Mungkin karena aku sedang terlalu lelah untuk mengabaikan sesuatu yang ada di depan mataku.”
Sartika masih ragu. Namun, ketika ia menoleh ke sekeliling, melihat jalan yang ramai, orang-orang yang lewat tanpa peduli padanya, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain.
Akhirnya, dengan hati-hati, ia membuka pintu mobil dan masuk.
Calvin menutup pintu dan berjalan mengitari mobil sebelum masuk ke kursi pengemudi. Mesin kembali dihidupkan, dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia melajukan mobilnya.
Sartika menatap ke luar jendela, pikirannya dipenuhi pertanyaan.
Ke mana pria ini akan membawanya? Dan kenapa ia masih merasa bahwa hidupnya belum sepenuhnya hancur?
Ia menyadari tujuannya ketika mobil berhenti di depan bangunan dengan plang bertuliskan Rumah Sakit Sentosa. Ia menoleh ke Calvin dengan ekspresi bingung.
“Kenapa kau membawaku ke sini?” tanyanya pelan.
“Kau butuh diperiksa,” jawab Calvin singkat. “Kau terlihat seperti bisa pingsan kapan saja.”
Sartika menelan ludah. Ia ingin menolak, tapi di saat yang sama, tubuhnya memang terasa lemah. Sudah berapa hari ia tidak makan dengan benar? Tidur pun hanya di trotoar atau kolong jembatan.
Calvin keluar lebih dulu, lalu berjalan ke sisi Sartika, membuka pintu mobil untuknya. “Ayo turun.”
Sartika ragu, tapi akhirnya mengikuti langkah Calvin. Mereka masuk ke dalam rumah sakit, dan Calvin langsung menghampiri resepsionis.
“Saya butuh pemeriksaan untuknya,” katanya sambil melirik Sartika. “Tolong panggil dokter.”
Resepsionis itu mengangguk dan segera menghubungi dokter jaga. Tak lama kemudian, seorang perawat datang menghampiri mereka.
“Silakan ikut saya, Nona,” ujar perawat itu dengan ramah.
Sartika menoleh ke Calvin, masih belum percaya pria ini benar-benar mau membantunya. Calvin hanya mengangguk kecil.
“Pergilah,” katanya.
Dengan langkah ragu, Sartika mengikuti perawat itu menuju ruang pemeriksaan.
Di dalam ruang pemeriksaan, Sartika duduk di tepi ranjang sementara seorang dokter wanita, berusia sekitar lima puluhan, memeriksa tekanan darahnya.
“Kau kelihatan sangat lemah,” kata dokter itu sambil mencatat sesuatu di berkasnya. “Sudah berapa lama kau merasa seperti ini?”
Sartika menunduk, enggan menjawab. Jika ia berkata jujur, dokter itu pasti akan tahu bahwa ia tidak punya tempat tinggal tetap, apalagi makanan yang cukup.
Melihat Sartika yang diam, dokter itu hanya menghela napas. “Aku akan meminta perawat membawakan makanan dan cairan infus untukmu. Kau perlu makan dan beristirahat.”
Sartika hanya mengangguk lemah. Tak lama kemudian, seorang perawat datang membawa nampan berisi bubur hangat dan segelas air putih. Bau makanan itu membuat perutnya yang kosong sejak kemarin berontak.
“Silakan makan dulu,” kata perawat itu dengan lembut.
Dengan ragu, Sartika mengambil sendok dan mulai menyuapkan bubur ke mulutnya. Hangatnya makanan itu seperti mengalir ke seluruh tubuhnya, memberikan sedikit tenaga.
Sementara itu, di luar ruang pemeriksaan, Calvin duduk di bangku tunggu dengan tangan terlipat. Ia tidak tahu kenapa ia peduli pada wanita itu. Seharusnya, ia bisa saja pergi setelah memastikan Sartika tidak apa-apa.
Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam diri wanita itu yang mengingatkannya pada seseorang.
Tak lama, dokter keluar dari ruangan dan menghampiri Calvin.
“Dia hanya kelelahan dan kurang gizi,” kata dokter itu. “Jika kau mengenalnya, pastikan dia makan dengan baik dan tidak terlalu banyak berkeliaran di luar.”
Calvin mengangguk. “Berapa biayanya?”
Dokter itu menatapnya sesaat sebelum menjawab. “Tidak terlalu mahal, hanya untuk pemeriksaan dan makanan.”
Tanpa bertanya lebih lanjut, Calvin mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan beberapa lembar uang. “Pastikan semuanya sudah dibayar.”
Dokter tersenyum tipis. “Baiklah.”
Calvin menghela napas, lalu bangkit berdiri. Saat ia hendak pergi, pintu ruang pemeriksaan terbuka dan Sartika keluar dengan langkah pelan.
Ia menatap Calvin dengan ragu. “Kenapa kau masih di sini?”
Calvin memasukkan tangannya ke dalam saku. “Aku memastikan kau tidak pingsan lagi di jalan.”
Sartika terdiam. Seumur hidupnya, jarang ada orang yang benar-benar peduli padanya.
“Apa kau punya tempat tinggal?” tanya Calvin tiba-tiba.
Sartika menegang. Ia tidak bisa berbohong. Calvin sudah melihat sendiri keadaannya.
“Aku… tidak punya,” jawabnya lirih.
Calvin mendesah pelan. Ia sendiri heran dengan keputusannya, tapi akhirnya ia berkata, “Kalau begitu, ikut aku.”
Sartika menatapnya dengan mata terbelalak. “Apa?”
“Aku tidak akan membiarkanmu tidur di jalan.” Calvin berbalik dan berjalan menuju pintu keluar.
Sartika masih berdiri di tempatnya, bingung dan tidak percaya. Tapi setelah beberapa detik, ia akhirnya melangkah mengikuti pria itu.
Hingga dirinya menghentikan mobilnya di depan sebuah butik pakaian sederhana. Sartika menatap papan nama toko itu dengan bingung, lalu menoleh ke Calvin yang sudah turun dari mobil.
"Ayo," katanya singkat, berjalan menuju pintu masuk.
Sartika ragu sejenak sebelum akhirnya mengikuti. Begitu masuk, udara sejuk dari pendingin ruangan langsung menyambut mereka. Deretan pakaian tergantung rapi di rak-rak, dari pakaian kasual hingga busana yang lebih formal.
Seorang pegawai wanita mendekat dengan senyum ramah. "Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?"
Calvin menunjuk ke arah Sartika. "Bantu dia memilih pakaian yang pantas."
Sartika terbelalak. "Aku tidak butuh pakaian baru," katanya cepat.
Calvin menoleh padanya, matanya tajam. "Kau akan terus memakai pakaian lusuh itu?"
Sartika menunduk, menatap kaus kusam dan celana yang mulai robek di beberapa bagian. Tapi... ia tidak bisa menerima ini begitu saja.
"Aku tidak punya uang," bisiknya.
Calvin mendengus. "Siapa bilang kau yang membayar?"
Sartika mengangkat wajahnya, menatap Calvin dengan kaget. "Kau serius?"
"Aku tidak main-main," jawab Calvin datar. "Ambil yang kau butuhkan."
Sartika menggigit bibirnya, hatinya dipenuhi perasaan campur aduk. Ia tidak terbiasa menerima bantuan seperti ini.
Melihatnya diam, pegawai butik itu tersenyum lembut. "Ayo, saya bantu memilihkan pakaian yang nyaman untuk Anda."
Sartika akhirnya menghela napas dan mengikuti pegawai itu. Ia mencoba beberapa set pakaian sederhana, kemeja, kaus, celana jeans, serta jaket tipis. Setiap kali ia keluar dari ruang ganti, Calvin hanya mengangguk atau memberi komentar singkat seperti "Itu bagus" atau "Coba yang lain."
Setelah beberapa kali berganti pakaian, akhirnya Sartika memiliki beberapa potong pakaian baru.
Saat mereka tiba di kasir, Sartika kembali gelisah melihat jumlah total yang cukup besar. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Calvin sudah menyerahkan kartu kreditnya.
"Terima kasih atas pembeliannya," kata kasir sambil menyerahkan tas belanjaan.
Sartika menggenggam tas itu erat saat mereka keluar dari butik. Ia menatap Calvin dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
"Kenapa kau melakukan ini?" tanyanya akhirnya.
Calvin memasukkan tangannya ke dalam saku celana, menatap Sartika sekilas sebelum akhirnya berkata, "Entahlah… mungkin aku hanya ingin menolongmu. Rasanya sulit dipercaya melihat wanita secantik dirimu harus hidup di jalanan."
Sartika terdiam, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Kata-kata Calvin terdengar ringan, tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya merasa… dihargai. Sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.
Ia menunduk, menggenggam erat tas belanjaan di tangannya. "Terima kasih," gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
Calvin tidak membalas, hanya membuka pintu mobil untuknya. "Ayo masuk. Aku akan mengantarmu ke tempat yang lebih layak."
Sartika menatapnya ragu, tetapi akhirnya menurut.
Setelah membeli pakaian baru untuk Sartika, Calvin membawanya ke salon. Ia tidak mengatakan banyak hal sepanjang perjalanan, hanya memberi isyarat agar Sartika mengikuti langkahnya.
Sesampainya di salon, seorang pegawai segera menyambut mereka. "Bisa kami bantu, Pak?"
Calvin melirik Sartika, lalu kembali menatap pegawai itu. "Buat dia terlihat lebih segar," ucapnya santai. "Potong rambutnya sedikit, beri perawatan wajah, dan riasan yang natural."
Sartika terkejut mendengar itu. "Aku tidak perlu...."
"Anggap saja ini bagian dari bantuan," potong Calvin sebelum Sartika bisa menolak lebih jauh.
Wanita itu akhirnya menyerah dan mengikuti pegawai salon ke dalam. Ia sendiri hampir lupa kapan terakhir kali merawat dirinya seperti ini.
Sementara itu, Calvin menunggu di sofa ruang tunggu, sibuk dengan ponselnya, meskipun sesekali matanya melirik ke arah ruangan tempat Sartika dirawat. Ia tidak tahu mengapa repot-repot melakukan ini semua, tetapi ada sesuatu dalam diri wanita itu yang membuatnya tidak bisa berpaling.
Hampir satu jam kemudian, pintu ruangan terbuka, dan Sartika melangkah keluar.
Calvin yang awalnya masih sibuk dengan ponselnya, spontan mendongak, dan untuk sesaat, ia terdiam.
Wanita yang berdiri di hadapannya benar-benar berbeda dari yang ia temui di jalanan tadi. Rambutnya kini lebih rapi dan bercahaya, wajahnya terlihat lebih segar, dan sedikit riasan tipis semakin menonjolkan kecantikannya. Ia masih mengenakan pakaian sederhana yang dibelinya tadi, tetapi kini aura lusuh dan lelahnya telah tergantikan dengan pesona yang menawan.
Calvin mengedip beberapa kali, seakan memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi.
"Kau…" katanya tanpa sadar, sebelum buru-buru meralat ucapannya. "Kau terlihat berbeda."
Sartika menunduk malu. "Terima kasih… untuk semua ini."
Calvin tersenyum tipis, lalu berdiri dari tempat duduknya. "Ayo pergi. Masih ada tempat lain yang harus kita tuju."
Sartika menatapnya bingung. "Kemana lagi?"
Calvin hanya tersenyum misterius. "Kau akan tahu nanti."
Sartika menggigit bibirnya, sedikit ragu, tetapi pada akhirnya, ia mengikuti langkah Calvin keluar dari salon. Hari ini benar-benar menjadi awal yang tidak pernah ia duga.