Anna tidak pernah membayangkan bahwa sebuah gaun pengantin akan menjadi awal dari kehancurannya. Di satu malam yang penuh badai, ia terjebak dalam situasi yang mustahil—kecelakaan yang membuatnya dituduh sebagai penabrak maut. Bukannya mendapat keadilan, ia justru dijerat sebagai "istri palsu" seorang pria kaya yang tak sadarkan diri di rumah sakit.
Antara berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri dan bertahan dari tuduhan yang terus menghimpitnya, Anna mendapati dirinya kehilangan segalanya—uang, kebebasan, bahkan harga diri. Hujan yang turun malam itu seakan menjadi saksi bisu dari kesialan yang menimpanya.
Apakah benar takdir yang mempermainkannya? Ataukah ada seseorang yang sengaja menjebaknya? Satu hal yang pasti, gaun pengantin yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini malah membawa petaka yang tak berkesudahan.
Lalu, apakah Anna akan menemukan jalan keluar? Ataukah gaun ini akan terus menyeretnya ke dalam bencana yang lebih besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eouny Jeje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Upik Abu menjadi Cindrella
Dua MC melangkah masuk, berdiri di sisi kiri Anthony dan kanan Anna, seakan menjadi dalang dalam sebuah drama yang sudah ditata dengan rapi. Semua yang hadir di ruangan ini mungkin melihatnya sebagai bagian dari pertunjukan, tetapi bagi beberapa orang, ini lebih dari sekadar pergelaran busana—ini adalah panggung pembodohan publik.
Sorotan lampu jatuh ke Anna. Mata-mata penuh rasa penasaran dan kekaguman tertuju padanya, seakan dialah bintang utama malam ini. Dia berdiri di tengah, menerima segala pujian dan tatapan dengan begitu angkuh—seolah-olah panggung ini memang miliknya.
Seolah-olah dia pantas berada di sana.
Seolah-olah dia setara dengan Anthony.
Di antara kerumunan tamu VIP, tangan Susan yang bertaut dengan Edward terasa semakin dingin. Cengkeraman pria itu mengerat, mencoba menenangkannya, tetapi Susan tahu, Edward juga merasakan hal yang sama.
Ketidakadilan.
Rasa muak yang membakar.
"Gaun yang indah," suara Rina Wei akhirnya terdengar, tajam, menusuk, berbicara pada dirinya sendiri. "Sungguh mengejutkan jika semua ini adalah karya Anthony. Bisa kah kau menjawab, kapan sebenarnya kau mulai menjadi muridnya?"
Rina menyipitkan mata, menatap Anna dengan penuh penilaian.
Ah… akhirnya.
Momen yang ia tunggu.
Mata Rina berbinar dengan api yang membara dalam diam. Sejak awal, sejak Anna melangkah ke atas panggung dengan percaya diri, dia sudah ingin bertanya—ingin melihat bagaimana perempuan itu akan berkelit.
Kau pikir kau bisa menipu semua orang, Anna?
Kenapa?
Kenapa dia bisa berada di samping Anthony?
Sejak kapan? Baru seminggu yang lalu? Atau hanya sehari?
Atau lebih buruk lagi—mungkin dia bahkan bukan siapa-siapa, dan ini semua hanya kebohongan yang dirancang dengan rapi untuk menempatkannya di puncak?
Bohong. Bohong. Bohong.
Sementara itu, di samping Edward, Susan mencengkeram gaun sutranya dengan erat, mencoba menahan diri.
Bagaimana bisa dunia sekejam ini?
Tangannya terasa dingin di dalam genggaman Edward, tetapi pria itu tidak melepaskannya.
Susan menghela napas panjang, mengingat hari itu—hari di mana dunianya seolah hancur dalam sekejap.
Hari itu, ia berlari melewati lorong rumah sakit, dadanya sesak, napasnya tercekat. Bau desinfektan bercampur dengan rasa takut yang mencengkeram hatinya.
Saat tiba, yang ia lihat adalah Ethan…
Terbaring tak sadarkan diri. Wajahnya pucat, tubuhnya dingin. Selang dan alat medis menempel di tubuhnya, suara mesin berbunyi pelan, seolah menjadi satu-satunya tanda bahwa ia masih hidup.
Ethan mengalami kecelakaan. Luka-lukanya parah. Dan saat ia tiba, yang tersisa hanya sosoknya yang terbaring diam di ranjang rumah sakit.
Ia hampir kehilangan Ethan hari itu.
Dan lebih menyakitkan lagi…
Beberapa jam kemudian, saat tangannya masih gemetar karena ketakutan, saat jantungnya masih berdebar tak karuan karena trauma, ia mendengar nama itu.
Anna.
Saat itu, Susan tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—kenyataan bahwa Ethan hampir mati, atau kenyataan bahwa Anna-lah yang ada di balik semuanya.
Ia bergegas ke kantor polisi hari itu juga. Amarahnya membuncah. Dan ketika matanya bertemu dengan wajah Anna—wajah yang berpura-pura polos, berpura-pura tak berdosa—sesuatu dalam dirinya meledak.
Tamparan itu.
Tangannya masih terasa panas. Ia ingat bagaimana telapak tangannya membekas di pipi Anna, bagaimana ia mengerahkan seluruh emosinya ke dalam tamparan itu.
"Kau pikir bisa lolos? Kau pikir bisa menangis dan semua orang akan memaafkanmu?"
Waktu itu, Anna hanya diam. Matanya berkaca-kaca, bibirnya sedikit bergetar. Tapi Susan tidak peduli. Tidak ada satu pun tangisan di dunia ini yang bisa menghapus kenyataan bahwa perempuan itu hampir merenggut nyawa Ethan.
Dan sekarang, lihatlah dia.
Berdiri di atas panggung, dengan penuh percaya diri, seakan dunia ini telah lama menjadi miliknya.
Tangan Edward semakin mengerat di tangannya, menyadarkan Susan dari pikirannya.
"Jangan biarkan dia menang," Edward berbisik pelan, hanya untuk didengar olehnya.
Susan menggigit bibirnya, mencoba meredam gelombang emosi yang mengancam untuk meledak.
Tidak. Anna tidak boleh menang.
Anthony menoleh ke arah Anna, ekspresinya sulit diartikan. Seulas senyum samar muncul di wajahnya—entah meremehkan, atau hanya sekadar menikmati pertunjukan yang sedang berlangsung.
"Seharusnya kau lebih tahu kapan tepatnya kau menjadi muridku."
Ruangan menjadi lebih hening.
Anna terdiam sejenak. Namun, bibirnya melengkung tipis.
Senyuman seorang aktris yang sudah menghafal naskahnya dengan baik.
"Aku menjadi murid Anthony sejak aku menyukai dunia desain. Aku mengagumi caranya, aku mulai menirunya… Perlahan, aku membentuk diriku sendiri, menemukan ide-ide yang selama ini kupelajari darinya. Aku tak tahu kapan tepatnya… Mungkin, sejak kecil, aku sudah menyukai Anthony yang selalu memamerkan gaun-gaunnya di depanku."
Gemuruh suara memenuhi ruangan.
Sorakan kecil, decakan kagum, dan bisikan-bisikan berhamburan.
Seolah-olah Anna benar-benar telah dididik oleh Anthony sejak kecil.
Seolah-olah ia adalah murid kesayangan yang diwariskan segalanya sejak dini.
Padahal?
Ia bukan siapa-siapa!
Hanya seorang anak kecil yang melihat Anthony dari layar kaca.
Tanpa pernah bertemu langsung.
Tanpa pernah menyentuh dunia nyata Anthony.
Ia hanya seorang penggemar murahan yang meniru dengan kedua matanya, menyalin dengan tangannya, lalu mengklaim semuanya sebagai miliknya.
Dan kini, dunia mempercayainya.
Bodoh.
Bodoh sekali.
Rina mengepalkan tangannya lebih erat, tatapannya penuh kebencian yang mendidih.
Dan…
Susan menahan napas, tangannya semakin erat dalam genggaman Edward.
Bagaimana bisa seorang pemalsu bersinar terang di atas panggung ini, sementara mereka yang telah berdarah-darah hanya bisa menyaksikan dalam diam?
Sementara orang-orang yang benar-benar berjuang harus duduk di dalam bayang-bayang?
Ini bukan sekadar rasa iri.
Ini penghinaan.
Edward melirik Susan, rahangnya mengeras. "Kita tidak akan tinggal diam," suaranya rendah, nyaris seperti bisikan.
Susan menoleh, mata mereka bertemu.
Dan dalam tatapan itu, ada satu hal yang sama—
Anna tidak boleh menang.
Tangannya mencengkeram erat lengan Edward, tetapi sentuhan pria itu kini terasa hampa. Seolah-olah sesuatu dalam dirinya perlahan runtuh, seperti istana pasir yang tersapu ombak.
Pandangannya beralih, mencari sosok yang bertanggung jawab atas semua ini. Siapa yang mengubah Upik Abu Anna menjadi Cinderella?
Dulu, perempuan itu tak lebih dari seorang bayangan, seorang figuran yang tidak berarti. Tapi lihatlah sekarang—dia berdiri di tengah panggung, berbalut cahaya, menerima segala tepuk tangan dan sorakan, seakan dunia telah menyerahkan takhtanya kepadanya.
Siapa yang memberinya kekuatan ini?
Lalu Susan menyadari.
Ethan Ruan.
Tangannya masih bertaut dengan Edward, tetapi hatinya kosong, seolah sesuatu yang berharga telah direnggut darinya tanpa bisa dikembalikan.
Dan semua ini salahnya.
Ia yang menjodohkan mereka. Ia yang menyingkirkan Ethan. Ia yang berpikir bahwa pria itu tak akan pernah bangkit, bahwa pria dalam kursi roda itu hanyalah masa lalu yang harus ditinggalkan.
Ia yang percaya bahwa memilih Edward—pria yang sempurna, pria yang bisa berdiri tegak—adalah keputusan terbaik.
Tapi lihatlah sekarang.
Ethan bukan hanya bangkit.
Pria itu memutar takdir Anna.
Dulu perempuan itu hanyalah tanah yang diinjak, sesuatu yang tak pernah diperhitungkan. Tetapi kini, ia telah menjadi langit.
Langit yang bersinar terang. Langit yang tak bisa tergapai.
Dan Susan?
Ia sendiri yang jatuh.
Ia yang kehilangan segalanya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Fashion House bukan sama dengan Rumah Mode dalam bahasa?