Zharagi Hyugi, Raja ke VIII Dinasti Huang, terjebak di dalam pusara konflik perebutan tahta yang membuat Ratu Hwa gelap mata dan menuntutnya turun dari tahta setelah kelahiran Putera Mahkota.
Dia tak terima dengan kelahiran putera mahkota dari rahim Selir Agung Yi-Ang yang akan mengancam posisinya.
Perebutan tahta semakin pelik, saat para petinggi klan ikut mendukung Ratu Hwa untuk tidak menerima kelahiran Putera Mahkota.
Disaat yang bersamaan, perbatasan kerajaan bergejolak setelah sejumlah orang dinyatakan hilang.
Akankah Zharagi Hyugi, sebagai Raja ke VIII Dinasti Huang ini bisa mempertahankan kekuasaannya? Ataukah dia akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs Dream Writer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Putera Mahkota Terancam
Di tepian danau yang sunyi, Zharagi berdiri di balik semak-semak yang lebat, memperhatikan pelayan yang tampak gusar dan melemparkan batu ke air. Pelayan itu mengenakan seragam sederhana, tetapi yang menarik perhatian Zharagi adalah kantung parfum kecil yang tergantung di pinggangnya. Itu adalah ciri khas dari Istana Selatan, tempat tinggal Ratu Hwa.
Zharagi memiringkan kepalanya, rasa ingin tahu dan kecurigaan mulai merayapi pikirannya. "Mengapa pelayan dari Istana Selatan berada sejauh ini, dan seorang diri?" pikirnya. Tempat ini jauh dari jalur istana mana pun, dan tidak ada alasan logis bagi pelayan itu untuk berada di sini tanpa pengawalan atau tugas yang jelas.
Pelayan itu terus bergumam pelan, suaranya samar tetapi terdengar kesal. Sesekali dia menggerutu sambil menatap ke danau. Zharagi mendekat sedikit, tetap bersembunyi di antara pepohonan, memastikan dirinya tidak terlihat.
"...selalu saja disuruh ini-itu... apa mereka pikir aku ini budak tanpa jiwa?" gumam pelayan itu. Dia menarik kantung parfum dari pinggangnya dan menggenggamnya erat, seolah-olah benda itu menjadi simbol kemarahannya. "Ratu Hwa... semua ini hanya permainan baginya, tapi aku yang harus menanggung semuanya."
Mendengar nama Ratu Hwa disebut, mata Zharagi menyipit tajam. Dia semakin yakin ada sesuatu yang tidak beres. Namun, alih-alih langsung keluar dan bertanya, Zharagi memilih untuk tetap bersembunyi. Ini bukan saatnya bertindak gegabah.
Pelayan itu akhirnya melempar kantung parfumnya ke tanah, menginjaknya dengan kesal, dan berjalan menjauh sambil mengumpat pelan. Zharagi menunggu hingga sosoknya benar-benar menghilang di balik pepohonan sebelum keluar dari tempat persembunyiannya.
Dia mendekati tempat kantung parfum itu tergeletak. Membungkuk, dia memungutnya dan memeriksa dengan cermat. Kantung itu terbuat dari kain mewah dengan bordiran halus—tak diragukan lagi, berasal dari Ratu Hwa. Namun, saat dia membukanya, isinya bukan hanya parfum seperti yang diharapkan, melainkan secarik kertas kecil yang dilipat rapat.
Zharagi membuka lipatan kertas itu, dan alisnya berkerut membaca pesan singkat di dalamnya:
"Segera temui aku di titik pertemuan. Kita harus bergerak sebelum raja kembali."
Hatinya berdebar. "Titik pertemuan? Bergerak? Apa yang sedang mereka rencanakan?" pikirnya.
Zharagi menyimpan kertas itu di dalam sakunya dan menatap ke arah pelayan itu pergi. Tatapan matanya kini dipenuhi tekad. Ini bukan sekadar kebetulan—ada sesuatu yang besar sedang terjadi, dan dia harus menghentikannya sebelum terlambat.
Dia berbalik dan berjalan dengan langkah cepat menuju pasukannya, menyusun rencana untuk menghadapi konspirasi yang mulai terungkap.
Zharagi melangkah mantap ke arah markas kecil di dekat perbatasan barat. Pasukannya memang tidak besar, hanya terdiri dari sekelompok prajurit setia yang dia percayai sepenuh hati. Setibanya di sana, dia segera memanggil Tarei, komandan lapangan yang paling sering dia andalkan.
Tarei masuk dengan sigap. "Perintah, Yang Mulia?" tanyanya sambil menunduk hormat.
Zharagi mengulurkan kantung parfum dan lipatan kertas itu. "Aku menemukan ini. Pelayan dari Istana Selatan berada jauh di luar jalur, membawa pesan yang mencurigakan. Kita perlu tahu siapa yang menerima pesan ini dan apa yang mereka rencanakan."
Tarei mengambil kertas itu, membacanya sekilas, dan matanya menyipit. "Titik pertemuan ini… bisa saja salah satu pos rahasia di perbatasan. Tapi ada beberapa kemungkinan lokasi. Kita perlu waktu untuk memastikannya."
"Kita tidak punya waktu, Tarei," Zharagi memotong cepat. "Jika ini melibatkan Ratu Hwa, aku tidak akan membiarkannya tumbuh menjadi ancaman."
Tarei mengangguk. "Baik, Yang Mulia. Saya akan mengirim pengintai untuk menyelidiki."
Namun, Zharagi menggeleng. "Tidak. Kali ini, aku yang akan turun langsung. Aku perlu melihat ini dengan mataku sendiri."
Tarei terkejut. "Tapi, Yang Mulia, ini berbahaya. Jika ini jebakan…"
"Itulah mengapa aku harus pergi. Mereka pasti tidak akan menyangka aku akan bertindak secepat ini. Kau dan yang lain tetap di sini. Aku hanya akan membawa dua orang."
Tarei tampak ragu, tetapi dia tidak berani menentang perintah Zharagi. Akhirnya, dia berkata, "Kalau begitu, izinkan saya memilih dua prajurit terbaik untuk menemani Anda."
Zharagi mengangguk. "Pilihlah orang-orang yang bisa dipercaya."
---
Malam itu, Zharagi bersama dua prajurit pilihan Tarei berangkat ke arah yang dia duga sebagai titik pertemuan. Hutan gelap yang melingkupi jalan setapak membuat suasana semakin mencekam. Suara malam—burung hantu, desiran angin di antara dedaunan—seolah menambah tekanan di udara.
Sesampainya di sebuah bukit kecil yang menghadap ke lembah, mereka melihat sekelompok orang berkumpul di bawah cahaya obor. Zharagi mengenali salah satu dari mereka: seorang pejabat tinggi dari Istana Selatan.
"Jadi, ini konspirasi besar," gumam Zharagi dengan nada dingin. Dia memperhatikan dengan saksama saat pejabat itu menyerahkan sebuah kotak kayu kecil kepada pria bertubuh kekar yang tampaknya seorang pemimpin kelompok bayangan.
Dari tempat persembunyiannya, Zharagi menangkap sepenggal percakapan.
"Ini cukup untuk memulai? Ratu sudah menunggu hasilnya."
"Cukup," jawab pria kekar itu dengan suara rendah. "Serangan akan dilakukan seperti yang direncanakan. Raja tak akan tahu apa yang menghantamnya."
Mata Zharagi menyala penuh kemarahan. Mereka merencanakan serangan? Dia memutuskan bahwa dia harus bertindak sebelum mereka sempat bergerak lebih jauh.
Dia memberi isyarat kepada kedua prajuritnya. "Kita harus menggagalkan ini sekarang. Tangkap pemimpin mereka hidup-hidup. Aku ingin jawaban langsung darinya."
Dengan senjata di tangan, mereka bergerak cepat menuju lembah, mempersiapkan diri untuk melawan bayang-bayang yang mencoba menggulingkan tahta Zharagi.
Zharagi menghentikan langkahnya begitu Lady Ira berbalik dan mengangkat tangan dengan penuh percaya diri. Wajahnya tampak tenang, tetapi matanya bersinar dengan kesombongan.
"Berhenti di situ, Raja Zharagi," ucap Lady Ira dengan suara tajam. "Sebelum kau mengambil langkah bodoh yang akan menghancurkan masa depanmu."
Zharagi menyipitkan mata, pedangnya tetap terangkat, sementara pria kekar yang tadi menjadi lawannya kini tergeletak tak sadarkan diri di bawah kakinya. "Berani sekali kau datang ke wilayahku dengan niat seperti ini. Berikan alasan kenapa aku tidak seharusnya menyelesaikan semuanya di sini."
Lady Ira tersenyum dingin, lalu mengangkat secarik kain kecil dari kantungnya. Lambang Istana Selatan terlihat jelas di kain itu. "Karena Putera Mahkota sedang berada di Istana Selatan, di bawah perlindungan kami."
Kata-katanya membuat Zharagi tertegun sejenak. "Apa maksudmu?"
"Sebuah permainan politik," jawab Lady Ira, melangkah lebih dekat dengan percaya diri. "Ratu Hwa tidak hanya memiliki kekuatan militer, tetapi juga pengaruh yang lebih besar daripada yang kau sadari. Putera Mahkota berada dalam perlindungan kami. Jika sesuatu terjadi padaku malam ini, bagaimana kau akan menjelaskan hilangnya pewarismu kepada rakyatmu?"
Zharagi mengepalkan tangannya, menahan amarah yang meluap-luap di dadanya. Dia tahu ancaman itu tidak bisa dianggap remeh. Jika Lady Ira mengatakan yang sebenarnya, maka keselamatan pewaris takhtanya benar-benar dalam bahaya.
"Kau berani menyandera pewaris kerajaan ini?" tanyanya, nadanya penuh amarah dan ketidakpercayaan.
Lady Ira hanya tersenyum tipis. "Bukan menyandera. Kami hanya memberikan perlindungan. Tapi tentu, kau bisa melihatnya sebagai pengingat bahwa keputusanmu malam ini akan berdampak panjang. Bunuh aku, dan kau mungkin akan kehilangan anakmu. Lepaskan aku, dan kita bisa mendiskusikan semuanya dengan kepala dingin."
Zharagi menatap Lady Ira dengan tatapan tajam. Dia tahu ini adalah taktik untuk mengulur waktu, tetapi ancaman terhadap Putera Mahkota terlalu besar untuk diabaikan. Dia menurunkan pedangnya perlahan, meskipun amarahnya masih membara.
"Kau menang kali ini, Lady Ira," katanya dingin. "Tapi jangan pikir ini sudah selesai. Aku akan memastikan kebenaran dari ucapanmu. Dan jika kau berbohong, tidak ada tempat di dunia ini yang bisa menyelamatkanmu."
Lady Ira mengangguk kecil, menyembunyikan senyuman puasnya. "Kau bijak, Yang Mulia. Seorang pemimpin harus tahu kapan harus maju dan kapan harus mundur. Sampai jumpa lagi, Raja Zharagi. Aku yakin kita akan bertemu di medan politik yang lebih menarik."
Dengan itu, Lady Ira memberi isyarat kepada beberapa anak buahnya yang tersisa untuk membawanya pergi. Zharagi hanya bisa melihat mereka menghilang di balik bayangan pepohonan, sementara pikirannya terus bergelut dengan pertanyaan besar: bagaimana Putera Mahkota bisa berada di Istana Selatan?