Cinta yang datang dan menetap di relung hati yang paling dalam tanpa aba-aba. Tanpa permisi, dan menguasai seluruh bilik dalam hati. Kehadiran dirimu telah menjadi kebutuhan untukku. Seolah duniaku hanya berpusat padamu.
Zehya, seorang gadis yang harus bertahan hidup seorang diri di kota yang asing setelah kedua orang tuanya berpisah. Ayah dan ibunya pergi meninggalkan nya begitu saja. Seolah Zehya adalah benda yang sudah habis masa aktifnya. Dunianya berubah dalam sekejap. Ayahnya, cinta pertama dalam hidupnya, sosok raja bagi dunia kecilnya, justru menjadi sumber kehancuran baginya. Ayahnya yang begitu sempurna ternyata memiliki wanita lain selain ibunya. sang ibu yang mengetahui cinta lain dari ayahnyapun memutuskan untuk berpisah, dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata Zehya bukanlah anak kandung dari wanita yang selama ini Zehya panggil ibu.
Siapakah ibu kandung Zehya?
yuk, ikuti terus perjalanan Zehya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yunacana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang
Zehya mengunyah sarapannya dengan lahap. Pagi ini dia sangat bahagia, Aga telah mengatakan padanya bahwa pagi ini setelah sarapan dia akan mengantarkan Zehya pulang ke rumah orangtuanya. Berbeda dengan Zehya yang sedang senang. Zain hanya mengaduk sarapannya dengan lesu. Aga yang menyaksikan pemandangan yang bertolak belakang itu hanya menggelengkan kepalanya.
" Grandpa. Aku akan sering menelepon Grandpa setelah pulang." Suara riang Zehya mengalihkan atensi Aga dan Zain.
" Hanya Grandpa?" Zain langsung menyahut. Zehya menoleh padanya dan memandang acuh tak acuh.
" Iya."
" Apa?" Zain melengos kecewa. " Apa kita tidak bisa... Berteman?" Kali ini Zain bertanya dengan pelan. " Apakah... Kamu masih marah?"
Zehya menatap Zain. Kali ini dengan pandangan yang lebih bersahabat.
" Teman tidak pernah memaksa, kak Zain."
" Ehem... " Aga terbatuk kecil. Mencoba mencuri atensi kedua bocah di sampingnya. " Apa Grandpa melewatkan sesuatu?"
" Ti~"
" Kak Zain memaksa Zehya untuk tinggal disini," Zehya memotong perkataan Zain dengan cepat. " Kak Zain juga memaksa Zehya untuk tidak kembali pulang, dan juga memaksa Zehya untuk berjanji menikah dimasa depan." Adu Zehya tanpa jeda. Aga menatap intans pasa Zain. Sedang Zain menunduk pasrah.
" AHAHAHAHA!" Aga tertawa dengan sangat puas. " Kalian masih bisa bertemu, kita bisa datang ke rumah Zehya, begitupun sebaliknya," Kali ini Aga berkata dengan nada yang lembut.
Zehya mengangguk dengan antusias, " Iya. Grandpa benar! Kita masih bisa bermain nanti." Mendengar perkataan Zehya, Zain yang sedari tadi menunduk kini mengangkat kepalanya. Menatap wajah bulat Zehya yang berseri-seri.
" Janji?" Tanya Zain.
" Tidak!" Tolak Zehya. " Aku tidak mau berjanji."
Mereka kini telah berada di dalam mobil yang akan mengantarkan mereka ke rumah Bagas. Mengantarkan Zehya kepada keluarganya. Sedari mereka berangkat, Zain terus menggenggam tangan mungil Zehya. Meski gadis kecil itu terus memberontak, Zain tidak peduli. Dia tetap tidak mau melepaskan tangan Zehya. Hingga gadis itu lupa dan membiarkan tangannya berada dalam genggamam lembut Zain.
" Kenapa kita tidak mengendarai mobil saja?" Tanya Zain penuh protes, saat mobil yang mereka naiki masuk ke area bandara. Aga menoleh kepada cucunya dan mengacak rambut Zain.
" Lebih cepat dengan pesawat, Zain."
" Grandpa, Aku kan masih ingin bersama Zehya lebih lama," Jujur Zain. Aga yang sedang membantu Zehya turun dari mobil memandang cucunya dengan heran.
" Ada apa dengan mu? Kenapa aneh sekali," Ujar Aga merasa heran dengan pola pikir dan tingkah Zain.
" Grandpa tidak akan bisa mengerti!" Sungut Zain.
Aga tak menghiraukan bocah yang sedang uring-uringan tersebut. Aga lekas menggandeng Zehya yang terlihat sangat senang karena sebentar lagi dia akan kembali ke rumah orang tuanya.
Tak ada drama atau percakapan lagi diantara mereka, kini semua sedang sibuk dengan segala macam pikiran di benak masing-masing. Zehya tak henti-hentinya tersenyum dan bersenandung riang. Sudah tak sabar untuk segera bertemu Ayah dan Bunanya.
Perjalanan mereka sangat lancar. Tidak ada suatu kendala yang menghambat, satu-satunya yang merusak moment bahagia saat itu hanyalah ekspresi Zain yang masam. Bocah lelaki itu masih enggan berpisah dengan Zehya.
" Grandpa! Grandpa! Setelah belok kekanan, nanti ada taman. Disana bagus lo Grandpa. Zehya sering olah raga pagi sama Ayah. Nanti dari Taman itu, kita belok ke kiri. Ada rumah besaaaaar warna putih, gerbangnya tinggi. Itu rumah Ayah." Zehya berceloteh sembari menunjukkan tempat yang sangat familiar baginya pada Aga. Lelaki itu menyimak semua celotehan Zehya dengan antusias. Dia juga menoleh ke arah yang di tunjuk oleh gadis kecil itu.
" Nah. Sekarang kita sudah sampai," Aga berkata pada Zehya dengan senyum di bibirnya. " Selamat datang kembali ke rumah, Zehya." Zehya mengangguk dan bertepuk tangan.
" Yey! Terimakasih Grandpa!" Gadid itu mendekati Aga dan memberikan sebuah kecupan singkat di pipinya. Aga tersenyum dan mengelus pucuk kepala Zehya.
" Senang bisa membantu "
Mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan gerbang yang menjulang tinggi. Seorang penjaga keluar dan menghampiri mobil tersebut. Sang supir menurunkan kaca jendela dan tersenyum. Belum sempat mereka bicara, Zehya sudah berteriak penuh semangat.
" Pak! Zehya pulang!"
Sang penjaga gerbang tertegun. Wajahnya Syok untuk beberapa saat dan tergantikan oleh ekspresi kebahagiaan yang sangat kentara. Penjaga itu membungkuk kecil dan segera membuka lebar gerbang di depan mereka.
" Syukurlah... Selamat datang Nona!" ucapnya sembari menundukkan kepala. Zehya hanya mengangguk kecil sebelum mobil yang dia tumpangi kembali melaju. Memasuki pekarangan rumah Orangtuanya yang luas.
Penjaga gerbang itu kembali menutup rapat gerbang itu dan segera melaporkan kepulangan Zehya kepada Bagas lewat telpon genggamnya.
" Tuan. Nona muda sudah pulang."
...****************...
" Tuan, Nona sudah pulang."
Mendengar kata Nona sudah pulang, membuat mata Bagas membola. Hatinya berdebar dengan hebatnya. Tanpa menjawab laporan penjaga gerbang, Bagas segera berlari menuju pintu utama dengan cepat. Dia ingin segera memeluk putrinya.
Reyhan, Syeina, Reni dan Maher yang menyaksikan itu saling pandang. Kemudian mata mereka melebar. Hanya ada satu pikiran dalam kepala mereka. Zehya telah datang. Tanpa aba-aba, mereka bertiga beranjak dari posisi duduk santai mereka dan menyusul Bagas. Reni yang khawatir akan keamanan Syeina menggandeng tangan ibu hamil itu lembut.
" Mari kita jalan pelan-pelan saja, Syei," Ujar Reni . Syeina yang sudah mengambil ancang-ancang untuk berlari itu cemberut.
" Aku juga masih bisa berlari."
Reni Hanya terkekeh dan berjalan menyusul Reyhan dan Maher yang sudah tak terlihat lagi.
Bagas membuka pintu rumahnya bertepatan dengan Zehya yang turun dari mobil di bantu oleh Aga. Binar kebahagiaan terpancar dari seluruh tubuhnya. Langkahnya terasa ringan saat berlari menjemput anaknya. Di rengkuhnya tubuh mungil anaknya yang gembul dengan erat. Hatinya terasa penuh, hingga air mata lolos dari matanya.
Bagas melonggarkan pelukannya, di tatapnya wajah Zehya yang tersenyum dengan lamat-lamat. Zehya mengangkat tangannya dan menghapus air mata di pipi Bagas.
" Kenapa Ayah menangis? Zehyakan sudah datang." Suara ini, suara yang sangat dia rindukan. Bagas mengecup tangan anaknya dan menciumi pipi Zehya.
" Ayah sangat senang, sayang. Kemana saja kamu, hem? Kenapa baru pulang? Ayah sudah mencarimu seperti orang gila." Perkataan Ayahnya membuat Zehya cemberut.
" Zehyakan tidak tau jalan pulang, Ayah. Grenpa Aga mencari rumah Ayah dulu. Baru bisa antar Zehya pulang. Jadi butuh waktu," Jawab Zehya. Bagas menoleh pada Aga. Betapa terkejutnya dia, mendapati sahabat ayahnya berdiri dengan wajah teduh di sisi putrinya. Bagas melepaskan Zehya dengan pelan dan menubrukkan dirinya ke tubuh lelaki paruh baya itu.
Aga menerima pelukan mendadak dari Bagas dengan hangat. Kedua tangan kekarnya menepuk punggung Bagas sayang.
" Paman. Benarkah ini Paman?" Tanya Bagas sambil menitikan kembali air matanya. Aga mengangguk pelan. " Iya, Bagas. Ini Paman, nak."
Reyhan yang baru sampai, tertegun menyaksikan pemandangan di depannya. Tapi dia tidak mau melewatkan waktu terlalu lama. Lelaki bermata tajam itu meraih tubuh Zehya dan menggendongnya. Ditatapnya wajah ceria Zehya seraya berkata.
" Anak pintar. Papa rindu, Sayang," Ujarnya seraya mendaratkan kecupan sayang di kedua pipi Zehya. Gadis itu merangkulkan kedua tangannya ke leher Reyhan dan tertawa.
" Haha, Zehya tahu, Papa Rey. Makanya Zehya pulang dengan cepat." Reyhan kembali mencium pipi Zehya lembut.
Maher melemparkan tatapan penuh selidik pada seorang bocah yang sedikit lebih besar darinya. Bocah yang sedari tadi menatap tak suka pada kedua pria yang memeluk dan menciumi pipi Zehya. Kedua tangannya bersedekap di depan dada.
Namun atensi Maher kembali teralihkan ketika suara Syeina dan Reni menyapa gendong telinganya.
" Zehya... Syukurlah."
Setelah sesi temu kangen yang panjang dan haru. Kini mereka semua duduk di ruang keluarga. Berbagai macam buah dan kudapan tersedia di atas meja. Zehya dan Maher asik memakan makanan itu dan sesekali bercanda. Sedang Zain duduk dengan wajah datar dan cemburu melihat kedua bocah di depannya.
Aga sedang menceritakan pertemuannya dengan Zehya pada keluarga nya. Juga menceritakan apa yang Zehya alami sesuai dengan apa yang Zehya katakan.
" Kami tidak tahu lagi bagaimana caranya berterimakasih pada Tuhan atas semua pertolongannya. Kami juga bersyukur karena bisa bertemu kembali dengan Paman," Bagas berkata dengan penuh rasa syukur. " Sudah lama sekali kita tidak bertemu, Paman."
" Ya. Kamu benar,Gas. Sekarang kita harus lebih waspada pada Burhan. Aku yakin dia akan kembali mengusik keluargamu. Terutama Zehya." Bagas dan Reyhan menggangguk.
" Kami sudah mengupayakan yang terbaik. Saat ini kami sudah mengetahui lokasi penghianat itu. Tinggal pihak berwajib yang menangani nya." Kali ini Reyhan berkata dengan serius.
" Burhan memiliki seorang anak dengan mediang istrinya dulu. Dia seusia dengan kalian, dan aku dengar dia berkecimpung di dunia bawah. Aku hawatir dia akan datang untuk membalas dendam karena kita memenjarakan ayahnya."
Bagas, Reyhan dan kedua ibu Zehya saling pandang. Kehawatiran melanda hati mereka. Terutama pada keselamatan Zehya.
Axcel apa Zain ini Thoor