Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.
Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.
Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4—Sebelas Duabelas
Keningku mengernyit heran kala mendapati Bang Fariz yang pulang seorang diri. Bahkan, lelaki itu dengan santainya memarkirkan motor di pelataran rumah. Perasaan tadi pamit untuk mengantar Mama ke pasar, tapi pulangnya kenapa hanya sendirian?
"Mamanya mana, Bang?" tanyaku setelah menyalami punggung tangannya.
Bang Fariz hanya mengedikkan bahunya acuh tak acuh, lantas memasuki rumah dan duduk di sofa. Aku pun ikut duduk di sisinya, meninggalkan sejenak kegiatanku yang tengah menyapu teras.
Beberapa saat kami terjebak keheningan, aku pun memilih untuk menelaah mimik wajahnya. Bibir Bang Fariz sedikit berkedut, seperti tengah menahan tawa. Tapi karena apa?
"Bang Fariz kenapa?" tanyaku pada akhirnya.
Dia malah menggeleng seraya terkekeh. Benar-benar aneh. Kira-kira apalagi yang lelaki ini perbuat? Otakku begitu gencar dalam menerka-nerka.
"Bang Fariz langsung antar Mama pulang ke rumahnya?" tanyaku penasaran.
Setahuku, tadi Mama mengatakan akan mampir dulu ke mari. Terlebih aku pun menitip sesuatu pada beliau, tapi entah di mana keberadaan Mama sekarang.
Sebuah gelengan singkat tanpa penjelasan dia berikan. Kepalaku mendadak pening, tak mengerti dan tak bisa membaca isi kepala lelaki ini.
Tolonglah buka suara. Aku bukanlah paranormal, ataupun pakar mikro ekspresi yang bisa tahu hanya dengan melihat mimik wajah. Aku ini manusia normal yang butuh akan penjelasan.
Semakin hari, semakin banyak hal-hal baru yang kuketahui ihwal pribadi Bang Fariz. Tapi itu hanya sebagian kecil saja, sisanya hanya menerka-nerka. Bang Fariz terlalu berkawan dengan banyak keanehan.
"Ya udah aku mau nyapu lagi. Bang Fariz mau aku buatkan kopi dulu, gak?"
"Sirup melon aja. Tenggorokan Abang butuh kesegaran," sahutnya.
Senyum tipis lelaki itu berikan, dan aku pun mengangguk mengiyakan. Membiarkan dirinya sejenak beristirahat, siapa tahu masih kelelahan karena sudah berkendara.
Aku pun bergegas ke dapur untuk menyiapkan pesanannya. Walau pikiranku masih riuh, memikirkan keberadaan Mama mertuaku saat ini.
Setelah selesai, aku pun membawa gelas berisi sirup melon tersebut di atas nampan. Namun, tungkaiku berhenti sesaat kala mendapati Mama berdiri tak jauh dari Bang Fariz.
"Lho, kok Mama ada di sini?" tanyaku bingung.
Tangan kanan beliau memegang wajan, sedangkan tangan lainnya membawa sebuah panci. Terlihat sangat kerepotan, tapi ekspresi beliau sangat bertolak belakang.
Beliau malah cengengesan, lantas duduk begitu saja di sofa. "Mama jatuh dari motor," singkatnya lalu menyimpan barang-barang yang dibawa di atas lantai.
Aku benar-benar tak bisa mencerna dengan baik jawaban beliau. Pasalnya tadi Mama dan Bang Fariz berangkat bareng ke pasar, Mama minta diantar untuk membeli wajan serta panci pada sang putra semata wayang.
Namun, Bang Fariz justru pulang sendirian. Lalu sekarang Mama tiba-tiba datang, dan mengadu baru saja jatuh dari motor. Bukankah mereka satu motor? Kalau jatuh, otomatis berdua dong, tak mungkin hanya Mama saja, kan?
"Kok bisa?"
Mama dan Bang Fariz saling berpandangan, tapi detik berikutnya tawa mereka menguar.
"Fariz tuh bawa motornya gak bener, jadi jatuh. Bukannya bantuin Mama berdiri, dia malah bangunin motornya lalu pergi ninggalin Mama yang masih linglung nyungsep di aspal," ujar Mama masih sesekali tertawa.
Aku geleng-geleng dibuatnya, bahkan mataku beberapa kali mengerjap. Benar-benar tak mengerti dengan ke-absurd-an ibu dan anak ini.
Mulutku ingin tertawa kencang, tapi otakku meminta untuk menahan. Sangat tidak sopan menertawakan mama mertuaku yang tengah didzolimi anaknya sendiri.
Kalau aku yang berada di posisi itu, sudah pasti akan diomeli habis-habisan oleh ibuku. Tapi, mertuaku ini malah datang seraya cengengesan. Tanpa ada sedikit pun raut kemarahan.
Benar-benar tak masuk akal!
"Ya lagian Mama gak bisa diem sih. Motornya, kan jadi oleng dan gak seimbang," sahut Bang Fariz tanpa dosa, bahkan dia pun terkekeh setelahnya.
Aku melongo di tempat dengan nampan yang masih kupegang dengan erat.
"Mama, kan bawa wajan sama panci. Tangan Mama pegel, belum lagi kaki Mama juga kesemutan. Itu mah kamunya aja yang gak bisa bawa motor. Wajar dong kalau Mama gerak-gerak, nyari posisi nyaman," sela Mama tak mau kalah.
Itu bukanlah sebuah omelan, lebih menjurus pada penjelasan sebab nada bicara Mama kelewat santai.
Bang Fariz mendengkus pelan lalu berujar, "Aku, kan udah tawarin Mama buat naik mobil. Tapi Mama tolak dengan dalih biar cepet dan gak kejebak macet. Jadi, jangan salahin aku dong kalau Mama kerepotan di motor."
Mama berdecak sebagai respons.
Aku meletakkan minuman itu di atas meja dan duduk di sisi Mama. "Terus Mama pulang sama siapa?"
"Dianterin satpam komplek. Sakitnya dikit, malunya itu lho yang gak bisa ditahan."
Aku tertawa kecil, membayangkan kemalangan nasib beliau. Memang anak durhaka Bang Fariz ini. Melihat ibunya jatuh, bukannya dibantu, atau setidaknya ditanyakan keadaannya. Eh, dia malah kabur dan meninggalkan Mama begitu saja.
Dasar Malin Kundang Milenial!
Mama melirik sekilas ke arah Bang Fariz yang kini tengah asik menyeruput sirup. "Dia itu gengsinya selangit. Takut banget kelihatan orang lain, makanya buru-buru pulang dan ninggalin Mama."
Aku geleng-geleng. "Mama yang jatuh, yang dibangunin malah motor. Definisi anak budiman emang Bang Fariz ini!"
Aku dan Mama tertawa bersama. Kelakuan Bang Fariz itu memang ada-ada saja. Aku kadang keheranan dengan tingkah polah anehnya.
Beruntunglah dia karena mendapatkan ibu seperti Mama yang tidak pernah mempermasalahkan hal-hal tersebut. Jatuh dan tersungkur di aspal, bahkan dengan kejamnya ditinggalkan, tapi beliau pulang dengan wajah cengengesan.
"Gapura komplek, kan gak jauh, Ma. Buktinya masih bisa pulang ke sini, kan?"
Benar-benar pribadi yang santai dalam segala kondisi. Tidak ada raut bersalah ataupun penyesalan sama sekali. Kelakuan Bang Fariz terkadang buat darah tinggi sekaligus jengkel hati.
Mama merebut gelas yang hendak Bang Fariz letakkan di meja, lantas meminumnya tanpa dosa. "Mama haus, butuh kesegaran."
"Astagfirullahaladzim, sampai lupa aku belum buatin Mama minum. Mau minum apa, Ma?"
"Air putih dingin aja. Sirup gak baik buat diabetes, Mama," sahutnya.
Aku mengangguk dan segera bergegas ke dapur.
Sudah tahu punya riwayat penyakit diabetes, tapi sirup berperasa buah milik sang putra diembat juga. Keanehan Mama dan Bang Fariz memang sebelas duabelas.
"Diminum, Ma," kataku setelah mengambilkan pesanan beliau dan duduk di sisinya.
Beliau tersenyum dan mengangguk, lantas menandaskan minuman tersebut. Sepertinya sangat kehausan.
"Mama gak papa, kan? Ada yang sakit?" tanyaku mencemaskan beliau.
"Sekarang sih belum terasa, gak tahu kalau nanti. In syaa allah Mama baik-baik saja," sahutnya mencoba untuk menenangkan.