"Mas kamu sudah pulang?" tanya itu sudah menjadi hal wajib ketika lelaki itu pulang dari mengajar.
Senyum wanita itu tak tersambut. Lelaki yang disambutnya dengan senyum manis justru pergi melewatinya begitu saja.
"Mas, tadi..."
Ucapan wanita itu terhenti mendapati tatapan mata tajam suaminya.
"Demi Allah aku lelah dengan semua ini. Bisakah barang sejenak kamu dan Ilyas pulang kerumah Abah."
Dinar tertegun mendengar ucapan suaminya.
Bukankah selama ini pernikahan mereka baik-baik saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permohonan Irham
Azril dan Hassan yang akhirnya membantu Irham duduk di tengah bangunan yang tidak lain ruang tamu Kiai Ahmad Sulaiman.
Irham disidang di sana. Tanpa di temani sang istri dan juga ibu mertuanya.
Hanya orang-orang sesepuh pesantren Al-Hasan yang duduk khidmat mendengarkan alasan adanya masalah ini.
Irham hanya mampu menunduk malu mana kala suara tegas ayah mertuanya ikut serta.
"Siapapun, tidak ada yang berhak menghakimi masa lalu seseorang putraku. Rasulullah SAW bersabda,
"Setiap umatku dimaafkan, kecuali orang-orang yang menampak-nampakkan kejahatannya sendiri. Di antara perbuatan menampakkan keburukan sendiri adalah melakukan suatu perbuatan di waktu malam, kemudian di pagi harinya Allah telah menutupi keburukannya itu, namun ia berkata, 'Hai fulan, aku tadi malam berbuat demikian dan demikian.' Di malam harinya Allah telah menutupi celanya, namun di pagi harinya ia membuka tabir Allah padanya." (Muttafaq 'Alaih)"
Disini, harusnya antum sudah paham jika secara tidak langsung membongkar keburukan antum di masa lampau. Maka, untuk hal demikian, Abah tidak bisa memutuskan bagaimana kedepannya status antum di pondok pesantren Al-Hasan ini. Jujur selaku orang tua, Abah kecewa. Anak lelaki Abah yang selalu Abah banggakan telah mencoreng nama baik Abah selaku pendiri pesantren Al-Hasan."
******
Irham pulang ke rumahnya dengan suasana hati yang sangat gundah. Dia berjalan masuk kedalam pagar rumah yang sudah empat tahun ditempatinya tanpa semangat. Pria itu tiba-tiba teringat, momen pertama saat datang ke rumah sederhana ini. Hadiah pernikahan dari kedua mertuanya yang kaya raya dan baik hati.
Kala itu ini adalah rumah paling sederhana yang di tawarkan mertuanya. Sebagian lainnya jauh lebih mewah. Atas kemauan Irham akhirnya mereka membelikannya rumah yang sederhana yang nantinya akan menjadi tempat tinggal putri semata wayang mereka.
"Rumahnya besar dan bagus sekali. Tapi kami sepertinya butuh rumah yang sedikit lebih kecil, Abah."
Kiai Ahmad Sulaiman menoleh dengan cepat, mendengar ucapan menantunya.
"Memangnya kenapa?" tanya beliau.
"Abah, kami masih pengantin baru. Kalau rumahnya lebih sederhana, kami tidak butuh seseorang untuk mengurus rumah, ana yang akan mengurus rumah bersama Ning Dinar, terus kalau rumahnya kecil ana lebih mudah menemukan dimana istri ana berada."
Tampak jelas Kiai Ahmad Sulaiman terperangah mendengar jawabannya. Irham masih ingat binar mata jenaka dan senyuman tertahan dari bibir mertuanya. Akhirnya rumah inilah yang menjadi pilihannya.
Irham masih ingat segala hal dari waktu itu, empat tahun silam. Meski setelah tiga tahun berumah tangga, dia merasa bosan dengan tingkah Dinar. Sekarang ia justru menyesal telah membiarkan nafsu setan memperbudaknya. Hingga pernah terpikir untuk memulangkan Dinar pada orang tuanya.
Sekarang hanya tersisa kepedihan di hatinya.
Malam itu Irham memilih pulang kerumah mereka. Meski tidak secara langsung mengatakannya. Tapi, dari cara Umi Zalianty bicara, Ibu dari wanita yang menjadi istrinya itu meminta Irham memberi waktu pada Dinar untuk menenangkan diri.
******
Hingga pagi menjelang Irham masih berkecimpung dengan kekhawatirannya.
Irham tidak enak tidur tidak enak makan. Dan kehilangan hasrat untuk melakukan apapun.
Saat ini yang ada di pikirannya adalah Dinar dan Ilyas. Bahkan, Irham sudah tidak perduli jika nantinya Hassan yang akan di tunjuk Kiai Ahmad Sulaiman untuk mengelola pondok.
Bukankah nama lelaki itu memang lebih pantas. Pondok pesantren Al-Hasan di kelola oleh Gus Hassan?
*******
Irham mengetuk pintu rumah mertuanya, membawa sekotak pie kesukaan Umi Zalianty dan Dinar. Lelaki itu menghentikan tawa Dinar dan Hassan. Mereka berdua menoleh, tetapi Dinar buru-buru mengalihkan mata kembali pada Ilyas yang tengah bermain di tengah mereka, Dinar dan Hassan terlihat sedang bermain dengan Ilyas.
Rasa cemburu kembali menyusup di hati Irham, andai saja dia tak ingat bahwa Hassan dan Dinar haram untuk menjadi pasangan suami istri.
Meski begitu, Irham mencoba terlihat tenang. Dia mendekat saat bisa mengendalikan luapan emosi yang tiba-tiba memenuhi dirinya dan bertanya ramah.
"Kalian sedang apa?"
Irham menyerahkan kotak pie pada Umi Zalianty yang sontak berdiri saat melihat kedatangan dirinya.
Dinar tak menjawab, menoleh lagi pun tidak. Dia di acuhkan. Irham duduk di sofa, menatap lekat pada perempuan yang bahkan menolak untuk melihat padanya.
"Kalian, masuk saja ke kamar untuk bicara, biar Ilyas bersama kami." laki-laki yang baru pulang dari menimba ilmu di negara Arab Saudi itu memberi solusi. Hassan tahu, Dinar dan Irham butuh bicara.
Dinar hendak protes, tapi tatapan mata Uminya membuat nyalinya ciut.
Akhirnya Dinar dan Irham benar-benar masuk ke dalam kamar untuk bicara berdua saja.
Irham berdehem sebelum bicara.
"Kamu masih marah padaku? Maaf ya, maafin aku."
Dinar benar-benar tidak ingin bicara dengan suaminya, tapi dia tidak mau menjadi istri durhaka. Bagaimanapun laki-laki ini masih suaminya. Dinar terpaksa menjawab meski ingatan tatapan kasihan orang-orang kemarin sungguh menyakiti hatinya.
"Tidak usah minta maaf. Mas mau menyembunyikan wanita bersuami, maupun gadis itu bukan urusanku. Aku tidak berhak marah." balasnya lugas.
Irham terperangah dengan jawaban itu. Laki-laki itu sedih dan marah dengan jawaban istrinya, yang seolah tidak perduli padanya.
"Aku suami kamu, tentu kamu berhak marah Dinar.. Aku tahu aku salah karena tidak memikirkan dampak yang ku lakukan. Tolong maafin aku. Aku janji tak akan mengulanginya lagi."
Irham berusaha menelan bulat-bulat perasaan tidak dipedulikan oleh Dinar, meminta maaf sekali lagi. Dinar tampak menghela nafas panjang, masih tanpa menoleh pada laki-laki yang duduk di bibir ranjang.
"Aku nggak perduli!" Dinar terdengar memaksakan jawaban, dari suaranya yang mulai sedikit bergetar. Laki-laki yang mendengar jawaban istrinya itu mencengkeram pinggiran tempat tidur, ingin melampiaskan emosi pada pembaringan.
Jawaban Dinar terdengar sangat menyakitkan baginya. Bukankah tidak perduli sama artinya dengan Dinar tak lagi memiliki perasaan apapun padanya?
"Begitu... Kamu nggak perduli aku sembunyikan istri orang atau ngapain aja. Iya?" Irham bergumam pelan.
Dinar masih enggan menatapnya. Pun, tak menjawab gumamnya.
Irham menatap istrinya yang acuh, dengan luapan emosi tercetak jelas di wajah.
"Lihat aku dan katakan sekali lagi." pinta laki-laki itu kemudian.
Dinar mencengkeram ujung bantal yang hendak di pindahkannya. Dinar hampir tak dapat menahan air matanya. Perempuan itu bangkit, tanpa menuruti permintaan suaminya dan berjalan cepat menuju kamar mandi.
Irham mengejar langkahnya tak kalah cepat.
"Berhenti, Dinar. Aku belum selesai bicara." pinta Irham dengan suara sedikit meninggi.
Dinar tak menggubris. Air mata sudah menetes dari sudut netranya. Pelupuknya sudah tergenang sejak tadi. Perempuan itu mempercepat langkah tetapi terhenti saat Irham berhasil menarik lengan dan membalik tubuhnya.
Keduanya berhadapan, dengan Dinar yang menunduk dan mulai memberontak. Irham tak perduli dengan pukulan Dinar padanya. Irham tak berniat melepaskan, dia meraih lengan sang istri dan semakin menarik Dinar dekat padanya.
"Lepasin!" Dinar berteriak.
"Gak. Lihat aku dan katakan sekali lagi. Kamu sudah nggak perduli padaku." Irham emosi nafasnya memburu.
Dinar mendongakkan kepala, dengan mata yang basah. Perempuan itu menatap nyalang suaminya dan setengah berteriak.
"Aku nggak perduli padamu. Aku benar-benar nggak perduli. Lepasin aku sekarang."
"Kamu bohong, Yank. Kenapa kamu nangis kalau nggak perduli padaku?" Tanya Irham putus asa.
"Terserah, kamu mau percaya atau nggak. Aku nggak perduli sa..."
Dinar kembali berteriak, sembari tak berhenti memberontak. Cengkeraman tangan Irham semakin kuat. Laki-laki itu menyentak lengannya. Dan tanpa aba-aba membungkam bibir istrinya agar tak kembali mengatakan hal menyakitkan itu padanya.
Dinar mengerang kasar, karena bibirnya yang dibungkam dengan pagutan bibir suaminya. Pukulan di dada Irham terus ia layangkan. Tenaganya hampir habis, tangannya mulai kebas.
Pada satu titik, Dinar tak kuat lagi sekedar memukul. Perlahan dia memasrahkan tubuhnya yang lemah dalam dekapan suaminya, dengan air mata yang tak berhenti menetes dan bibir yang masih dibungkam ciuman yang memaksa. Ciuman bercampur air mata itu berhenti saat keduanya benar-benar kehabisan nafas.
Irham masih mendekap Dinar. Mengurungnya dalam pelukan. Nafas keduanya tersengal, oleh emosi yang meluap-luap dan ciuman yang baru berakhir. Dinar menunduk membiarkan air matanya jatuh ke lantai, menolak untuk kembali melihat pada laki-laki yang masih memeluknya paksa.
"Jangan bilang kamu udah nggak perduli padaku. Rasanya sakit banget, Yank."
Irham berkata dengan penuh permohonan.
Dinar memejamkan mata dan berkata lirih.
"Aku nggak perduli padamu."
Berkali-kali Dinar mengatakan kebohongan yang sama dengan air mata yang masih setia menetes dari kedua matanya, tak mengindahkan permintaan suaminya. Dinar terlalu terluka dan sakit untuk memikirkan perasaan Irham.
####
Bagaimana?
Masih di tunggu nggak lanjutannya?
Seperti janji author, banyak like dan komen diusahakan Update nya rangkap. Hehehe