"Jatuhkan mobilnya ke jurang sekarang juga!" Dalian mendorong pundak Ayah.
Jalanan licin membuat mobil tergelincir.
"Kyaaa!!!"
Semua orang menjerit saat mobil melaju liar menuju tepi jurang hingga ke dalam.
"Jedderr!! Jedderr!!" Petir menyambar.
Seakan meramalkan malapetaka yang akan datang.
Dan dalam kekacauan itu, terdengar suara di tengah hujan dan petir, suara yang hanya Dalian yang bisa dengar.
"Selamat datang, gadis berambut hitam."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Oke. Sampai ketemu lagi, ya!
Waktu pulang tiba, Dalian dan Chelsey berjalan santai menuju halte. Matahari sore terasa hangat, dan suara obrolan siswa lain memenuhi udara.
Mereka berdua menaiki angkot yang kosong dan duduk di pojok, menikmati angin yang masuk lewat jendela.
"Kapan terakhir kali kita naik angkot?" tanya Chelsey sambil tersenyum, melipat tangannya di dada.
Dalian mengangkat bahu. "Entah, mungkin udah lama. Biasanya--"
Angkot mulai berjalan, dan obrolan mereka terhenti saat suara pintu angkot terbuka lagi. Karel naik dengan napas sedikit tersengal, membawa tas yang terlihat terlalu besar untuk tubuhnya.
"Elo lagi?" Dalian melirik Chelsey. "Kayaknya kita nggak bisa lepas dari dia." Sinis Dalian.
Karel langsung tersenyum lebar begitu melihat mereka. "Kebetulan banget ketemu kalian di sini! Tempat duduk favorit gue di angkot nih," katanya sambil duduk di bangku depan mereka.
"Serius, Karel?" tanya Chelsey sambil menahan tawa. "Elo punya tempat duduk favorit di angkot?"
Karel mengangguk penuh semangat. "Iya dong! Kursi deket pintu ini strategis banget. Bisa keluar cepet kalau udah sampai."
Chelsey tertawa kecil. "Strategis buat apa? Takut ketinggalan bus jurusan ke dunia fantasi?"
Karel ikut tertawa. "Gue lebih takut kelewatan tempat turun, sih. Pernah sekali gue ketiduran, dan bangun-bangun udah di ujung kota."
Dalian menggeleng sambil tersenyum. "Elo tuh emang unik, Karel."
Karel menoleh, tampak serius sejenak. "Unik dalam artian keren atau aneh?"
Chelsey menyela sambil tersenyum jahil. "Aneh, tapi lucu. Kita nggak nyangka elo bisa jadi hiburan."
Karel pura-pura cemberut. "Hiburan? Jangan-jangan gue cuma pelengkap komedi buat kalian?"
Dalian tertawa pelan. "Nggak juga, lo bikin hari kita lebih seru."
Karel tersenyum puas. "Nah, itu baru namanya teman sejati!"
Tiba-tiba angkot berhenti mendadak, membuat mereka bertiga tersentak ke depan. Chelsey hampir jatuh, tapi Karel cepat menahan bahunya.
"Refleks gue bagus, kan?" Karel berkata dengan bangga.
Chelsey menatapnya dengan wajah geli. "Gue mulai curiga lo beneran punya radar, Karel."
Dalian tertawa lepas, merasa beban pikirannya sedikit terangkat. Obrolan ringan di angkot itu, meski receh, membawa kehangatan yang sederhana.
Tapi di sudut hatinya, Dalian masih tak bisa mengabaikan perasaan aneh setiap kali melihat Karel—seolah ada sesuatu yang tersembunyi di balik senyum polosnya.
"Dalian, gue turun sini ya."
"Oke, bye Chelsey. Ketemu lagi besok."
"Okei."
Setelah Chelsey turun di persimpangan, suasana di dalam angkot berubah hening. Hanya ada Dalian dan Karel, duduk berseberangan.
Dalian menatap keluar jendela, memperhatikan pemandangan jalan yang berganti-ganti, namun pikirannya melayang entah ke mana.
Keheningan itu terasa canggung, seolah-olah angkot membawa mereka ke dunia yang asing. Karel, yang tadinya duduk dengan tenang, melirik Dalian dan mencoba mencairkan suasana.
"Dalian, elo suka diem-diem kayak gini nggak biasanya, deh. Nggak kangen ngobrol receh?"
Dalian tersentak dari lamunannya, lalu menoleh dengan senyum kecil. "Nggak semuanya harus receh, Karel."
Karel mengangguk, berpura-pura bijak. "Bener juga sih. Tapi serius, lo tadi kayak mikirin sesuatu yang berat. Jangan-jangan mikirin... cowok?"
Dalian tertawa kecil, tapi lebih karena bingung. "Ngawur lo. Gue cuma lagi mikir aja."
Karel mengerutkan kening, pura-pura serius. "Oh, mikirin cowok beneran, ya?"
Dalian menatap Karel dengan ekspresi geli. "Lo tuh kenapa, sih? Kayaknya hobi banget nuduh orang suka sama siapa."
Karel tertawa kecil, tapi nada suaranya lebih lembut. "Biar nggak tegang aja, Dalian. Lo kayak lagi bawa beban berat."
Dalian menghela napas panjang, pandangannya kembali ke luar jendela. "Karel, menurut lo... orang bisa beneran lupa sama hal besar yang pernah mereka alami?"
Karel diam sejenak, lalu menjawab sambil menyandarkan punggung. "Mungkin. Tapi kadang bukan lupa, lebih ke pura-pura lupa. Kadang orang nggak siap buat ingat hal-hal tertentu."
Dalian menoleh, menatap Karel dalam-dalam. "Lo pernah pura-pura lupa?"
Karel tersenyum samar, senyum yang sulit diartikan. "Siapa tahu?"
Suasana kembali hening sejenak. Angin sore yang masuk melalui jendela membuat rambut Dalian berayun pelan, dan dia masih terjebak dalam rasa penasaran yang membelitnya.
Tapi ada sesuatu yang berbeda dalam cara Karel bicara, seolah dia tahu lebih dari yang dia tunjukkan.
"Eh, Dalian," Karel tiba-tiba berkata, mengubah topik dengan nada lebih ringan, "lo pernah nggak kepikiran kalau angkot ini sebenarnya mesin waktu?"
Dalian tertawa kecil, terkejut dengan pertanyaan absurd itu. "Mesin waktu? Seriusan?"
Karel mengangguk serius, tapi jelas-jelas bercanda. "Iya, siapa tahu pas kita turun, tiba-tiba udah ada di zaman dinosaurus."
Dalian menggeleng sambil tertawa. "Lo aneh banget, tapi gue suka."
"Makanya, jangan kebanyakan serius, Dalian." Karel menutup obrolannya dengan senyum. "Hidup udah cukup ribet, kita yang muda-muda harus lebih santai."
Dalian menatap Karel sejenak, lalu tersenyum tulus. Untuk pertama kalinya sejak pagi, dia merasa sedikit lebih ringan.
Lalu Dalian bertanya, "rumah elo mana sih?"
Karel menjawab, "deket kok."
"Deket mana? Kok nggak turun-turun?"
"Nanti juga tau."
Dalian cemberut sekaligus kesal. Sehingga membuat Karel tertawa kecil melihat sikap Dalian yang mudah sekali kesal.
Angkot berhenti.
Dalian melangkah turun dari angkot, menghela napas panjang, lega akhirnya bisa keluar dari suasana canggung yang tadi menyelimuti.
Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar langkah kaki lain di belakangnya.
Karel.
Dia juga turun.
Dalian menoleh dengan alis terangkat, menatap Karel yang masih dengan senyum konyolnya. "Loh, lo ikut turun juga?" tanyanya, curiga.
Karel mengangguk santai, memasukkan tangan ke saku celana. "Iya dong."
Dalian menyipitkan mata, merasa ada yang aneh. "Bukannya tadi lo bilang rumah lo deket? Ini jauh banget dari perumahan, deh."
Karel tertawa kecil, mengangkat bahu seolah tidak ada yang salah. "Deket kok... deket sama hati lo."
Dalian menepuk dahinya, antara kesal dan geli. "Ih, gombalan receh banget! Lo tuh aneh, ya."
Karel tersenyum lebar. "Aneh kan seru."
Dalian mendengus, lalu melanjutkan langkahnya, berusaha tak peduli. Tapi Karel tetap mengikuti dari belakang, membuat Dalian semakin merasa risih.
"Kenapa sih lo ngikutin gue? Lo nggak punya arah pulang, ya?" Dalian menoleh dengan kesal, kedua tangannya di pinggang.
Karel pura-pura berpikir sambil menggaruk dagunya. "Mungkin... mungkin gue lupa arah pulang. Jadi gue ikut lo aja."
Dalian mendengus keras. "Gue bukan peta, Karel!"
Karel terkekeh, lalu menambahkan, "Tenang aja, Dalian. Gue nggak nyasar kok. Gue cuma pengen pastiin lo aman sampai rumah."
Dalian berhenti, menatap Karel dengan curiga. "Sejak kapan lo jadi bodyguard gue?"
"Sejak lo nggak sadar kalau dunia ini penuh bahaya," jawab Karel sambil memasang ekspresi serius yang jelas-jelas bercanda.
Dalian akhirnya tidak bisa menahan tawa. "Lo tuh, ya... ngeselin banget."
Karel mengangkat bahu. "Tapi lo senyum, kan?"
Dalian menghela napas panjang, tetapi senyum kecil tetap tersungging di wajahnya. "Udah deh, sana pulang. Gue nggak perlu bodyguard."
Karel berhenti, menatap Dalian yang mulai menjauh. "Oke. Sampai ketemu lagi, ya!"
Saat Dalian berjalan lebih jauh, dia melirik ke belakang dan melihat Karel melambaikan tangan, senyum lebarnya masih sama. Meski risih, entah kenapa kehadiran Karel tidak terasa seburuk yang ia kira.