Setelah sembilan belas kehidupan yang penuh penderitaan, Reixa terbangun kembali di usianya yang kesembilan tahun. Kali ini dengan gilanya, Reixa mengangkat seorang pria sebagai ayahnya, meninggalkan keluarganya setelah berhasil membawa kabur banyak uang.
Namun, siapa sangka Reixa membangkitkan kemampuannya dan malah berurusan hal di luar nalar bersama ayah angkatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Keluarga besar Reixa terkejut melihat perubahan drastis gadis sepuluh tahun itu. Setelah kehilangan kedua orang tuanya dua bulan lalu, Reixa mengurung diri di kamarnya selama seminggu penuh tanpa sekalipun pergi keluar. Dia hanya sesekali keluar untuk bersekolah. Namun kini, ia muncul sebagai sosok yang berbeda. Keberanian dan sikap pemberontaknya terlalu mencolok, membuat mereka tidak lagi bisa mengendalikan gadis itu seperti dulu. Kekhawatiran terhadap masa depan Reixa semakin besar, terutama karena ia terus menempel pada pria asing yang tiba-tiba hadir dalam keluarga mereka.
Dulu, sebelum tragedi itu, Reixa adalah gadis penurut dan polos. Namun, kini ia menjadi anak kecil yang menyebalkan di mata mereka.
"Reixa, jangan sembarangan membawa orang asing ke rumah. Kau bahkan tidak benar-benar mengenalnya. Bagaimana kalau dia berbahaya?" bujuk seorang wanita yang berpenampilan muda dengan nada halus, meskipun tatapannya sesekali menyapu Saverio dengan penuh minat.
"Dia bukan orang jahat, Tante! Tante sendiri kenapa ikut campur, sih? Kau bukan bagian dari keluarga Mahera. Jadi, nggak usah sok-sok mengaturku!" balas Reixa dengan kesal.
Gadis kecil itu tahu betul siapa wanita di depannya—bukan istri resmi dari salah satu pamannya, melainkan seorang wanita penggoda yang suka menjadi simpanan pria kaya. Dalam salah satu kenangannya, Reixa bahkan ingat bahwa wanita ini akan menderita penyakit kelamin serius akibat kebiasaannya gonta-ganti pasangan, sekaligus pengidap HIV.
Raut wajah wanita itu menggelap, tersinggung dengan perkataan tajam Reixa.
"Jangan tersinggung, Tante. Yang kukatakan adalah kenyataan." sahut Reixa santai sambil mendudukkan dirinya dengan nyaman di pangkuan Saverio, seolah dirinya seekor kucing kecil yang mencari perlindungan di pelukan majikannya.
"Reixa, jaga mulutmu! Dia itu bibimu! Sahabat pamanmu!" bentak neneknya dengan nada marah, mencoba mengembalikan kontrol.
Namun, Reixa hanya mengangkat bahu, lalu berkata dengan nada santai yang membuat ruangan itu hening seketika, "Lalu, bagaimana dengan Bibi Ayu, Nek? Bukankah dia bagian resmi dari keluarga Mahera? Kalau dia? Apakah sah?"
Semua orang terdiam, terkejut dengan keberanian dan ketajaman ucapan anak kecil itu. Mereka saling bertukar pandang, tidak percaya bahwa Reixa bisa berkata seperti itu. Tapi yang paling membuat mereka gelisah adalah fakta—bagaimana anak sekecil itu bisa tahu?
Sementara suasana semakin tegang, Reixa berbalik dan memeluk Saverio erat-erat, seolah mencari perlindungan. Dengan suara kecil, namun cukup keras untuk didengar semua orang, dia berkata, "Om Saverio, pelukan Om mirip dengan pelukan Ayahku yang sudah meninggal. Haruskah aku menggali kuburan Ayah dan memamerkan jasadnya?"
Saverio tersentak mendengar ucapan itu, begitu pula semua orang di ruangan itu. Suasana mendadak hening sejenak, hingga Saverio hanya bisa mengusap kepala Reixa dengan pasrah, berusaha meredam kegaduhan yang baru saja pecah.
Ruangan itu menjadi hening setelah ucapan tajam Reixa. Bahkan, wanita paruh baya yang tadi penuh amarah kini hanya bisa menatapnya dengan bingung. Saverio merasa tatapan mereka mulai beralih padanya, seolah mengharapkan respons. Namun, pria itu hanya menarik napas dalam, berusaha tetap tenang di tengah ketegangan.
"Reixa, itu bukan cara bicara yang sopan," ucap Saverio dengan suara rendah tapi tegas, mencoba memperbaiki suasana. Namun, gadis kecil itu hanya menggeleng sambil tetap memeluknya erat.
"Om, mereka semua nggak suka aku. Aku juga nggak suka mereka. Aku cuma mau bersama Om. Mereka bisa membenciku sebanyak yang mereka mau," ujarnya, kali ini dengan nada lebih pelan, tapi penuh keteguhan.
Nenek Reixa yang biasanya menjadi pemegang kendali dalam keluarga itu, akhirnya angkat bicara lagi. "Saverio, kau ini siapa? Kenapa kau membiarkan anak ini bicara seperti itu? Kau pikir karena dia nyaman padamu, kau bisa jadi pengaruh baik untuknya? Aku harap kau tahu tempatmu." Suaranya tajam, penuh penghakiman.
Saverio hanya tersenyum tipis, tatapannya tetap tenang meskipun isi hatinya mendidih. "Bu, saya hanya orang asing yang kebetulan berada di sini. Tapi, satu hal yang pasti saya tidak akan membiarkan siapa pun memperlakukan anak ini seperti alat atau barang."
"Berani sekali kau bicara begitu!" sergah nenek Reixa. "Kau pikir kau siapa?"
Sebelum Saverio bisa menjawab, Reixa memotong dengan nada sarkastik. "Nenek, kau selalu suka ikut campur dalam hidupku. Sekarang aku cuma ingin menjalani hidupku sendiri. Kalau Nenek nggak suka aku ada di sini, suruh Paman usir aku saja. Aku malah lebih senang pergi daripada terus-terusan diperlakukan seperti ini."
Ucapan itu membuat semua orang di ruangan membisu. Saverio hanya bisa menghela napas pelan sambil menatap Reixa. Gadis kecil itu benar-benar seperti badai kecil yang tidak bisa dihentikan.
"Reixa, ada saatnya untuk bicara. Tapi ada saatnya juga untuk menenangkan diri," bisik Saverio lembut. Reixa mendongak, melihat mata ungu pria itu yang tenang namun penuh makna. Meski enggan, dia akhirnya mengangguk pelan.
"Baiklah, Om. Tapi aku nggak akan minta maaf. Mereka terlalu menyebalkan." Saverio hanya menahan senyum kecil, mengusap kepalanya.
Di tengah kekacauan emosi itu, satu hal yang Saverio sadari—gadis kecil ini, dengan segala pemberontakannya hanyalah seorang anak yang mencoba melindungi dirinya sendiri dari keluarga yang tidak pernah benar-benar mengerti atau peduli padanya. Dan entah kenapa, di dalam hati kecilnya, Saverio merasa ia harus melindungi gadis ini, apapun yang terjadi.
🐾
Merasa harga dirinya hancur oleh ocehan Reixa, Nyonya Ophela menarik napas panjang, lalu mengeluarkan segepok uang dari tas kulitnya yang mahal. Tumpukan uang itu ia letakkan di meja dengan gerakan angkuh. "Sebaiknya kau pergi dari sini. Kau jelas memberi pengaruh buruk pada Reixa." Nada suaranya penuh perintah, seperti orang yang yakin semua masalah bisa diselesaikan dengan uang.
Saverio baru akan membuka mulut untuk menolak, tetapi Reixa lebih cepat menyambar momen itu. "Lima puluh juta? Serius, Nek? Kok sedikit sekali? Nenek bangkrut, ya? Harusnya Nenek langsung kasih cek kosong aja. Nggak malu apa keluarga Mareha cuma segini kemampuannya?" ucap Reixa dengan santai, tapi jelas menghina.
"Reixa, jangan kurang ajar!" bentak Alarick dengan wajah memerah.
Namun, Reixa malah tersenyum sinis. "Oh, Paman, apa kata orang nanti kalau tahu keluarga Mareha cuma menghargai aku segini? Bukannya kita punya kekayaan nggak terhingga? Masa cek kosong aja nggak sanggup?" ejeknya dengan nada polos yang dibuat-buat.
Alarick mendengus kesal, tatapannya tajam ke arah Reixa. Tetapi, karena tidak ingin terlihat lemah di depan keluarga, ia mengeluarkan sebuah cek kosong dari dompetnya dan meletakkannya di meja dengan kasar. Beberapa kerabat yang ada di sana melotot tak percaya, sebagian lain berbisik-bisik.
"Nah, begitu, dong, Paman! Akhirnya otak Paman berfungsi juga. Sekarang, mana pulpennya?" Reixa tersenyum ceria, seperti anak kecil yang mendapat mainan baru.
Saverio, yang sejak tadi bingung, akhirnya tak tahan untuk bertanya. "Nak, apa yang akan kau lakukan dengan itu?"
Reixa tertawa kecil, lalu mengambil pulpen dan mulai menulis angka di cek tersebut. Dengan ekspresi penuh kemenangan, ia mengangkat cek itu ke arah semua orang. "Seratus triliun! Paman benar-benar baik hati dan cinta sekali sama aku. Aku nggak tahu Paman segitu perhatiannya sama keponakannya sendiri!" katanya ceria. Tapi di dalam hati, dia bersorak, "Misi rampok keluarga berhasil! Yes!"
"Reixa!" seru Alarick terbelalak, tapi dia tak bisa menemukan kata-kata lain.
Saverio, yang melihat angka itu, merasa tangannya gemetar. "Nak, i-ini... kau serius?"
Reixa mengangguk sambil tersenyum manis. Lalu, dia mencondongkan tubuhnya ke telinga Saverio dan berbisik pelan. "Om, cairkan cek ini, lalu pergi dari kota ini. Beli rumah kecil di pedesaan, hiduplah dengan tenang. Anggap saja ini investasi. Aku pasti akan mencarimu di masa depan."
Saverio menatap gadis kecil itu dengan tatapan heran bercampur bingung. "Tapi—"
Reixa menyelanya. "Nggak usah tapi-tapian, Om. Keluarga ini nggak aman untukmu. Aku sudah hidup terlalu lama dengan mereka, dan aku tahu persis apa yang akan terjadi. Percayalah, lebih baik Om pergi."
Di tengah suasana tegang itu, Nyonya Ophela hanya bisa menatap tak percaya, sementara Alarick seperti sedang menahan diri untuk tidak meledak. Reixa, di sisi lain, tersenyum lebar dengan wajah puas. Badai kecil itu baru saja menghantam keluarga Mareha, dan tidak ada yang tahu apa yang akan ia lakukan selanjutnya.
"Reixa, ini bukan lelucon!" bentak Alarick, nadanya terdengar sangat marah. Tangannya mengepal, jelas berusaha keras menahan emosi. Namun Reixa hanya tertawa kecil, tidak menunjukkan rasa takut sama sekali.
"Paman, tenang saja. Uang itu kan kecil dibandingkan seluruh kekayaan keluarga ini. Kalau Paman mau, aku bisa menyumbangkan sebagian untuk membeli otak baru bagi Paman," ucapnya santai sambil mengayunkan kakinya seperti anak kecil yang sedang bermain.
Nyonya Ophela mengetuk meja keras-keras, membuat suasana menjadi lebih tegang. "Reixa, kau tidak tahu sopan santun! Siapa yang mengajarimu berkata seperti itu?!"
Reixa memutar matanya, lalu mendekatkan diri ke Saverio yang tampak canggung. "Nenek, sejak kapan aku belajar sopan santun dari keluarga ini? Kalian semua hanya tahu cara menginjak orang lain. Bukankah aku hanya belajar dari kalian?" jawabnya sinis.
Saverio merasa atmosfer ruangan semakin menyesakkan. Dia tidak tahu harus berkata apa, tapi satu hal yang pasti: gadis kecil ini sangat cerdas, dan tajam. Lebih dari yang dia bayangkan.
"Reixa, kau membuat semua orang di sini malu!" seru seorang pria dari sudut ruangan, salah satu paman Reixa. Wajahnya merah padam, tapi Reixa bahkan tidak melirik ke arahnya.
"Om, tenang saja. Kalau malu, cukup tutup muka pakai topeng, kan selesai. Kalau masih malu juga, ya, pindah planet aja," ucap Reixa dengan nada malas, membuat beberapa orang di sana terperangah.
Saverio akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. "Reixa, mungkin kita bisa bicara di tempat lain? Aku rasa ini bukan tempat yang tepat untuk membahas semua ini."
Namun Reixa malah tersenyum manis ke arah Saverio. "Om, jangan khawatir. Aku sudah terbiasa dikelilingi orang-orang seperti mereka. Lagipula, ini juga bagian dari pelajaran untuk mereka. Biar mereka tahu bagaimana rasanya berada di bawah."
Ophela berdiri dengan wajah merah padam, menunjuk ke arah Reixa dengan gemetar. "Kau! Gadis kecil tak tahu diri! Aku seharusnya tidak membiarkanmu tinggal di sini sejak awal!"
Reixa hanya tersenyum santai, lalu memeluk Saverio erat-erat. "Kalau begitu, Nenek boleh usir aku sekarang. Aku sudah siap dengan koperku. Aku akan pergi bersama Om Saverio."
"Kau pikir aku bercanda?! Kau tidak akan punya tempat untuk kembali kalau keluar dari sini!"
Reixa menatap neneknya dengan pandangan tajam. "Lebih baik hidup di jalanan daripada di rumah yang penuh dengan kemunafikan."
Suasana menjadi sangat hening. Saverio ingin sekali menghilang dari situasi ini, tetapi tatapan penuh keyakinan Reixa membuatnya tetap bertahan. Dalam hatinya, dia tahu bahwa gadis kecil ini membawa luka yang sangat dalam, dan dia tidak bisa begitu saja meninggalkannya.
Nyonya Ophela akhirnya menjatuhkan dirinya kembali ke kursi dengan wajah letih. "Baiklah. Tapi jangan harap aku akan mengakui kebodohanmu ini nanti."
Reixa tersenyum menang, lalu menggenggam tangan Saverio. "Om, ayo pergi. Kita punya banyak hal yang harus disiapkan."
Saverio tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti: gadis kecil ini baru saja memulai langkah besarnya untuk membebaskan diri dari lingkaran keluarga yang toxic.
"Jangan lupa, jadikan Saverio ini sebagai waliku, ya," ucap Reixa ceria sambil tersenyum lebar ke arah Alarick dan Nyonya Ophela. Nada suaranya yang ceria justru membuat semua orang semakin geram, seolah-olah gadis kecil itu sedang bermain-main dengan nyawa mereka.
Saverio, yang sejak tadi merasa seperti tokoh figuran dalam drama absurd ini, langsung menatap Reixa dengan panik. "Tunggu, tunggu, tunggu! Apa maksudnya ini?" tanyanya bingung sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Om jadi wali aku. Gampang, kan?" jawab Reixa santai, seperti sedang membahas sesuatu yang sangat sepele. "Om sudah baik hati melindungi aku dari kebisingan keluarga ini. Jadi, kenapa nggak sekalian jadi waliku? Daripada Paman Babi Hutan itu, lebih baik Om, kan?"
Alarick langsung berdiri dengan wajah memerah, menunjuk Reixa dengan kesal. "Reixa! Jangan bicara sembarangan! Wali itu bukan cuma soal siapa yang lebih baik atau tidak. Ada tanggung jawab besar di baliknya!"
Namun Reixa hanya memutar matanya dengan malas. "Iya, Paman. Aku tahu kok. Justru karena itu aku mau waliku seseorang yang benar-benar peduli. Bukan orang yang cuma bisa marah-marah kayak Paman."
Saverio mengangkat kedua tangannya, mencoba menghentikan percakapan yang mulai memburuk ini. "Reixa, dengar... Aku bukan siapa-siapa. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi di sini. Lagipula, menjadi wali itu—"
"Om, tenang aja. Aku bakal bantu Om. Toh, aku yang bakal urus semuanya. Om cuma tinggal tanda tangan beberapa dokumen aja," sela Reixa dengan nada santai. "Jangan khawatir, aku nggak akan bikin Om repot."
Ophela menatap Reixa dengan penuh amarah. "Kau benar-benar kurang ajar! Kau tidak tahu apa-apa soal hidup, tapi sudah berani mengambil keputusan seperti ini?!"
Reixa berdiri dari tempat duduknya, menatap neneknya dengan penuh keyakinan. "Aku tahu cukup banyak, Nek. Aku tahu kalau aku tidak mau hidup dengan orang-orang yang hanya peduli pada uang dan status. Kalau menjadi wali berarti membebaskan aku dari semua ini, maka aku akan memilih Saverio."
Saverio ingin berbicara, tapi kata-katanya tertahan saat melihat tatapan serius Reixa. Gadis kecil itu mungkin terlihat ceria dan sembrono, tetapi ada luka mendalam di balik matanya. Dia benar-benar ingin keluar dari kehidupan ini, dan dia melihat Saverio sebagai jalannya.
"Kalau begitu, aku harus bicara dengan pengacara keluarga," ucap Reixa santai sambil menepuk pundak Saverio. "Om, siap-siap ya. Kita bakal tandatangan dokumen-dokumen itu dalam beberapa hari ini."
Saverio hanya bisa menghela napas, menyadari bahwa hidupnya baru saja berubah total.