Vino Bimantara bertemu dengan seorang wanita yang mirip sekali dengan orang yang ia cintai dulu. Wanita itu adalah tetangganya di apartemennya yang baru.
Renata Geraldine, nama wanita itu. Seorang ibu rumah tangga dengan suami yang cukup mapan dan seorang anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Entah bagaimana Vino begitu menarik perhatian Renata. Di tengah-tengah kehidupannya yang monoton sebagai istri sekaligus ibu rumah tangga yang kesehariannya hanya berkutat dengan pekerjaan rumah dan mengurus anak, tanpa sadar Renata membiarkan Vino masuk ke dalam ke sehariannya hingga hidupnya kini lebih berwarna.
Renata kini mengerti dengan ucapan sahabatnya, selingkuh itu indah. Namun akankah keindahannya bertahan lama? Atau justru berubah menjadi petaka suatu hari nanti?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Sisi Liar
Namun akal sehat segera menyelamatkannya dari situasi yang tidak semestinya ini. Renata segera tersadar. Ia menarik tangannya lepas dari tangan Vino dan segera membuka kunci apartemennya.
"Mbak, saya boleh minta tolong?" tanya Vino.
Renata pun kembali menoleh pada Vino. "Minta tolong?"
"Iya, Mbak. Bisa dateng ke apartemen saya sebentar?"
Vino pun melangkah menuju apartemennya sambil menatap Renata, berharap ia bisa menolongnya.
"Sebentar aja, Mbak," mohon Vino di ambang pintunya.
Renata pun dengan enggan akhirnya mengikuti Vino yang memasuki apartemennya.
Di dalam, Vino berjalan menuju dapurnya. Ia menunjukkan sebuah alat penanak nasi pada Renata. "Jujur, saya kurang paham gimana cara pakenya. Bisa gak, Mbak Renata bantu saya?"
"Bukannya ada buku petunjuknya ya?" tanya Renata berusaha terdengar dingin.
"Gak tahu kemana. Ini saya beli kemarin pas mau pindahan dan gak tahu kemana buku petunjuknya. Mungkin ilang pas saya beres-beres."
Renata pun menatap penanak nasi otomatis itu. Ia memerhatikan tombol-tombolnya, ia langsung tahu bagaimana cara kerjanya karena mirip dengan yang ia miliki di rumah. "Kamu tinggal pijit ini terus ini," ucapnya memberitahukan cara kerja penanak nasi itu kepada Vino.
"Oh gitu, jadi seudah itu tinggal nunggu mateng aja? Dia bakal bunyi kalau nasinya udah mateng?" ulang Vino.
"Iya. Masa kamu gak bisa sih bikin nasi pakai ini?" Renata masih berpikir Vino ini hanya akal-akalan Vino agar bisa berkenalan dan mengobrol dengannya.
"Aku emang gak tahu, Mbak. Aku gak pernah masak nasi sebelumnya," jujur Vino.
"Jadi selama ini kamu cuma tahu makannya doang?"
Vino terkekeh seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gitu deh."
Tiba-tiba musik yang memang Vino putar sejak mereka memasuki apartemen itu beralih dan memutarkan lagu dari salah satu musisi dunia Charlie Puth. "Kamu dengerin Charlie Puth juga?" tanya Renata.
"Iya. Charlie Puth, Shawn Mendes, The Weeknd, banyak."
Renata mengangguk paham. Selera musiknya ternyata begitu sama dengannya. Berbeda dengan sang suami yang lebih menyukai musik-musik musisi Indonesia zaman dulu.
"Mbak Renata suka juga?"
"Iya. Aku lebih suka musik luar sih dibanding musik dalam negeri."
"Wah? Sama dong."
Mereka pun larut dalam obrolan mereka mengenai musik dan merambah ke film yang ternyata selera film mereka pun sama, sama-sama lebih memilih film hollywood dengan genre action atau thriller. Makanan favorit mereka pun sama, makanan yang bercita rasa pedas dan asin.
Seketika wajah jutek Renata di awal sudah tak terlihat lagi. Mereka malah mengobrol dengan begitu akrabnya. Sesekali Renata bahkan tertawa mendengar ocehan Vino.
Ternyata Vino adalah orang yang supel dan humoris.
Tiba-tiba Renata tersadar. Tidak seharusnya ia berada di sini di saat ia harusnya membereskan rumah.
"Kayaknya aku harus pulang. Tadi aku nitipin Nathan di rumahnya Deva, buat masak dan beres-beres rumah. Malah keasyikan ngobrol." Renata pun bangkit dari sofa ruang tengah di unit apartemen itu.
"Gak nyangka ya selera kita banyak yang sama. Ya udah kalau gitu, makasih ya Mbak, maaf kunjungan pertama Mbak Renata ke apartemen aku malah gak disuguhin apa-apa."
"Gak apa-apa kali, Vin. Nyantei aja. Ya udah ya, aku pamit."
Renata pun berjalan menuju pintu keluar dan saat menggerakkan handle pintu, ternyata pintu itu tidak bisa dibuka. "Loh, pintunya kenapa?"
Vino hanya terdiam di posisinya menatap Renata yang sedang mencoba membuka pintu.
"Duh iya, kata orang yang sebelum kamu tinggal di sini, pintu ini emang agak bermasalah. Pengelolanya lupa kali ya benerin pintunya," gerutu Renata masih mencoba membuka pintu itu.
Vino pun akhirnya menghampiri Renata. Tak sengaja keduanya secara bersamaan menggenggam handle pintu hingga tangan Renata dan Vino kembali bersentuhan.
Renata menoleh ke arah kirinya dan melihat Vino berdiri tepat di belakangnya. Wajah Vino ada begitu dekat dengan wajahnya. Nafas Renata tiba-tiba menderu. Kedua matanya tertuju pada bibir merah muda Vino yang begitu dekat dengannya.
Lalu tanpa Renata sadari, satu tangan Vino sudah berada di salah satu pipinya.
Renata salah tingkah. Mencoba untuk menghindar dari situasi itu, Renata membalikkan badan menghadap Vino dan menghempaskan tangan Vino dari pipinya.
"Mbak cantik. Sampai-sampai aku gak bisa berhenti lihatin Mbak Renata sejak pertama kali ngelihat Mbak kemarin," jujur Vino membuat perasaan Renata semakin menggila.
"Ngomong apa sih kam..."
Kemudian tiba-tiba saja, Vino sudah mengecup pipi Renata. Seketika Renata terkejut bukan main.
"Vino...!" disentuhnya pipinya yang dikecup itu.
Vino tak mengatakan apapun, ia hanya menatap lekat wajah Renata. Menahan agar tak melebihi sekedar kecupan itu.
"Ini salah, Vin," sesal Renata dengan pundak yang naik turun karena nafasnya yang sudah tidak teratur karena satu kecupan itu.
Dan entah bagaimana Renata malah menatap bibir dan kedua mata Vino bergantian.
Mendengar kata itu yang berbanding terbalik dengan reaksi Renata, Vino justru terpancing untuk melakukan lebih. "Apa yang salah, Mbak?"
Diistirahatkannya kedua tangannya pada pintu di belakang Renata sehingga Renata terpaksa mundur hingga punggungnya menyentuh pintu. Kini kepalanya berada di antara kedua tangan Vino.
Renata merasa semakin terjebak.
"Kita gak seharusnya ada di apartemen kamu kayak gini. Berdua aja lagi. Terus maksud kamu apa sih? Kenapa tiba-tiba nyium aku? Dan tolong kamu menjauh dari aku!" bentak Renata dengan nada galak menyembunyikan rasa gugup dan berusaha tetap bersama logikanya.
"Bukan salah kita, Mbak. Tapi pintunya yang rusak. Kalau gak rusak, sekarang pasti Mbak udah keluar dari apartemen aku." Vino melakukan pembenaran.
Renata tak bisa menjawab. Ia sibuk meredam detak jantungnya yang menggila karena posisi Vino yang berbahaya ini. Namun lagi-lagi entah bagaimana hatinya menolak untuk menghindar. Padahal bisa saja ia mendorong Vino menjauh, memukulnya mundur, namun tidak ia lakukan.
Perlahan, sangat perlahan, Vino mendekatkan wajahnya pada Renata. Jantung mereka berdebar kencang sekali.
Terutama Renata. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Sisi liar di dalam hatinya begitu ingin merasakan bibir Vino yang ada di depannya itu berada di bibirnya.
Hingga tanpa sadar ia malah menutup matanya, seakan itu adalah izin bagi Vino untuk menciumnya.
Melihat Renata memberikannya lampu hijau, Vino pun semakin mendekat hingga bibir mereka pun bertemu, saling bersentuhan dalam diam.
semoga endingnya membahagiakan semuanya sich 🤭😁🤪
move on vino dari Rania 💪
lanjutin jaa Renata ma vino 🤭🤭🤭 situ merasa bersalah sdngkn suami mu sendiri dh selingkuh duluan 🙈😬😞😞