Laki-laki asing bernama Devan Artyom, yang tak sengaja di temuinya malam itu ternyata adalah seorang anak konglomerat, yang baru saja kembali setelah di asingkan ke luar negeri oleh saudaranya sendiri akibat dari perebutan kekuasaan.
Dan wanita bernama Anna Isadora B itu, siap membersamai Devan untuk membalaskan dendamnya- mengembalikan keadilan pada tempat yang seharusnya.
Cinta yang tertanam sejak awal mula pertemuan mereka, menjadikan setiap moment kebersamaan mereka menjadi begitu menggetarkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Evrensya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hujan Di Halte Bus (3)
"Baiklah. Aku akan membuka seluruh rahasia hatiku padamu. Tidak ada satu titik pun yang akan aku tutupi." Laki-laki itu semakin tak ragu membuka diri. Tidak ada salahnya kan untuk jujur pada gadis asing ini? lagi pula mereka hanya kebetulan bertemu dan pada akhirnya akan berpisah, kan? Jadi mari katakan saja semua yang bisa di katakan.
"Hubunganku dengan gadis itu sebenarnya tidak begitu dekat. Tidak ada interaksi yang berlebihan di antara kami meskipun tunanganku itu kerap menginginkan nya. Aku mungkin terkesan terlalu menjaga diri, aku tidak tau mengapa aku bertingkah seperti itu padanya. Aku hanya merasa itu adalah bentuk penghormatan untuknya. Selebihnya, aku pikir aku butuh waktu untuk menumbuhkan rasa. Tapi itu bukan point nya. Karena aku adalah tipe orang yang berkomitmen dengan sebuah hubungan. Aku rasa, itulah alasan mengapa aku merasa sangat putus asa ketika di khianati olehnya," ungkap laki-laki itu dengan sungguh-sungguh.
Anna menyimak dengan serius. "Aku mengerti maksudmu, tuan. Setelah di khianati, perasaan apa yang tersisa pada tunangan mu itu?"
"Aku masih tidak tahu pasti, hatiku terasa kosong. Aku tidak tau kedepannya, aku harus memperlakukan dia seperti apa. Saat ini aku hanya sedang berusaha membuang segala bentuk emosi buruk yang hendak menguasai hatiku, dan memulainya dari awal dengannya, mungkin untuk sementara waktu, itu adalah solusi yang terbaik. Tapi aku merasa menjadi manusia paling bodoh di dunia. Setelah semua yang mereka lakukan terhadapku, aku tidak bisa benar-benar membenci gadis itu dan juga orang-orang yang telah menyakiti ku." Ungkapnya melemah.
"Hatimu begitu murni, tuan. Aku menjadi rendah diri di hadapanmu, karna hatiku tidak se-lapang itu untuk menahan diri agar tidak membenci orang yang telah menyakitiku."
"Kau salah. Aku sungguh seorang pendendam, kebencian itu bukannya tidak ada sama sekali, aku hanya—tidak ingin memelihara nya. Karena itulah aku mengutuk diriku, mengutuk betapa lemahnya jiwaku." Ke- sepuluh jemari laki-laki itu menyilang, saling bertautan, ia semakin mempereratnya hingga menonjolkan ligamen yang melekat pada tulang. Jelas sekali ada tekanan emosi yang coba ia normalkan.
"Lalu, apa yang kau harapkan saat ini dari gadis itu? Apa kau senang dia pada akhirnya kembali padamu?" Anna mencoba mengeluarkan semua isi hati laki-laki yang terlihat sudah mulai berbicara nyaman dengannya.
"Kesenangan seperti apa yang kau maksud? Apakah aku harus merayakan kembalinya seseorang yang telah berkhianat? dia yang telah membuatku merasa tidak berharga dan putus asa, bahkan ketika aku merasa ingin mulai menyukainya dengan tulus."
"Kalau begitu apa tujuanmu datang ke tempat ini, apa yang kau cari, atau kau hanya sedang melarikan diri dari kenyataan yang pahit?" Anna semakin menodong laki-laki itu dengan sebuah senjata tanya untuk menumbuhkan benih rasionalitas nya yang seharusnya mengakar kuat di dadanya.
"Mungkin, aku datang untuk bertemu denganmu yang memaksaku menceritakan seluruh keluh-kesahku yang telah kehilangan arah, harus aku apakan diriku saat ini."
"Kau tidak berniat untuk bunuh diri kan?" Tanya Anna serius.
"Tadinya seperti itu," jawab laki-laki itu, enteng.
"Hey! Semesta akan menangis kehilangan manusia se-murni dirimu." Teriak Anna tak tertahan. Ia tidak bisa mengontrol nada bicaranya ketika mendengar pengakuan laki-laki di depannya ini yang memiliki niat seburuk itu.
Bibir laki-laki itu justru tergerak untuk tersenyum, namun di urungkan. "Tapi kau datang dan menyelamatkan ku dari pikiran buruk itu."
Anna menghela nafas puas. Kali ini ia merasa bangga karena tindakan nekatnya ini telah menyelamatkan nyawa seseorang. Sebuah kebanggaan yang tidak berlebihan, bukan?
"Tuan, dengar. Seperti halnya kejahatan yang bisa di lakukan secara bebas oleh seorang penjahat, maka kebaikan pun juga begitu. Tuan, kau jangan berfikir bahwa kebaikan itu terbatas jalannya. Tidak! Kebaikan dan kejahatan di berikan porsi yang sama, kebebasan yang sama untuk di lakukan. Jika kejahatan membuat manusia menjadi kuat, maka kebaikan pun memiliki hak yang sama untuk membuat manusia menjadi lebih berani. Bukankah begitu? Jadi yang sebenarnya membuat mu merasa lemah, tak lain adalah karena kau tidak mempercayai kebaikan yang ada dalam dirimu. Tuan, berani membantahku?"
Binar mata laki-laki itu memancarkan silau biru yang pekat dan dalam. Terdapat lubang kekuatan yang mulai tergali untuk menancapkan tiangnya yang kokoh. "Aku tidak akan membantah mu karena apa yang kau ucapkan itu benar-benar masuk akal."
Lalu Anna tidak membuang kesempatan itu untuk terus merasuki otak laki-laki itu dengan petuahnya. "Jadi, apa kau masih mengaku sebagai laki-laki yang lemah? Apa itu benar-benar pantas di rasakan oleh laki-laki perkasa seperti dirimu. O lihatlah, jika melihatmu sekilas, tentu saja membuat merinding karena betapa kekarnya dan tingginya tubuh yang kau miliki, tatapan yang setajam mata elang itu, cukup mengerikan. Juga wajah datar mu itu seolah bisa membekukan seluruh lautan."
"....."
"Tuan, kau sungguh bukan laki-laki yang lemah. Kau hanya terlampau bijaksana pada kehidupan. Dan kau tidak menyadari satu point utama dalam kebaikan, bahwa hanya kebaikan lah yang memiliki kebenaran, dan hanya pada kebenaran lah terdapat sebuah keadilan. Terkadang hidup bukan hanya soal kebijaksanaan, tapi juga menetapkan keadilan. Tolong, berbuat adil lah pada dirimu sendiri. Bukankah melawan bentuk kejahatan juga termasuk keadilan? Jadi memberikan hukuman setimpal pada orang-orang yang menyakitimu, bukanlah dosa."
"....."
"Tapi, kembali lagi. Semua adalah pilihan. Membalas atau memaafkan bukankah sama-sama bagusnya. Tapi, lebih dari pada keduanya, ada satu hal yang lebih baik, memutus rantai keburukan. Manusia di berikan kepekaan untuk menilai tingkah laku dan pola pikir orang lain, juga menganalisa apa yang sedang terjadi. Lalu bebas memilih tindakan apa yang akan di ambil sebelum semuanya menjadi lebih buruk. Ketika kau di bebaskan untuk membuat pilihan yang adil, mengapa memilih menjadi lemah dan berputus asa. Iya kan?" Kedua alis Anna bertautan, memastikan bagaimana reaksi laki-laki itu ketika mendengar ucapannya.
"Dan jangan bingung bagaimana harus menyikapi gadis tunanganmu yang kini kembali padamu setelah berkhianat. Bukankah yang terdekat adalah yang paling berbahaya. Kau bisa lakukan apapun padanya, baik itu berupa pembalasan ataupun mencoba untuk memaafkan. Apapun yang terjadi nanti, kiasannya adalah— musuhmu berada tak jauh darimu. Sesimpel itu kan?!" Anna pun menyelesaikan segala hal yang ingin ia ucapkan, seperti seorang motivator handal ia berorasi penuh energi.
Laki-laki yang sedang fokus menyimak setiap kata yang tercurah dari kedua bibir Anna itu pun membuang satu hembusan nafas lega. "Aku selama ini mencari-cari jawaban yang selalu aku pertanyakan dalam diriku, tapi ternyata kunci jawabannya ada padamu, nona." Ucapnya dengan nada bicara yang berat dan kuat, jauh berbeda dari sebelumnya. Bahkan pandangannya yang kini sedang berfokus kepada Anna pun menyala kuat, seumpama inti bumi.
"Kan sudah aku katakan, ketika kau menanyakan apa yang bisa aku berikan padamu, tadi. Nyatanya sudah kau dapatkan sekarang." Anna menyunggingkan senyum dengan tatapan sedikit menyombongkan diri.
"Terima kasih." Ucap laki-laki itu, parau.
Anna terbahak pelan sambil mengibas tangannya di depan laki-laki itu. "Tidak perlu mengatakan itu. Aku tidak akan membawa pulang sebuah kata yang membebaniku. Semua yang telah kita ucapkan di tempat ini akan lenyap bersama waktu yang akan berganti dari gelap ke cahaya pagi. Sebaliknya, apa kau mau dengar ceritaku juga?" tanya Anna.
"Iya silahkan, dengan senang hati," lelaki itu mengangguk pelan.
"Baiklah. Akupun tidak akan segan padamu."
"Ceritakan saja, aku siap mendengarkannya," ucap laki-laki yang kini merasa dadanya sudah plong, ringan dan kosong dari beban masalah yang awalnya terasa berat dan menggunung.
Anna menarik nafas dalam-dalam sebelum memulai kisahnya. Ia mencoba mengukuhkan hatinya sesaat agar tidak terlalu hanyut dalam kesedihan saat bercerita. Oke, aku siap!
"Sebenarnya, aku juga sedang kabur dari rumah ke kota asing ini, karena sebuah masalah yang seolah mendorongku untuk harus melarikan diri darinya. Baru saja sehari berlalu setelah hari kelulusan SMA ku, Ibuku langsung menjodohkan ku dengan pria tua berwajah mesum dengan rangkaian perhiasan emas berlian yang mengitari jari tangannya. Jelas sekali kalau Ibu ku hendak menjual ku pada pria kaya itu. Tapi sebagai seorang anak aku harus mengutamakan prasangka baik terlebih dahulu, jadi aku menyimpulkan bisa jadi aku salah mengerti maksud Ibuku."
"....."
"Mungkin saja Ibu ku hanya berpikiran instan, dengan cara menyerahkan aku ke tangan orang kaya, Ibu ingin aku memiliki kehidupan yang lebih baik demi masa depanku, tanpa perlu bekerja bersusah payah seperti dirinya. Meski begitu, jiwaku tetap memberontak, tidak menerima alasan apapun untuk membenarkan perjodohan ini. Aku sungguh tidak bisa menuruti kehendak Ibu untuk perkara yang satu ini."
"....."
"Jadi untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melawan Ibu dengan mengancam kalau aku lebih baik mati bunuh diri dari pada harus menikah. Tentu saja ucapanku itu membuat Ibu murka, mengeluarkan amarah besar yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Yang mana, jiwaku benar-benar tidak tidak mampu menampung amarah sebesar itu, hingga akhirnya aku nekat memutuskan untuk melarikan diri darinya."
"....."
"Kejadiannya pada suatu malam, Ibuku berubah menjadi aneh, terlihat seperti seorang psikopat. Ketika aku tertidur nyenyak setelah pertengkaran hebat pada siang harinya, malamnya Ibu tiba-tiba menyeret rambutku kuat-kuat hingga membuatku terbangun dengan rasa terkejut yang luar biasa ketika tubuhku terjatuh dari atas ranjang. Ibu membawaku menuju kamar mandi dengan posisi terseret di lantai, meskipun aku meronta tak ada gunanya, karena kekuatan Ibu lebih dari biasanya, sungguh sangat sakit seakan kepalaku hendak putus dari tubuhku."
"....."
"Di dalam kamar mandi, Ibu mulai menyiksaku dengan menelanjangi ku terlebih dahulu, lalu menenggelamkan ku pada bathtub yang telah terisi oleh air yang sangat dingin. Ketika kepalaku muncul di permukaan maka Ibu akan menekan nya lagi hingga menyentuh dasar bathtub. Dadaku serasa sesak oleh air yang masuk melalui hidung dan mulutku, kepalaku seolah akan meledak sebab oksigen yang sudah hampir habis."
"....."
"Setelah merasa puas melihat aku yang hampir mati, Ibu memukul punggungku secara membabi buta dengan tangannya, bahkan semua benda yang ada di kamar mandi itu mendarat di permukaan kulit punggungku. Aku terbatuk-batuk memuntahkan sejumlah air yang menghalangi jalur nafasku. Rupanya Ibu membantuku mengeluarkan air yang tersumbat di dada, menyelamatkan nyawaku dengan cara yang menyakitkan."
"....."
"Aku tidak mengerti maksud Ibu, aku di siksa sampai mau mati, tapi tak di izinkan untuk mati. Lalu setelah itu Ibu membawa dua buah pisau tajam ke hadapanku. Satunya dia berikan padaku, dan satunya lagi dia genggam erat di tangannya. Ibu mengatakan jika aku berani melukai tubuhku sendiri dengan pisau itu, maka Ibu akan melakukan hal yang sama pada dirinya. Bahkan jika aku berani bunuh diri, makan Ibu pun akan melakukan hal yang serupa juga. Jadi malam itu Ibu memberiku kebebasan untuk memilih, tetap hidup bersama atau mati bersama."
"....."
"Seketika, pisau yang ada dalam genggamanku jatuh begitu saja dari jemariku yang lemas. Tubuhku bergetar hebat, terguncang oleh perasaan sakit yang tak terhingga, ngilu, aneh dan mengerikan. Aku tidak tau bentuk perasaan macam apa itu, terasa lebih buruk dari kematian. Meski dalam hati aku sangat membenci Ibu, ternyata cintaku padanya jauh lebih tinggi dari yang aku tau. Sesakit apapun luka yang aku dapatkan dari Ibu, ternyata membayangkan luka yang sama menggores tangan Ibu itu rasanya jauh lebih menyakitkan. Aku pun menyerah, terserah Ibu ingin berbuat apa pada diriku, malam itu aku berjanji akan menyerahkan hidup dan matiku hanya untuk Ibu."
"....."
"Kemudian aku bertahan di dalam kamar ku selama lima hari untuk memulihkan diri, dan mengobati luka-luka ku seperti biasa. Tapi seperti tanpa simpati, Ibu selalu terdengar mengomeli aku dari luar sana, memintaku mengerjakan pekerjaan rumah seperti yang seharusnya, meski tubuhku sedang tak bertenaga dan menanggung rasa sakit yang masih tak berkurang. Sedangkan sekitar tiga minggu berikutnya aku akan di pertemukan kembali dengan pria yang berbeda, katanya dari negara timur sana."
"....."
"Sehingga aku sudah tidak tahan lagi. Bukan berniat untuk memberontak, tapi aku harus benar-benar pulih, jika ingin memenuhi tuntutan Ibu untuk tampil cantik paripurna saat pertemuan itu tiba. Dalam kondisi buruk seperti itu bagaimana mungkin aku bisa merealisasikan nya. Jadi aku memikirkan cara lain untuk mempercepat pemulihan ku dengan melarikan diri ke tempat ini. Aku butuh istirahat, butuh kekuatan lebih, untuk bertahan dalam kenyataan yang seperti di neraka."
"....."
"Jika menengok jauh ke belakang. Sejak kecil, Ibu membuatku merasa menjadi manusia yang tidak di inginkan di dunia ini, bahkan oleh Ibuku sendiri. Pandangan Ibu yang seakan ingin muntah setiap kali menatapku membuatku berpikir apa aku seburuk itu di mata Ibu? Aku selalu menanyakan pada diriku sendiri, sebenarnya apa salahku, sehingga Ibu begitu membenciku dan selalu mengkritik ku. Ketika mulai beranjak dewasa, banyak orang mengatakan aku cantik, tubuhku sexy, otakku cerdas, tapi semua itu seperti halusinasi yang tak berarti apa-apa bagiku. Aku kehilangan seluruh kepercayaan diriku. Bahkan ketika aku berdandan pun, aku melihat diriku di cermin seperti seorang penyihir buruk rupa."
"....."
"Dalam waktu yang lama, aku selalu mencoba menggali keindahan, kebaikan, dan kelebihan dalam diriku, untuk di berikan hanya untuk Ibu, untuk membuat Ibu senang dan mau menerimaku. Aku bekerja keras setiap hari untuk menemukan apa yang bisa aku berikan untuk Ibu, sesuatu yang berguna yang ada dalam diriku. Tapi aku selalu gagal, aku di hantui oleh pikiran bahwa aku tidak pantas memiliki semua itu, sebab Ibuku mengatakan bahwa untuk mati pun aku terlalu menyedihkan, apalagi untuk hidupku. Jadi, Ibu tidak menginginkan aku mengusahakan apapun, karna Ibu tidak membutuhkannya, yang Ibu butuhkan dariku hanyalah ketundukan semata."
"....."
"Memang ada banyak hal yang patut aku syukuri darinya, di balik memiliki Ibu yang kejam. Aku di berikan makan yang enak, pakaian yang indah, dan di izinkan sekolah di tempat yang bagus. Asal aku bertindak seperti boneka atau robot tak bernyawa, maka semuanya akan baik-baik saja. Walaupun ada banyak sisi dimana tanpa alasan yang jelas aku selalu menerima pelampiasan amarah dari Ibu, amarah yang entah datang nya dari mana. Dan sialnya, bisa-bisanya aku berfikir, mungkin dengan menjadi tempat pelampiasan, setidaknya aku sedikit berguna untuk Ibu. Setidaknya hidupku ada artinya bagi Ibu, ada tubuhku yang masih bisa di gunakan Ibu sesuka hatinya."
"....."
"Seperti itulah aku hidup. Dan aku tidak ingin menyerah meski nyawa di tenggorokan. Sampai titik terakhirku, aku harus berjuang sekuat tenaga. Bahwa kematian pun tidak akan membuatku takut."
Dada Anna bergetar menahan gejolak kesedihan ketika mengingat kejadian mengerikan minggu lalu serta perjalanan hidupnya yang begitu kelam. Ternyata menceritakan nya kembali seolah membongkar luka-luka yang telah berusaha ia kubur dalam-dalam. Bahkan rasa sakitnya pun tak berkurang meski hanya berupa kata-kata.
Laki-laki itu memperhatikan Anna dengan seksama seolah ikut hanyut dalam gejolak bathin yang di rasakan gadis pemilik wajah kecil nan oval itu.
Kali ini Anna memang tidak bisa menyembunyikan secara total ekspresi terlukanya, nampak dengan sangat jelas dari sudut matanya yang mengalirkan air bening yang hendak menetes jatuh. Anna mengerjap-erjap menahan air bening itu agar tidak tumpah. Pandangan yang memantulkan cahaya itu mendadak padam, air wajah yang penuh semangat itupun berubah muram. Anna mengigit bibir bawahnya dan meremas ujung dress-nya erat-erat. Mencoba menormalkan gejolak kesedihan yang memaksanya untuk runtuh.
"Jangan bersedih," lirih laki-laki itu lembut, matanya mengerjap lambat penuh arti.
"Apalah arti kesedihan pada jiwa yang telah mati." Sahut Anna. "Lalu apa kau tau?" Lanjutnya.
"Bagian paling lucunya adalah— setelah beberapa hari aku pergi, yang rencananya akan menetap disini lebih lama, mungkin sebelum hari H pertemuan perjodohan itu. Aku malah sudah tidak betah disini dan tak sabar ingin kembali ke rumah secepatnya, rumah yang memberikan aku begitu banyak luka dan rasa sakit, namun begitu candu. Apakah aku sudah tidak waras? Meskipun belum pulih sepenuhnya, aku merasa sudah siap menghadapi cerita selanjutnya yang telah menunggu ku. Jika perjodohan itu bisa membuat Ibu sedikit mengakui aku, melihatku dengan rasa senang, aku pasti akan melakukannya."
"....."
"Tapi aku pikir aku memiliki satu persamaan dengan Ibu ku. Ketika Ibu pergi meninggalkan aku dengan ancaman tak akan kembali lagi karna sudah tidak menginginkanku sebagai anaknya, nyatanya Ibuku pulang kembali. Lagi dan lagi, terus berulang seperti itu, dari sejak kecil hingga aku dewasa. Lucu memang, kenyataan bahwa aku dan Ibu tak bisa terpisahkan adalah fakta yang tak terbantahkan."
Anna mematung sebentar, pandangannya nanar menatap genangan air yang membuat gelombang kecil di depannya.
Laki-laki itu menganga dalam diamnya, tidak tau harus berkata apa untuk sebuah cerita yang begitu lekat dengan luka. Ia bahkan belum pernah mendengar sebuah kisah suram dari seorang anak manusia melebihi yang ia dengar dari gadis belia ini.
Laki-laki itu tiba-tiba merasa sesak, seperti sebuah ular berbisa yang mulai mematuk-matuk relung hatinya. Ia meremas Coat yang di pakainya dengan kuat, menahan aliran darah yang terasa mendesir mendidihkan kepalanya. "Andai itu aku, aku pasti akan menitikkan air mata kala bercerita, tapi gadis ini bahkan tak bergeming sedikitpun."
Laki-laki itu mencermati dengan mata basah setangkup wajah di depannya yang penuh duka, serta pandangan mata yang telah kosong. Hatinya begitu pecah, nyeri, amat sangat, menjulang menerobos air hujan yang masih turun dari langit, seolah benar-benar sedang mewakili jiwa yang terluka.
Meskipun rasanya ingin mendekap Anna ke dalam pelukannya teramat kuat, tapi laki-laki itu berusaha bersikap normal layaknya laki-laki dewasa. Karna ia tahu betul bahwa yang di butuhkan gadis ini tak lain hanyalah sebuah kekuatan, bukan rasa iba.
"Jadi apakah kau memutuskan untuk kembali adalah karna cinta? Cinta mu kepada Ibu mu yang membawa mu kembali sejauh apapun kau pergi, iya kan?" Suara laki-laki itu begitu serak.
"Yaah... Cinta selalu lebih besar dari pada amarah ataupun dendam. Aku rasa begitulah manusia yang bermartabat menjalani hidup," jawab Anna pelan dengan ekspresi yang tidak menampakkan se-gurat sedih meski di jiwanya menjerit kesakitan.
Lelaki itu manggut-manggut sambil tersenyum, ia sengaja memberikan senyuman itu untuk menguatkan Anna. "Ya, kau benar, kita adalah manusia yang bermartabat." Tangkasnya. Ia harus melakukan hal yang sama, seperti halnya gadis itu yang sebelumnya telah memberikan nya kekuatan dari kata-kata yang menampar logikanya. "Hei, kau tau? Aku sungguh kagum padamu," ungkap nya kemudian.
"Eh, apa?" Mata Anna membulat, meragukan apa yang baru saja di dengarnya.
mampir di novelku ya/Smile//Pray/