NovelToon NovelToon
Jejak Langkah Menuju Dunia

Jejak Langkah Menuju Dunia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: avocado lush

Dina, seorang pelajar dari kota kecil dengan mimpi besar, memiliki hasrat yang kuat untuk menjelajahi dunia dan mengembangkan diri. Ketika sekolahnya mengadakan lomba sains tingkat provinsi, Dina melihat ini sebagai kesempatan emas untuk meraih impian terbesarnya: mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke luar negeri. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dan di hadapkan pada saingan-saingan dari sekolah sekolah-sekolah elit, Dina tak gentar. Dengan proyek ilmiah tentang energi terbarukan yang dia kembangkan dengan penuh dedikasi, Dina berjuang keras melampaui batas kemampuannya

Namun, perjalanan menuju kemenangan tidaklah mudah. Dina Harus menghadapi keraguan, kegugupan, dan ketidakpastian tentang masa depannya. Dengan dukungan penuh dari keluarganya yang sederhana namun penuh kasih sayang, Dina berusaha membuktikan bahwa kerja keras dan tekad mampu membuka pintu ke peluang yang tak terbayangkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon avocado lush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Persimpangan

Pagi di Jatiroto kali ini terasa berbeda. Angin yang biasanya lembut kini bertiup kencang, menggoyangkan pepohonan di sepanjang jalan desa. Suasana yang tak biasa itu tampak selaras dengan hati Dina, yang saat ini terasa penuh dengan kegelisahan.

Dina menatap kincir angin kecil yang ia letakkan di halaman rumah, satu-satunya bentuk fisik dari proyek sains yang mengantarnya meraih penghargaan. Ia masih ingat betapa sederhananya ide awal itu: menggunakan tenaga angin untuk menggerakkan kincir yang terhubung ke generator kecil, menghasilkan listrik cukup untuk satu rumah di desa. Tapi sekarang, setelah penghargaan itu, Dina merasa proyek ini belum cukup. Bagaimana mungkin satu kincir sederhana bisa mengubah hidup masyarakat desa? Inovasinya, meskipun diapresiasi, masih jauh dari ambisinya untuk benar-benar membantu Jatiroto.

Di tengah kebimbangan itu, sebuah pesan dari Mira muncul di layar ponselnya: "Kamu udah siap? Beasiswanya deadline minggu depan, kan?"

Dina terdiam. Beasiswa. Kompetisi tingkat nasional. Semua itu terasa begitu nyata sekaligus menakutkan. Tenggat waktu sudah semakin dekat, dan dia masih merasa tidak siap. Proyek kincir anginnya, meski telah membawa penghargaan, tampak terlalu sederhana dibandingkan dengan ide-ide besar dari peserta lain yang sudah memiliki akses ke teknologi canggih.

Mira selalu menjadi sahabat setianya. Tapi akhir-akhir ini, Dina merasakan ada sesuatu yang berubah. Mira, meskipun masih sering mendukungnya, sepertinya mulai menjaga jarak. Dalam setiap obrolan mereka, Dina merasa ada sedikit kecanggungan, seolah Mira tak ingin membahas keberhasilan Dina terlalu lama. Ketika Dina menceritakan tentang beasiswa yang akan ia coba kejar, Mira hanya memberi tanggapan singkat, berbeda dari antusiasme yang biasanya ia tunjukkan.

Saat bertemu di sekolah, Mira duduk di sebelah Dina di kantin. Mata Mira tampak murung meski dia tetap tersenyum. "Jadi, gimana persiapanmu buat beasiswa itu?" tanya Mira sambil memainkan sendok di tangannya.

Dina menghela napas berat, menggigiti ujung pulpen yang sejak tadi digenggamnya. "Aku nggak tahu, Ra. Proyek kincir angin ini kayaknya nggak cukup buat bersaing sama peserta lain yang punya alat-alat lebih canggih."

Mira menatapnya, sedikit cemberut. "Kamu selalu mikir kayak gitu, Din. Dari dulu, kamu terlalu meremehkan dirimu sendiri. Padahal, proyekmu jelas punya dampak besar buat desa kita."

"Ra, masalahnya bukan cuma soal dampaknya. Ini soal teknologi juga. Kincir angin ini... masih terlalu sederhana. Cuma menggunakan tenaga angin buat memutar baling-baling dan menggerakkan generator. Aku nggak punya cukup alat buat bikin sistem penyimpanan listrik yang lebih efisien atau bahkan sensor otomatis untuk mengoptimalkan kinerjanya. Aku takut juri-juri nggak akan lihat ini sebagai sesuatu yang cukup inovatif."

Mira menunduk sejenak, wajahnya tampak berkecamuk. "Aku ngerti, Din. Tapi... kadang aku merasa kamu terlalu fokus sama hal-hal besar dan lupa sama apa yang udah kamu capai. Kamu lupa bahwa nggak semua orang punya kesempatan seperti kamu."

Dina tersentak. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba menyeruak dalam dirinya. "Maksud kamu...?"

Mira menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Aku seneng kamu dapet penghargaan itu, Din. Tapi... kamu juga harus inget bahwa nggak semua orang bisa punya kesempatan buat mengejar impian sebesar kamu. Mungkin aku cuma iri, aku nggak tahu. Tapi aku cuma pengen kamu sadar, kamu punya sesuatu yang banyak orang di desa ini nggak punya—kesempatan untuk melangkah lebih jauh."

Kata-kata Mira membuat Dina terdiam. Untuk pertama kalinya, dia menyadari bahwa ada ketegangan di antara mereka. Persahabatan yang selama ini selalu harmonis, kini tampak berubah, mungkin karena jarak yang tak disadari akibat perbedaan mimpi dan jalan yang mulai terbentuk.

Di tengah perasaan bersalah itu, Dina juga dihadapkan pada kenyataan lain: dia harus mengembangkan kincir anginnya dengan cepat jika ingin mengejar beasiswa. Waktu semakin mendesak. Dia harus menyelesaikan proposal dalam beberapa hari, dan inovasi harus ditunjukkan dengan jelas.

Dina pun memutuskan untuk pergi ke ladang tempat ia menempatkan prototipe kincir anginnya. Di sana, di tengah angin yang kencang, ia mengamati kincir tersebut berputar. Kincir ini memang bekerja, tapi masih jauh dari sempurna. Dina mulai merencanakan beberapa perbaikan. Dia ingin menambahkan sistem penyimpanan energi, sehingga listrik yang dihasilkan saat angin kencang bisa digunakan saat angin sedang lemah. Selain itu, Dina juga berpikir untuk menambahkan sensor yang dapat menyesuaikan kecepatan baling-baling sesuai dengan kekuatan angin, agar energi bisa dihasilkan lebih efisien.

Namun, semua itu butuh biaya dan alat yang lebih canggih—sesuatu yang tak mudah didapat di desa seperti Jatiroto. Ia merasa terjebak dalam keterbatasan, tidak tahu bagaimana caranya membawa ide-idenya ke tingkat yang lebih tinggi.

Saat malam tiba, Dina merenung di kamarnya, menatap langit-langit sambil mendengarkan suara angin yang terus berhembus di luar. Waktu semakin sempit, dan ia tahu bahwa proposal beasiswanya harus selesai segera. Tapi perasaan tertekan dan ketakutan akan kegagalan terus menghantuinya.

Ibunya masuk ke kamar, membawa segelas teh hangat. "Kamu nggak apa-apa, Nak? Ibu lihat kamu akhir-akhir ini kelihatan lebih murung."

Dina hanya tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa cemasnya. "Aku cuma... lagi banyak pikiran, Bu. Banyak yang harus disiapkan."

Ibunya menepuk pundaknya lembut. "Kamu tahu, Nak, setiap langkah kecil yang kamu ambil itu berarti. Kalau kamu merasa berat sekarang, itu karena kamu sedang menuju sesuatu yang besar. Jangan biarkan keraguan menghalangi langkahmu."

Kata-kata ibunya memberi sedikit ketenangan bagi Dina. Namun, beban tanggung jawab dan perasaan terjebak dalam keterbatasan masih menghantui pikirannya. Hari-hari ke depan akan menjadi ujian bagi dirinya—bukan hanya untuk mewujudkan proyek kincir angin yang lebih besar, tapi juga untuk menemukan kembali keyakinan dirinya yang sempat goyah.

Dina tahu bahwa ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga tentang keberanian untuk melawan rasa takut dan keterbatasan. Ia harus memilih—tetap di zona nyamannya atau melangkah keluar dan menghadapi ketidakpastian.

Di luar, angin terus berhembus kencang, seakan mengingatkannya bahwa waktu tak akan menunggu.

Langit Jatiroto masih cerah ketika Dina menatap prototipe kincir anginnya yang tergeletak di meja bengkel sekolah. Namun, sinar matahari yang hangat tidak mampu menghalau perasaan dingin yang menyelimutinya. Flywheel itu, yang seharusnya menjadi kunci dari inovasinya, kini tampak tak berfungsi. Dina menatapnya dengan mata yang berat, mencoba mencerna kegagalan ini. Bagaimana bisa dia memperbaikinya dengan waktu yang terus mengejarnya?

"Kenapa harus sekarang?" bisiknya, frustrasi.

Waktu seakan tidak bersahabat dengannya. Batas waktu beasiswa yang hanya tersisa dua minggu membuat kegagalan ini menjadi lebih menakutkan. Setiap detik terasa begitu berharga, tapi juga begitu menyiksa. Dia tahu, jika flywheel itu tidak bisa diperbaiki, impiannya untuk mendapatkan beasiswa mungkin hanya akan menjadi sekadar angan.

Saat Dina terdiam, pintu bengkel terbuka dengan suara berderit, dan Mira masuk dengan raut wajah prihatin.

"Dina? Kamu baik-baik saja?" tanya Mira sambil menghampiri.

Dina menarik napas panjang, berusaha menahan air matanya. "Flywheel-nya rusak. Aku nggak tahu bisa memperbaikinya tepat waktu atau nggak."

Mira duduk di sebelahnya, mencoba memberikan semangat seperti biasa, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Dina bisa merasakan adanya jarak di antara mereka—sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya.

"Aku yakin kamu bisa memperbaikinya," ucap Mira, meskipun terdengar agak ragu. "Kamu selalu bisa."

Dina menggelengkan kepala. "Tapi kali ini beda, Mira. Waktu kita hampir habis, dan aku nggak tahu apa aku bisa mengejar semua ini."

Kata-kata Dina menggantung di udara, dan untuk pertama kalinya, Mira terlihat tidak yakin. Ada sejumput keraguan di matanya, seolah-olah dia mulai mempertanyakan apakah Dina benar-benar bisa melakukannya. Dina merasakan tekanan dari tatapan itu, membuat kecemasan yang sudah mendidih semakin meledak.

"Apa kamu juga mulai meragukan aku?" tanya Dina, suara yang biasanya tenang kini bergetar dengan emosi.

Mira terlihat terkejut. "Bukan itu maksudku, Dina. Aku hanya... Aku khawatir kamu terlalu keras pada dirimu sendiri. Kita sudah bekerja keras, tapi kamu nggak harus memikul semuanya sendirian."

Dina menghela napas, tahu bahwa Mira benar. Namun, di dalam hatinya, perasaan gagal sudah merayap. Terlepas dari dukungan Mira, Pak Agus, dan keluarganya, Dina merasa beban tanggung jawab ini ada sepenuhnya di pundaknya. Ini bukan sekadar proyek—ini adalah masa depannya.

Malam itu, Dina pulang dengan kepala yang berat. Ketika dia duduk di ruang tamu bersama ibunya, mata mereka bertemu, dan Dina tahu bahwa ibunya sudah mendengar kabar tentang kerusakan pada proyeknya. Namun, seperti biasa, ibunya hanya tersenyum lembut.

"Kamu nggak perlu terburu-buru, Dina," kata ibunya dengan nada lembut yang biasa. "Jika kali ini belum berhasil, mungkin masih ada kesempatan lain."

Dina terdiam sejenak. Kata-kata ibunya, meskipun penuh penghiburan, terasa seperti pengakuan atas kemungkinan gagal. Dia tidak siap menerima itu.

"Bu, ini bukan soal kesempatan lain. Ini satu-satunya kesempatan untuk beasiswa itu. Kalau aku gagal, semua yang sudah kita kerjakan selama ini akan sia-sia," jawab Dina, dengan suara serak.

Ibunya mengangguk perlahan, seakan memahami tekanan yang sedang dirasakan oleh anaknya. Tapi sebelum ibunya bisa mengatakan lebih, Dina berdiri.

"Maaf, Bu. Aku harus ke bengkel lagi. Masih banyak yang harus diperbaiki."

Dia bergegas keluar rumah, meninggalkan ibunya yang memandangnya dengan tatapan yang tidak pernah lepas dari kekhawatiran. Dina tahu ibunya selalu ingin yang terbaik untuknya, tapi kali ini dia merasa ibunya tidak benar-benar memahami betapa pentingnya ini bagi masa depannya.

 

Di bengkel, Dina kembali fokus pada proyeknya. Dia tahu flywheel itu harus diperbaiki. Secara teknis, flywheel adalah elemen penting yang menyimpan energi kinetik dari angin untuk digunakan saat kecepatan angin rendah. Jika rusak, seluruh sistem kincir anginnya tidak akan berfungsi optimal. Dina mencoba membongkar bagian-bagiannya, mencari komponen yang mungkin bisa diganti atau diperbaiki.

Dia meraba-raba di dalam tumpukan alat, mengingat kembali pelajaran yang dia pelajari tentang cara flywheel bekerja. Flywheel menyimpan energi saat angin kencang dan melepaskannya saat angin melambat. Sistem ini memungkinkan kincir tetap bekerja stabil meski ada fluktuasi dalam kecepatan angin. Tapi kerusakan pada bantalan yang menopang flywheel membuatnya tidak bisa berputar lancar, mengganggu stabilitas energi.

Dina terus bekerja sampai larut malam, kehilangan jejak waktu. Dia hampir tidak mendengar langkah kaki Mira yang datang untuk kedua kalinya. Mira, meskipun terlihat lelah, kembali menemani Dina, kali ini tanpa kata-kata. Kehadiran Mira memberi Dina sedikit ketenangan. Mereka berdua duduk dalam kesunyian, membiarkan waktu berlalu sambil fokus pada flywheel yang terus mereka usahakan untuk diperbaiki.

 

Seminggu berlalu, dan beasiswa semakin mendekat. Dina berhasil memperbaiki flywheel, tapi waktu semakin menipis. Tekanan itu semakin nyata ketika Pak Agus mengingatkannya bahwa mereka harus mengajukan proyeknya ke dewan penilai dalam lima hari. Dina merasa seperti berlomba dengan waktu yang terus mendesaknya.

Mira semakin sering menemaninya di bengkel, tapi ketegangan di antara mereka mulai terasa lebih tajam. Ada kalanya Mira tampak ragu, tidak seperti dulu saat dia selalu optimis. Ini membuat Dina merasa lebih terisolasi, seakan-akan dia berjuang sendiri dalam perlombaan yang tidak mengenal belas kasihan. Namun, di dalam hatinya, Dina tahu bahwa Mira hanya mencoba melindunginya dari beban yang terlalu berat.

Pada akhirnya, setelah empat hari berturut-turut bekerja tanpa henti, Dina menyelesaikan perbaikan flywheel dan menyempurnakan seluruh sistem kincir anginnya. Dengan energi yang tersisa, dia menyempurnakan laporan teknisnya, menyiapkan presentasi, dan berharap ini cukup untuk mengesankan para penilai.

 

Dina menatap hasil kerjanya dengan perasaan campur aduk—antara bangga, takut, dan lelah yang mendera. Kini hanya ada satu hari tersisa sebelum proyeknya harus diserahkan. Dia tahu, besok adalah penentuan segalanya. Waktu terus berdetik, dan Dina hanya bisa berharap bahwa usaha kerasnya selama ini tidak akan sia-sia.

Bersambung.....

"Dan di sanalah mereka berdiri, di depan pintu dunia baru, tempat mitos dan kenyataan mulai bergabung—kayak teh campur kopi, nggak jelas tapi menarik! Setiap langkah yang mereka ambil nggak cuma bikin mereka lebih dekat ke jawaban, tapi juga ke pertanyaan yang bikin kepala pusing. Satu hal yang pasti: ini udah kayak makan keripik, sekali mulai susah berhenti. Selamat datang di kekacauan berikutnya!"

— Avocado Lush

1
Sisca Audriantie
good keren banget😊
avocado lush: terima kasih /Pray//Whimper/
total 1 replies
elayn owo
Gak bisa berhenti baca deh! 🔥
ADZAL ZIAH
semangat menulisnya ya kak ❤ dukung juga karya aku
avocado lush: makasih kak dukungan nya /Heart/ siap kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!