Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lapar di Tengah Kegelapan
Sudah sehari penuh sejak meteor menghantam bumi, meninggalkan kehancuran dan kegelapan yang pekat. Di seluruh dunia, orang-orang yang beruntung masih hidup di dalam bunker mulai merasakan dampak dari isolasi total—kegelapan yang menyesakkan, ketidakpastian yang mencekam, dan, yang paling menyakitkan, rasa lapar serta haus yang semakin sulit untuk diabaikan.
4.1. Kegelapan yang Menyiksa
Di bunker New York, suasana semakin mencekam. Setelah hantaman meteor kemarin, mereka semua terjebak dalam kegelapan. Generator cadangan yang mereka harapkan ternyata hanya mampu bertahan beberapa jam sebelum akhirnya benar-benar mati. Tidak ada listrik, tidak ada suara mesin, hanya keheningan yang menyesakkan.
"Sarah, aku lapar... dan haus," Maria, salah satu anggota tim, merengek dengan suara serak. Sejak kemarin, mereka hanya mendapat sedikit air dan hampir tidak ada makanan.
"Kita semua begitu, Maria," jawab Sarah sambil memeluk lututnya di sudut ruangan. "Kita harus menunggu... setidaknya sampai kita tahu aman untuk keluar."
"Tunggu? Berapa lama lagi kita bisa menunggu? Kita bahkan tidak tahu apa yang terjadi di luar sana!" seru Michael dari sudut lain ruangan. Dia berjalan mondar-mandir dengan gelisah, gerakan tubuhnya tampak gelap di balik bayang-bayang bunker.
"Kita tidak bisa keluar, Michael," balas Sarah, suaranya tegas. "Di luar sana penuh debu dan radiasi dari meteor. Itu bukan pilihan."
"Tapi kita akan mati di sini jika terus begini!" Michael berteriak, tinjunya menghantam dinding. "Aku tidak mau mati kelaparan dalam gelap!"
"Kita semua takut, Michael," tambah Sarah dengan nada lebih lembut. "Tapi yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah bertahan sedikit lebih lama. Kita harus percaya bahwa bantuan akan datang."
Namun, dalam hati kecilnya, Sarah juga tidak yakin. Tidak ada yang tahu apakah dunia luar masih bertahan atau sudah berubah menjadi neraka yang tak bisa mereka bayangkan.
4.2. Perjuangan untuk Air dan Makanan
Di bunker Paris, persediaan makanan dan air sudah semakin menipis. Jean dan Marie berusaha keras mengatur jatah makanan untuk para penghuni bunker, tapi semakin hari, tugas itu menjadi semakin mustahil.
"Jean, kita hanya punya cukup air untuk satu hari lagi," bisik Marie dengan nada khawatir. "Kalau tidak ada bantuan, kita akan kehabisan semuanya."
"Kita harus menghemat, Marie," jawab Jean dengan tenang meski terlihat jelas kekhawatiran di wajahnya. "Mulai sekarang, hanya setengah gelas air per orang setiap hari."
Marie mengangguk, meski dalam hati ia merasa putus asa. Bagaimana mereka bisa bertahan hanya dengan setengah gelas air di tengah keadaan yang sudah mencekik seperti ini?
Di sudut bunker, beberapa penghuni mulai ribut. "Ini tidak bisa diterima!" salah satu pria paruh baya berteriak. "Kita tidak bisa hidup hanya dengan setengah gelas air. Aku sudah lelah, lapar, dan sekarang hanya air sedikit? Kita pasti akan mati di sini!"
"Kita semua dalam situasi yang sama," jawab Jean dengan suara tegas. "Kalau kita ingin bertahan, kita harus mengikuti aturan."
Pria itu menggerutu, tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Tidak ada pilihan lain selain bertahan dan berharap.
4.3. Panik di Bunker Jakarta
Di bunker Jakarta, keadaan semakin memburuk. Oksigen mulai terasa menipis, dan tidak ada yang tahu berapa lama mereka bisa bertahan dalam keadaan ini. Ahmad mencoba menenangkan para penghuni yang mulai panik, tapi ketakutan menyelimuti semuanya.
"Air kita habis, Ahmad!" Rina, salah satu penghuni bunker, menangis tersedu-sedu. "Aku sudah minum sedikit kemarin, tapi sekarang tidak ada lagi. Bagaimana kita bisa hidup seperti ini?"
Ahmad menghela napas panjang, merasakan beban yang begitu besar di pundaknya. "Kita harus tetap tenang, Rina. Panik tidak akan membantu kita. Kita harus bertahan."
"Tapi sampai kapan? Kita semua akan mati di sini," suara Rina mulai naik, diikuti oleh teriakan beberapa penghuni lain yang mulai tidak tahan.
"Tenang! Aku tahu ini sulit, tapi kita harus bersatu," Ahmad berusaha menenangkan semua orang. "Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di luar sana. Kita harus tetap bersama dan menjaga kekuatan kita."
Namun, dalam hati Ahmad sendiri, ia juga merasa tidak yakin. Di dalam bunker yang gelap dan panas, tanpa makanan dan air yang cukup, mereka semua mulai kehabisan harapan.
4.4. Gelap Tanpa Harapan
Di bunker-bunker lain di seluruh dunia, situasinya tidak jauh berbeda. Di Tokyo, Hiroshi dan timnya telah kehabisan makanan sejak tadi pagi. Mereka hanya bisa mengandalkan air yang mereka kumpulkan dari kondensasi di dinding bunker, namun jumlahnya terlalu sedikit untuk dibagikan kepada semua penghuni.
"Kita harus keluar," salah satu rekannya, Kenji, berkata pelan. "Jika tidak, kita akan mati di sini tanpa pernah tahu apa yang ada di luar sana."
"Kau gila, Kenji?" Hiroshi balas dengan nada marah. "Di luar sana penuh radiasi dan debu panas. Kita bisa mati dalam hitungan menit jika keluar dari sini."
"Tapi kalau kita tidak keluar, kita juga akan mati!" Kenji bersikeras. "Aku tidak mau mati kelaparan!"
Mereka berdua saling pandang dalam keheningan yang menyesakkan. Tidak ada jalan keluar yang jelas, dan pilihan untuk tetap tinggal atau pergi tampak sama-sama berbahaya.
4.5. Ketakutan yang Menghancurkan
Kegelapan, rasa lapar, dan ketidakpastian mulai menghancurkan kondisi mental para penghuni bunker di seluruh dunia. Dalam bunker London, Jessica mulai merasakan efek dari ketakutan yang menghantui setiap detik.
"Aku tidak tahan lagi, Mark," katanya pelan sambil menangis di pelukan suaminya. "Aku lapar, haus... aku takut."
"Aku tahu, Jess," Mark menjawab dengan suara tenang, meski dalam hatinya juga tersimpan ketakutan yang sama. "Kita harus bertahan... sedikit lagi. Mungkin, hanya mungkin, ada harapan."
"Tapi apa yang bisa kita harapkan? Kita tidak bisa keluar, kita tidak bisa hidup di sini tanpa makanan dan air..." Suara Jessica semakin melemah, putus asa memenuhi setiap kata yang ia ucapkan.
Di sudut lain ruangan, beberapa penghuni mulai berdebat tentang bagaimana mereka bisa bertahan. Beberapa ingin keluar, meskipun itu berarti menghadapi debu beracun di luar. Yang lain memilih tetap tinggal, berharap ada keajaiban yang datang.
"Tidak ada jalan keluar," salah satu dari mereka, seorang pria tua, berkata dengan getir. "Kita sudah terjebak di sini. Ini adalah akhir."
4.6. Menunggu Kematian
Hari-hari berlalu dalam kegelapan yang tak berujung. Rasa lapar semakin kuat, tubuh-tubuh yang lemah semakin tak berdaya, dan harapan mulai hilang. Satu-satunya hal yang mereka miliki adalah waktu—waktu yang terus berjalan tanpa henti, menyeret mereka lebih dekat ke ambang kematian.
Di dalam bunker Paris, Jean dan Marie saling berpandangan dalam diam. Mereka tahu bahwa makanan dan air sudah habis, dan hanya waktu yang memisahkan mereka dari akhir yang tak terhindarkan.
"Kita sudah mencoba segala yang kita bisa," bisik Jean, suaranya penuh kesedihan. "Mungkin inilah akhirnya."
Marie hanya mengangguk, air mata mengalir di pipinya. Dalam hati, dia juga tahu bahwa harapan telah lama pergi, meninggalkan mereka dalam kegelapan yang tak berujung.
Begitulah, sehari setelah hantaman meteor, dunia yang dulu mereka kenal telah berubah selamanya—terperangkap dalam kegelapan, kelaparan, dan ketakutan yang mencekik. Tidak ada yang tahu kapan atau apakah mereka akan keluar dari kegelapan ini.