Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertanyaan yang Menghantui
Setelah hampir lima belas menit menatap kosong ke meja makan, Marsha akhirnya melangkah ke kamarnya. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban. Ia menimbang-nimbang perasaannya, mencoba memahami dorongan aneh dalam dirinya. Kenapa Sean mau menikahinya?
Selama ini, ia hanya menerima kenyataan bahwa pernikahan mereka terjadi karena keadaan. Namun, semakin hari ia tinggal di rumah ini, semakin besar keinginannya untuk tahu alasan di balik semua ini.
Ia membuka pintu kamar perlahan. Lampu utama sudah dimatikan, tetapi lampu tidur di sudut ruangan masih menyala redup, menciptakan bayangan samar di dinding.
Di sisi ranjang, Sean sudah berbaring dengan mata tertutup. Napasnya teratur, seolah sudah tertidur lelap. Entah kapan ia mulai tidur di ranjang, Marsha tidak mengingatnya.
Marsha menggigit bibirnya. Haruskah ia menunggu sampai besok? Namun, sebelum ia bisa memutuskan, suara berat Sean memecah kesunyian.
"Kamu cuma mau berdiri di sana?"
Marsha tersentak. Ia mengira Sean sudah benar-benar tertidur.
Pria itu membuka matanya perlahan, lalu menoleh ke arahnya. "Ada yang mau kamu katakan?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit serak, entah karena lelah atau kantuk.
Marsha menggenggam jemarinya sendiri, berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya memberanikan diri bertanya, "Kenapa kamu menikahi aku?"
Sean terdiam. Sorot matanya berubah, tetapi sulit ditebak. Beberapa detik berlalu sebelum ia akhirnya menarik napas panjang dan bangkit dari tidurnya. Ia bersandar pada kepala ranjang, menatap Marsha dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Apa ini baru mengganggumu sekarang?" tanyanya.
Marsha mengangguk pelan. "Aku cuma mau tahu," bisiknya, nyaris ragu apakah ia siap mendengar jawaban yang mungkin menyakitinya.
Sean tersenyum kecil, tetapi bukan senyum yang ramah. Ada sesuatu yang dingin di dalamnya.
"Kamu tahu alasannya, Marsha. Ini bukan tentang kita berdua, ini tentang bisnis keluargamu. Kamu menikah denganku karena keluargamu membutuhkan aku."
Marsha terdiam. Ia tahu itu. Ia sudah tahu sejak awal.
"Tapi kenapa kamu setuju?" lanjutnya, suaranya lebih pelan. "Kamu pria sukses, kamu bisa menikah dengan siapa saja. Kamu nggak perlu terikat dengan pernikahan seperti ini."
Sean menatapnya dalam, lalu tertawa kecil, tetapi tidak terdengar benar-benar bahagia.
"Kamu pikir aku menikahi kamu karena belas kasihan?" Sean tertawa kecil, tetapi tanpa kehangatan. "Jangan naif, Marsha. Aku punya alasan sendiri. Dan itu lebih rumit dari yang kamu bayangkan."
Marsha mengernyit. "Apa maksudmu?"
Sean tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya lama, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu.
Kemudian, ia berkata, "Karena aku mau membalas sesuatu."
Marsha semakin bingung. "Membalas?"
Sean kembali menyandarkan kepalanya ke kepala ranjang, menatap langit-langit kamar. "Ya, membalas sesuatu yang pernah terjadi di masa lalu."
Marsha menunggu, berharap Sean akan melanjutkan, tetapi pria itu hanya terdiam.
"Kamu nggak mau menjelaskannya?" tanyanya akhirnya.
Sean menoleh padanya, lalu tersenyum samar. "Tidak untuk saat ini."
Marsha mengepalkan tangannya. Ia tidak tahu apa yang lebih membuatnya frustrasi—jawaban Sean atau sikapnya yang seolah menikmati kebingungan yang ia rasakan.
"Apa itu ada hubungannya dengan aku?" tanyanya hati-hati.
Sean tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya dengan ekspresi sulit ditebak, sebelum akhirnya berkata pelan, "Mungkin."
Marsha mengembuskan napas keras. Ia merasa seolah sedang berbicara dengan teka-teki yang tidak bisa dipecahkan.
"Kalau gitu, aku akan menunggu sampai kamu mau memberi tahu," katanya akhirnya, suaranya terdengar sedikit lebih tegas daripada sebelumnya.
Sean hanya mengangkat bahu. "Terserah."
Setelah itu, ia kembali berbaring dan memejamkan mata, seolah percakapan mereka tidak pernah terjadi.
Marsha masih berdiri di tempatnya, menatapnya dengan campuran rasa frustrasi dan penasaran. Ada sesuatu di balik pernikahan ini yang belum ia ketahui. Dan ia bertekad untuk menemukan jawabannya.
Keesokan paginya, Marsha bangun dengan perasaan gelisah. Percakapannya dengan Sean semalam masih membebani pikirannya.
Saat ia turun ke ruang makan, ia melihat sarapan sudah tersaji dengan rapi. Pelayan rumah itu menyambutnya dengan sopan, seperti biasa. Namun, Sean tidak ada di sana.
"Di mana Pak Sean?" tanyanya pada pelayan.
"Pak Sean sudah berangkat kerja lebih awal, Bu," jawab pelayan itu. "Beliau menitipkan pesan agar Bu Marsha makan dengan baik sebelum pergi ke kampus."
Marsha hanya mengangguk pelan. Ia duduk di meja makan, menatap piring di depannya dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
Meskipun ia masih merasa terkekang dalam pernikahan ini, ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Sean tidak pernah benar-benar mengabaikannya.
Ia mungkin dingin, misterius, dan sulit ditebak, tetapi di balik semua itu, ada sesuatu yang belum bisa Marsha pahami. Dan ia tahu bahwa lambat laun, ia akan menemukan jawabannya.
...***...