NovelToon NovelToon
My Name Is Kimberly (Gadis Bercadar & CEO Galak)

My Name Is Kimberly (Gadis Bercadar & CEO Galak)

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Kantor / Epik Petualangan
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Andi Budiman

Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sopir Bajaj Dadakan

“Bapak ingat, ciri-ciri truk sampah itu?” tanya si pria.

Si pendorong gerobak mengerutkan dahi beberapa saat, lalu menjawab :

“Warnanya kuning, terus… mmm…”

“Plat nomornya, Pak?” desak si pria tak sabar, merasa dikejar waktu.

Si pendorong gerobak menggeleng. “Maaf, Pak, waktu itu saya sibuk ngelempar sampah ke dalam bak truk, jadi tidak sempat lihat platnya.”

“Ada ciri-ciri lain yang bisa Bapak ingat?” desak si pria lagi, terdengar menahan emosi.

“Oh iya Pak, warna peleknya beda sebelah kalau tidak salah. Eh, nggak tahu sebelah nggak tahu dua-duanya. Pokonya kalau yang saya lihat dari sebelah kanan, pelek depan warna silver, yang belakang tuh lain warnanya Pak, warnanya item. Ban serep kali Pak. Kayak jarang dicuci.”

“Ada lagi yang lain?” tanya si pria lagi, tak menyerah.

“Duuuh maaf Pak, hanya inget segitu.”

Si pria berpaling menghembuskan nafas, berusaha menenangkan diri. “Terimakasih informasinya, Pak,” pungkasnya.

“Sama-sama, Pak…” jawab si pendorong gerobak.

Si pria berpikir keras. Ia harus segera menyusul truk itu. Sialnya ponsel dan dompet ketinggalan. Ia mengintip jam tangannya. Sudah pukul delapan.

Si pria mengedarkan pandang ke sekitar tempat penampungan sampah itu. Sekitar sepuluh meter arah barat ia melihat sebuah bajaj kuning yang terparkir. Pengemudinya tak jauh, tampak melamun menyandar pohon.

“Terus gimana sekarang?” tanya Kimi.

“Kamu denger tadi kan? Sekarang kita segera pergi menyusul truk sampah itu ke Bantar Gebang!”

“Hah, beneran mau ke Bantar Gebang?”

“Exactly! Tidak ada pilihan lain! Tidak ada... pilihan lain!” tegas si pria, meluap-luap.

“Tapi Pak...,” Kimi mulai menyerah.

Si pria tak mempedulikan protes Kimi, ia bergerak menuju bajaj  yang terparkir itu.

“Tunggu, mau ke mana?”

“Apa lagi?” tanya si pria, tak sabar.

“Itu becak, belum dibayar!”

“Dompet saya ketinggalan,” bisik si pria.

“Duh, malu-maluin aja…” gumam Kimi.

Kimi melirik ke arah tukang becak.

“Pak, bayarnya nanti ya!” teriak si pria, tiba-tiba.

“Enak saja, sekarang dong Pak!” jawab si tukang becak.

Si pria bingung.

“Slengean banget sih jadi orang,” gumam Kimi.

“Apa kamu bilang?” tanya si pria.

“Sudah, biar saya saja,” Kimi mengambil alih.

Si pria terkejut. “Eh, kamu bawa uang?”

“Ya bawa lah!” jawab Kimi, jutek.

“Berapa?” bisik si pria.

“Empat ratus ribuan.” jawab Kimi, jujur.

Si pria mengangguk-angguk kemudian beralih ke pengemudi bajaj. “Bang, Bang, Bajaaaaj!” teriak si pria ke arah pengemudi bajaj yang tampak masih melamun menunggu penumpang.

“Siap Pak!” balas pengemudi bajaj.

“Tunggu dulu!” cegah Kimi.

“Apa lagi?” tanya si pria setengah menggeram.

“Kita kan belum cuci tangan. Jijik ih habis pegang-pegang sampah, masa mau langsung pergi gitu aja...”

“Nggak usah. Nggak ada waktu. Ayo buruan!”

“Nggak mau ah!” protes Kimi. Wajahnya memerah di balik niqab. Kimi mematung.

“Haduuuh,” si pria mengedarkan pandang ke sekitar. Tiba-tiba ia melihat sebuah mushola kecil.

“Tuh, cuci tangan di sana.”

“Bapak juga dong, emang nggak jijik apa?”

Si pria hanya diam saja sambil bersungut-sungut.

“Ayooo!” ajak Kimi. “Tunggu apa lagi?”

“Nggak!” tolak si pria dengan raut wajah congkak.

“Cuci nggak tangannya?” ancam Kimi.

“Cuma pegang plastik-plastik doang, nggak kotor,” protes si pria, mengerutkan alis.

“Cuci nggak? Kalau nggak, saya pulang nih! Siapa juga yang mau ngikutin orang jorok kayak gitu!” tegas Kimi.

“Oke, oke, ya ampuuun,” sahut si pria, menyerah.

Si pria cepat-cepat menuju mushola. Mushola kecil itu tampak kurang terawat. Beberapa gentengnya di bagian sudut sudah patah. Sebagian kayu-kayunya busuk dan berlumut.  Selain itu auranya lembab dan sepi.

“Sebentar ya Pak, saya cuci tangan dulu,” kata Kimi ke arah dua orang tukang becak yang masih menunggu.

“Iya Bu…” jawab si tukang becak.

Kimi menyusul si pria ke mushola. Setelah si pria selesai mencuci tangan, giliran Kimi.

“Sana kalau sudah, nggak usah deket-deket!” hardik Kimi dari dekat pancuran.

Si pria menjauh. Kimi melihat si pria melangkah bertelanjang kaki. Gadis itu baru menyadarinya lagi.

“Jangan terlalu jauh juga, serem tahu…” protes Kimi.

Si pria menahan kesal. Ia mendekat lagi, kemudian berdiam diri dalam jarak tiga meter.

Kimi mencuci tangan dengan teliti. Selesai menunggu Kimi, si pria bergegas kembali. Kimi mengekor di belakang lalu menghampiri tukang becak.

“Jadi berapa Pak?”

“Masing-masing lima belas ribu Bu, jadi semuanya tiga puluh ribu.” Jawab si tukang becak.

Kimi mengeluarkan tiga lembar uang sepuluh ribuan.

“Terimakasih ya Pak,” ucap Kimi.

“Sama-sama Bu.”

Beberapa detik kemudian bajaj kuning itu tiba.

“Mau kemana Pak?” tanya pengemudi bajaj.

“Ke Bantar Gebang, berapa?”

“Bantar Gebang?”

“Iya, berapa duit?”

“Jauh sih Pak, dua ratus ribu bisa lah, Pak.”

“Ya sudah, yuk cepetan berangkat, Bang!”

Pengemudi bajaj buru-buru memarkir bajajnya ke arah jalan menuju Bantar Gebang. Si pria buru-buru masuk ke dalam bajaj. Namun Kimi hanya berdiri saja di luar.

“Cepet masuk!”

“Nggak mauuu...” tolak Kimi.

Si pria menghembuskan nafas. Seolah mengerti, ia pun bertanya kepada pengemudi bajaj.

“Pak, ada bajaj satu lagi tidak?”

“Waduh nggak ada lagi Pak, yang lain sudah pada berangkat,” jawab pengemudi bajaj.

“Haduuuh... Ya udah gini aja, kalau saya sewa bajajnya boleh Pak? Saya aja yang bawa deh bajajnya.”

“Mmm… boleh sih, tapi harus kesini lagi ya, Pak,” sahut pengemudi bajaj.

“Oke, jadi berapa duit?” tanya si pria.

“Tiga ratus ribu deh, Pak. Bensin tanggung sendiri.”

Si pria melirik ke arah Kimi. Kimi mengerti, gadis itu segera mengeluarkan uang sebanyak tiga ratus ribu.

“Sekarang saya duduk di depan, kamu duduk di belakang, oke? Tidak ada tawar menawar lagi,” kata si pria kepada Kimi.

“Ya udah deh, nggak apa-apa,” jawab Kimi, setengah enggan.

Seorang ibu-ibu menggendong anaknya, tampak heran melihat ke arah situasi sekitar bajaj. Begitu pula si pemulung dan si pendorong gerobak tadi seolah terhipnotis oleh keributan.

Si pria segera masuk ke kursi kemudi disusul Kimi masuk ke kursi penumpang.

“Bapak bisa bawa bajaj?” tanya pengemudi bajaj.

Si pria melihat-lihat, tampaknya tidak jauh berbeda dengan motor. Hanya saja perlu sedikit penyesuaian.

“Cepat terangkan bagian-bagian yang penting!” pinta si pria tak sabar.

Pengemudi bajaj menerangkan dengan cepat bagian-bagian penting dalam mengemudikan bajaj.

Tak butuh waktu lama si pria mengerti. Ia sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk menghidupkan mesin, memindahkan gigi, melakukan pengereman, menyalakan lampu, mengisi bensin dan hal lainnya. Maka dengan segera bajaj pun melesat meski awalnya sedikit tersendat-sendat.

Langit Jakarta tampak berkilau di bawah terik matahari siang, menghangatkan jalanan yang padat dengan kemacetan. Di tengah kerumunan kendaraan yang nyaris tidak bergerak, bajaj kuning itu melaju dengan kecepatan tak wajar untuk kendaraan sekecil itu.

Si pria duduk di belakang setang. Ia yang biasa memegang setir mobil mewah kini harus bergelut dengan setang bajaj yang terasa asing di tangannya.

“Astaghfirulloohaladziim! Pelan-pelan dong Pak! Ini jalannya agak rusak. Kenapa Bapak malah ngebut kayak gini?” Kimi berteriak dari balik niqab-nya. Gadis itu duduk di kursi belakang, memegang erat-erat pegangan di sampingnya sambil berusaha tetap duduk tegak.

Dalam pikirannya, si pria sempat berandai-andai. Kalau saja ia tak buru-buru, mungkin ia bisa putar balik ke rumahnya membawa mobil. Lebih nyaman, lebih tenang, dan pasti lebih aman. Tapi, melihat padatnya lalu lintas, kini ia tahu keputusannya tepat. Bahkan boleh dibilang beruntung. Bajaj ini mampu mengatasi situasi itu.

“Pak, Pak! Pelan-pelan Pak!”

“Haduuuh, berisik banget sih! Kamu jangan ribut terus! Nggak tahu apa susahnya bawa bajaj ini?” sahut si pria, jengkel.

“Nah itu dia! Kalau susah, jangan ngebuuut!”

“Saya nggak ngebut, ini bajajnya aja yang kayak nggak punya mode pelan!” gerutu si pria dengan nada kesal, mencoba mengendalikan mesin bising kendaraan itu.

“Apa?” Kimi berteriak lebih keras, berusaha mengatasi deru mesin yang memekakkan telinga. “Bapak nggak bisa nyetir pelan atau gimana?”

Si pria mendengus, matanya fokus pada jalan di depan. Suspensi keras kendaraan mungil ini membuat setiap lubang kecil di jalan terasa seperti jurang yang dalam, dan setiap guncangan mengingatkannya bahwa bajaj ini jauh dari kenyamanan yang biasa ia nikmati.

“Lagian kalau saya pelan-pelan, kita malah akan kejebak di sini! Kamu nggak lihat ini mulai macet? Saya harus bisa memanfaatkan setiap celah!”

“Setidaknya, kita nggak akan terlempar keluar kalau Bapak nyetirnya lebih santai!” balas Kimi sambil mencoba menyesuaikan posisinya di kursi yang berguncang hebat.

Si pria merasa darahnya mulai mendidih. Ini bukan pertama kalinya ia merasa terdesak dalam situasi tak terduga, tapi kali ini berbeda. Bajaj ini, dengan segala keterbatasannya, benar-benar sukses menguji kesabaran dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan.

“Dengar, saya tahu ini nggak nyaman, tapi kita harus cepat sampai di Bantar Gebang. Itu intinya. Kalau saya lambat, mungkin sepatu saya sudah terkubur dalam gunungan sampah, paham?”

“Tapi nggak harus segini cepat juga!” Kimi masih berusaha mempertahankan keseimbangan. “Ini jalanan, bukan trek balap!”

Si pria menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya lalu menyahut :

“Saya sudah tahu, tak usah nasihati saya! Dengar ya, ini sudah usaha terbaik. Camkan itu! Lagi pula, kamu pikir siapa yang mau sewa bajaj kalau bukan dalam keadaan darurat?”

Kimi sedikit kesal. “Dan siapa sangka juga orang super kaya seperti Bapak, bisa tiba-tiba nyetir bajaj ugal-ugalan seperti ini?”

Si pria tidak menjawab, hanya menggerutu dalam hati. Bajaj ini memang jauh dari segala kenyamanan yang ia kenal, tapi anehnya, ada sedikit rasa bangga yang muncul setiap kali ia berhasil menyalip kendaraan yang terjebak dalam kemacetan. Si pria tersenyum kecil. Ia tak menyangka, ternyata ada sederet keunggulan di balik kesederhanaan kendaraan kecil ini.

Ketika melalui jalanan yang sedikit lengang dan halus Kimi mulai tenang. Namun, ketika si pria berusaha bermanuver di  belokan tajam, Kimi berteriak lagi.

“Astaghfirulloohaladziim! Hati-hati Pak! Paaaak…!!!! Saya nggak mau mati konyol di siniiii!”

Si pria mendesah. “Tenang saja, saya jamin, kita akan sampai dengan selamat. Ya… kalau ternyata nanti memar-memar sedikit, anggap wajar saja lah.”

Kimi memelototi punggung si pria. “Awas kamu ya!” gumam Kimi, sambil mencoba menyesuaikan diri dengan guncangan yang terus-menerus.

Tiba-tiba si pria bermanuver lagi, dan tak ada pilihan bagi Kimi selain kembali berteriak.

Di antara keluhan dan protes Kimi, si pria berusaha menenangkan diri. Ini bukanlah medan yang biasa ia hadapi, tapi ia tahu satu hal: dalam setiap tantangan, ada pelajaran yang bisa dipetik.

Meski bajaj ini tidak sehalus mobil-mobil mewah yang biasa ia kendarai, mungkin inilah kendaraan yang tepat untuk menembus segala hambatan hari ini. Dan meskipun ia tidak mau mengakuinya, ada sedikit rasa puas yang tumbuh setiap kali ia berhasil mengatasi rintangan di jalanan dengan kendaraan kecil ini.

Namun di salah satu ruas Jalan Ampera Raya, Bajaj kuning itu tiba-tiba tersentak dan berhenti mendadak di tengah jalanan padat. Mesin yang semula berderak-derak percaya diri sekarang terdiam, seolah menyerah pada beban perjalanan yang terlalu berat.

“Kenapa berhenti?” Kimi bertanya dengan nada panik, matanya melirik ke arah si pria yang terlihat cemas.

“Saya tidak tahu,” jawab si pria, sambil berusaha menghidupkan mesin lagi.

Ia memutar kunci, mencoba beberapa kali, tapi bajaj itu tetap diam tak bergerak. Suara klakson dari kendaraan di belakang mulai terdengar, tanda protes dari pengemudi lain yang terganggu.

“Kita harus pinggirin bajaj ini,” ujar si pria dengan nada putus asa.

Keduanya turun dari bajaj dan bersama-sama mendorong kendaraan itu ke tepi jalan. Keringat mulai mengucur di dahi si pria, sementara Kimi tampak semakin cemas.

Setelah berhasil meminggirkan bajaj, si pria memeriksa bensin. Bensin masih ada. Kemudian ia mencoba memeriksa mesin. Mungkin ia akan melihat keanehan pada mesin tua itu yang patut dicurigai.

1
MUSTIKA DEWI
Cerita nya bagus👍👍👍
jangan lupa mampir, ya di cerita ku
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!