NovelToon NovelToon
TUMBAL RUMAH SAKIT

TUMBAL RUMAH SAKIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Tumbal
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Pita Selina

Sebuah pembangun rumah sakit besar dibangun depan rumah Gea, Via dan Radit. Tiga orang sahabat yang kini baru saja menyelesaikan sekolah Menengah Kejuruan. Dalam upaya mencari pekerjaan, tak disangka akhirnya mereka bekerja di rumah sakit itu.

Sayangnya, banyak hal yang mengganjal di dalamnya yang membuat Gea, Via dan Radit sangat penasaran.

Apakah yang terjadi? Rahasia apa yang sebenarnya disembunyikan para author? Penuh ketegangan. Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pita Selina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Masakan Ibu

"Jadi aku harus mengisi lima belas soal matematika ini tanpa melihat contoh, Bu?" ucap Radit terkejut.

Nilai matematikanya buruk sekali. Jika ingin nilainya baik, Radit harus melakukan remedial.

"Tentu saja ... kalau kau tidak mahu, tidak apa-apa. Itu semua hanya opsional. Namun taruhannya nilai rapotmu merah," ucap Bu Hasni, guru matematika.

Radit menoleh ke arahku. "Bagaimana dengan nilai Gea dan Via? Apa nilai mereka aman?"

Bu Hasni melihat data di laptopnya. "Gea dan Via, ya?" Ia men-scroll mencari namaku dan Via. "Kalian ... nilainya aman, delapan puluh delapan."

Hatiku begitu lega. Raut wajah Via denganku begitu sumringah, berbeda dengan Radit yang terus meminta tolong dan memelas.

"Jadi bagaimana Radit? Apa kau akan memperbaiki nilaimu?" tanya Bu Hasni.

Sepertinya tak ada alasan lagi untuk Radit mengelak.

"Iya ... saya akan memperbaikinya, Bu."

"Baik ... Via dan Gea silakan keluar. Untuk Radit, saya tak akan beri waktu, selesaikan sampai selesai."

****

Radit keluar dari ruangan. Sepertinya kepalanya telah mengeluarkan asap, wajahnya pucat dan tak bersemangat.

"Sudah? Terlihat dari wajahmu kau telah menyelesaikan semua soalnya," ejekku.

"Kau lama sekali ... aku dan Gea menunggumu hingga menjadi basi," timpal Via seraya tertawa.

"Sudahlah! Tak usah banyak tanya. Mari kita pulang, aku ingin merebahkan tubuhku segera," ketus Radit seraya berjalan.

"Guru bahasa Indonesia dan bahasa inggris mencarimu, katanya kau belum menyelesaikan tugas-tugasmu?" ucapku, membuat langkah Radit terhenti.

"Arghh!" Radit mengacak-acak rambutnya.

****

Sedari tadi, aku dan Via terus mengoceh.

"Sudah kubilang, dahulu saat semuanya sibuk dengan tugas kau malah bermain-main. Sekarang semuanya sudah bersantai, kau yang sibuk," ujarku.

"Hidupmu memang penuh penyesalan, Radit. Sudah kubilang ini, itu, harus begini, harus begitu ... kau tetap pada pendirian payahmu itu," timpal Via.

"Terus bagaimana?" melas Radit.

"Ya terus aku dan Via harus bagaimana?" timpalku. "Aku dan Via tak mungkin membantumu menghapal biografi tokoh terkenal, apalagi dalam bahasa inggris. Itu hal yang mustahil kecuali memang kau berniat ingin menghapalnya."

"Untuk kali ini saja ... niatkanlah sedikit untuk dirimu. Kerjakanlah dengan maksimal. Aku da Gea tak akan selalu membantumu. Kau ini ... inginnya instan, belajar tak mau, menghapal tak mau, tetapi ingin ranking satu!"

"Apa aku menyogok saja? Kuberikan uang pada Bu Ulfah."

Satu pukulan melayang pada leher Radit.

PLAKKK

"Kalau kau selalu seperti ini ... bagaimana nanti ketika kau harus survive di dunia pekerjaan? Tak mungkin kau akan mencontek temanmu setiap Ia melakukan sesuatu," kesal Via.

"Heran ... sikapnya selalu saja seperti itu."

Tak terasa, kami sudah sampai di pertigaan jalan dekat dengan rumah. Kami menatap gedung yang banyak sekali tukang proyek sedang merenovasinya.

"Sepertinya gedung itu akan di bangun kembali," ucap Radit.

Via menimpal. "Iya ... kira-kira akan dibuat apa ya?"

"Ya sudah ... kita pulang saja, tubuhku sudah lelah. Kita lihat saja nanti ketika sudah selesai di bangun."

Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Matahari sedang berada di atas kepala. Pada pukul itu cocok sekali untuk merebahkan diri.

"Kita tidak akan bermain?" tanya Radit, ketika aku dan Via hendak sampai rumah.

"Cuaca panas seperti ini, lebih baik kupilih merebahkan diri saja. Kau saja sana main sendirian. Memalaskan," ketus Via seraya membuka pintu gerbangnya.

"Bye Radit, sampai jumpa nanti," pamitku.

****

Kubuka pintu rumah. Suasana sejuk menyapa tubuhku.

"Gea pulang," ucapku.

Ibu keluar dari dapur. Melihatku raut wajahnya berubah menjadi senang. "Eh anakku sudah pulang ... bagaimana hari ini? Semuanya berjalan lancar?"

"Ya Ibu ... aku dan Via tak ada nilai yang harus diperbaiki, kecuali Radit. Dia terlalu santai untuk itu, jadinya ada tiga mata pelajaran yang harus Ia perbaiki."

"Anak itu ... Ia memang tak pernah serius dalam mengerjakan sesuatu. Ajak Ia untuk selalu melakukan yang terbaik, kasihan Ibunya."

"Pastinya Ibu ... aku dan Via selalu mengajaknya untuk melakukan hal positif."

"Ya sudah ... ganti baju dahulu, lalu makanlah. Ibu sudah memasak cumi hitam kesukaanmu."

"Baik Ibu."

****

"Hari ini tumben Ibu memasak cumi hitam ...."

Ibu memberikan nasi dan cumi hitam itu di alas makanku. "Makanlah yang banyak ... Pak Suripto baru saja pulang dari laut. Ia membawa beberapa ikan termasuk cumi ini. Lumayan, harganya jauh lebih murah dibandingkan di pasar."

"Terlalu banyak Ibu. Tak akan habis." Aku kembalikan nasinya separuh pada wadah nasi.

"Sudah ... habiskan. Pagi tadi kau belum sarapan, kan?" Ibuku mengembalikan nasinya. "Bilang pada Ibu kalau cuminya kurang. Sesudah itu, pergilah tidur."

"Baik Ibu. Ibu belum makan?" tanyaku.

"Ibu sudah makan. Makanlah, habiskan ... Ibu harus pergi ke warung depan untuk membeli bumbu dapur yang habis."

"Baik Ibu."

Kudengar Ibu sudah menutup pintu rumah. Termasuk suara geseran gerbang luar yang Ibu buka.

"Ya ampun ... masakan Ibu memang akan selalu menjadi juara, sampai kapanpun." Kuhabiskan makanannya hingga tak ada sisa sedikitpun.

Kuraih centong nasi. Kuambil lagi cumi hitam itu. Kusantap lagi, hingga habis.

Tak lama, aku menatap Ibu yang berjalan perlahan duduk kursi hadapanku.

Kumenoleh ke arah pintu luar. "Ibu? Ibu sudah pulang? Kapan Ibu kembali?"

Ibu tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya terdiam dan menatapku. Tatapannya begitu kosong.

Tiba-tiba suasana semakin mencengkeram. Nafsu makanku seketika hilang.

"Ibu sudah makan?" tanyaku.

Aku berusaha membuat Ibu menjawab pertanyaanku.

'Kok Ibu aneh ya?'

Tiba-tiba ... aroma anyir dan gosong tercium begitu menyengat.

Hidungku mengendus-endus. "Ibu menghirup bau ini tidak? Sepertinya ini bau dari cumi hitam ini ya?"

Wajah Ibu berubah menjadi sedikit tersenyum.

"Aroma apa ini, Ibu?" Kutatap wajah Ibu. Aku langsung menundukkan wajahku. "Sepertinya cumi ya."

"Bukan ... itu aku."

Aku langsung menatap Ibu.

Itu bukan Ibu. Tetapi wajah separuh itu! Kini Ia berada di hadapanku.

Sontak membuatku tercengang. Tubuhku kaku, sulit digerakkan.

"Kau memikirkanku ya ... aku di sini sudah bersamamu."

Mataku terbelalak. Tak sanggup untukku menutup mataku.

"Kau mencium aroma apa, Nak?" Senyumnya menyeringai. "Aroma wajahku yang masak, ya?"

Aku langsung berlari ke arah luar. Aku langsung meraih handle pintu. Namun, sulit sekali di buka.

"Tidak Ibu! Ibu! Tolong!" Aku terus berusaha membuka pintu. Kudobrak pintu tetapi lagi-lagi tak terbuka.

Aku langsung menoleh ke arah dapur. "Tidak! Jangan! Pergi! Aku tak pernah mengganggumu, kau jangan menggangguku."

Sosok itu mengintip dari pintu dapur.

Aku berusaha membuka pintunya lagi. "Ya tuhan tolonglah aku!" ucapku.

"Ya tuhan tolonglah aku."

Suara itu terdengar persis di belakangku. Kumenoleh dengan perlahan.

Wajah itu mendekat ke arahku dengan cepat seraya berkata. "Ya tuhan tolong aku, Ya tuhan tolong aku."

1
Rena Ryuuguu
Sempat lupa waktu sampai lupa mandi, duh padahal butuh banget idung dipapah😂
Hafizahaina
Ngakak sampe perut sakit!
sweet_ice_cream
🌟Saya sering membawa cerita ini ke kantor untuk membacanya saat waktu istirahat. Sangat menghibur.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!