NovelToon NovelToon
Bumiku

Bumiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Spiritual / Kutukan / Kumpulan Cerita Horror
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: LiliPuy

bumi yang indah dan tenang seketika berubah menjadi zona tidak layak huni.
semua bermula dari 200 tahun lalu saat terjadi perang dunia ke II, tempat tersebut sering dijadikan tempat uji coba bom atom, sehingga masih terdapat radiasi yang tersisa.

selain radiasi ternyata itu mengundang mahluk dari luar tata Surya Kita yang tertarik akan radiasi tersebut, karena mahluk tersebut hidup dengan memakan radiasi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Persiapan penduduk kota reksa

Toni berdiri di pinggir jalan, matanya menyapu kerumunan penduduk kota Reksa yang bergerak cepat.

Setiap orang berjalan dengan tujuan, seperti pasukan yang bersiap menghadapi perang. Dengar! Suara gerobak menggesek tanah, tumpukan kantong beras bertumpuk di belakangnya. Dia merasakan ketegangan di udara, seperti listrik sebelum badai.

“Ini aneh,” gumam Toni, berusaha memahami situasi.

“Anak itu, Toni, kamu sudah merasakan getarannya?” Mela, tetangga sebelahnya, mendekat, napasnya sedikit terengah-engah. “Ada sesuatu yang tidak beres.”

Toni mengangguk, berusaha menyembunyikan kekhawatirannya. “Mereka semua tampak panik. Apa yang sebenarnya terjadi?”

“Coba lihat, mereka mempersiapkan semua ini, seolah akan ada sesuatu yang besar,” jelas Mela, matanya membulat lebar. “Lihat si Parman, dia selalu tahu hal-hal yang tidak kita ketahui.”

Dengan lamat-lamat, Toni mengikuti arah pandang Mela. Parman, lelaki tua berambut putih seperti salju, tengah memberi instruksi kepada sekelompok orang. Tangannya melambai, suara beratnya menggelegar di tengah kegaduhan.

“Aku pernah mendengar cerita tentang danau itu,” Mela membisikkan, menatap Toni lebih intens. “Mereka bilang ada sesuatu yang hidup di dalam sana.”

“Cerita-cerita mitos,” Toni membantah, tetapi suara Parman yang merdu mengalihkan perhatiannya.

“Malam ini, kita harus berkumpul di balai desa!” seru Parman, menatap kerumunan yang kini terhenti mendengarnya. “Kita harus bersatu. Tidak ada tempat untuk ketakutan!”

“Kenapa harus berkumpul? Apa yang kita hadapi?” salah satu warga berteriak. Suaranya tegang, penuh ketidakpastian.

“Dari danau, suara aneh datang. Kita tidak bisa mengabaikannya,” kata Parman. “Dulu, saat aku masih muda, suara-suara itu mengubah segalanya.”

“Dan kita tidak bisa bertindak sembrono. Kita perlu mempersiapkan diri!” saran Mela, meyakinkan Toni.

“Persiapkan diri untuk apa?” Toni berusaha bersikap tenang, tetapi hatinya berdebar.

“Untuk segala kemungkinan. Kita tidak tahu apa yang akan datang dari sana. Sesuatu yang aneh, Toni!” Mela menjawab, ekspresinya serius. “Jangan bilang kamu tidak merasakan hal itu?”

“Kita harus pergi ke balai desa, Toni!” Mela menggenggam tangan Toni. “Kamu tidak bisa hanya diam saja!”

“Kalian semua ini gila!” teriak salah satu pria dari kerumunan, amarahnya menjalar. “Semua ini cuma kebohongan!”

Toni melihat sekeliling, wajah-wajah gelisah mengalir dari sudut ke sudut. “Tapi... apa yang akan kita lakukan di sana?” tanyanya, tampak ragu.

“Dengan berkumpul, kita memperkuat diri. Itu yang terpenting,” Mela menjawab, menatap Toni dengan tatapan serius. “Lagipula, kita harus menghadapi apa pun yang ada di luar sana.”

“Tidak ada yang perlu dihadapi jika kita tidak percaya,” jawab pria itu, mulutnya kaku menahan ketakutan yang jelas ada di matanya.

“Aku tahu tidak semua orang mempercayai mitos, tetapi apakah kamu ingin menunggu sampai terlanjur terlambat?” Parman kembali bicara, matanya tajam menargetkan setiap penduduk. “Kita masih punya waktu. Kita harus mempersiapkan diri!”

Toni mengalihkan pandangannya, melihat burung-burung yang lepas terbang di langit senja. Selesai sudah, sebelum dia berbicara, kerumunan berhamburan ke arah tempat berkumpul. Suara langkah kaki menggema, disertai bisikan ketakutan.

“Mari, Toni!” Mela menariknya.

Perasaannya cemas, tetapi ada dorongan untuk mengikuti. Mereka melangkah bersamaan menuju balai desa, tujuan yang semakin dekat namun hawa ketidakpastian mulai menjalari udara.

“Bagaimana jika kita benar-benar menghadapi sesuatu?” Toni bertanya, berusaha mengumpulkan keberanian.

“Kalau terjadi, kita terlindungi saat bersatu,” Mela meyakinkan, pandangannya mengunci pada wajah Toni. “Kalau kita bersatu, tidak ada yang bisa menghentikan kita.”

“Mudah sekali bicara. Tapi siapakah kita tanpa pembuktian?” kata Toni, dengan nada skeptis.

“Tapi kita bisa dan harus mempertahankan kota ini. Bukan hanya untuk diri kita, tetapi juga untuk generasi mendatang!” Mela bersikeras.

“Hentikan!” teriak pria itu lagi. “Aku akan pergi!”

Dia berbalik, melangkah cepat menjauh dari kerumunan, dan mengguncang suasana. Toni menarik napas dalam-dalam, merasa terpecah antara mengikuti arus atau tetap berada di jalurnya sendiri.

“Dia hanya terjebak dalam ketakutan,” sahut Mela, menepuk lengan Toni. “Kita jangan terpengaruh seperti itu.”

“Tapi, jika kita melindungi diri kita sendiri, bukankah itu lebih masuk akal?”

“Hanya sisa waktu yang kita miliki!” Mela menggenggam tangan Toni lebih erat. “Kita tidak bisa menunggu sampai saatnya. Kita harus melangkah!”

Dalam suasana tegang, langkah menuju balai desa terasa semakin dekat. Jarak semakin mengecil, di depannya terlihat ruangan besar dengan cahaya remang-remang di dalamnya, memberikan sedikit harapan di tengah ancaman yang tak terduga.

“Lihat!” Mela menunjuk ke arah kerumunan. “Mereka semua datang!”

Mela berlari lebih cepat, dan Toni mengikuti. Mereka melewati pintu yang terbuka, disambut oleh wajah-wajah khawatir dan suara bisik yang bergema. Parman berdiri di tengah, menguasai perhatian semua orang.

“Sebentar lagi kita akan berbicara,” Parman mulai, suaranya bergetar penuh kekuatan. “Saat kita bersatu, kita mengabaikan rasa takut, dan ketika itulah kita menemukan kekuatan.”

Toni merasa jantungnya berdegup kencang, sisa keraguan perlahan-lahan menguap. Dia tahu, malam itu akan membawa perubahan, entah dalam bentuk apa.

“Jadi, mari kita siapkan diri kita!” Parman melanjutkan, menyebarkan semangat di antara penduduk. “Kita harus bersatu!”

Ekspresi Toni tak lagi ragu. Dia akan berjuang untuk kotanya, untuk dirinya sendiri, dan untuk semua orang yang dicintainya. Malam panjang ini baru saja dimulai, dan dia tahu, semua harapan dan ketakutan akan terjalin menjadi satu.“Selamat datang, teman-teman!” Parman berseru, suara menggema dalam balai desa yang penuh sesak. Dia beranjak maju, melihat mata-mata cemas. “Kita mengumpulkan semua informasi, dan saatnya kita bertindak.”

“Informasi apa yang kamu miliki?” salah satu wanita bertanya, keraguan menyelimuti suaranya.

“Suara dari danau terus meningkat. Beberapa bersaksi melihat bayangan besar,” Parman menjelaskan, dan bisikan muncul di antara kerumunan. “Ini bukan saatnya kita berkelahi satu sama lain atau meragukan apa yang terjadi. Kita harus bersama-sama.”

“Siapa sebenarnya yang tahu apa yang ada di dalam sana?” Pria yang sama kembali bersuara, skeptis. “Jangan-jangan itu cuma ilusi.”

“Kalau bukan ilusi, kita harus bersiap!” gugat Mela, menatap tajam. “Bukan untuk menakuti diri kita, tapi untuk menjaga keluarga kita.”

“Aku tidak ingin berlarut-larut dalam kebodohan!” teriak pria itu, kemarahan terlihat jelas di wajahnya. “Bisa jadi semua ini hanya bunga mimpi!”

“Apakah kamu ingin menunggu sampai sesuatu terjadi?” Toni tiba-tiba berbicara, membangkitkan keberanian dari dalam dirinya. Semua wajah beralih menatapnya. “Biar apa pun itu, kita harus siap menghadapinya bersamaan!”

“Dan jika kita tidak siap, kita bisa kehilangan segalanya!” Mela menambahkan, energinya mengalir penuh semangat.

Suasananya mulai bergetar, berbagai kepala saling berangguk. Parman, melihat peluang, melanjutkan. “Benar! Jika kita bersatu dan siap, kita bahkan bisa menghadapi monster di dalam kegelapan!”

“Monster?” seorang ibu membisikkan, mata berkilau penuh ketakutan.

“Mungkin bukan monster,” Parman berusaha menenangkan. “Tetapi sesuatu yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Itulah sebabnya kita perlu membuat rencana.”

“Seperti apa rencana itu?” seseorang mengajukan pertanyaan, keinginan ingin tahu terpancar jelas di matanya.

“Pertama, kita perlu menjaga semua jalan menuju danau. Sekali mereka datang, kita tidak bisa membiarkan mereka kembali.” Parman menjelaskan dengan penuh percaya diri, “Mereka yang lebih dewasa akan menjaga jalan, yang muda harus membantu menyiapkan persediaan

1
mous
lanjut thor
Hikaru Ichijyo
Alur yang kuat dan tak terduga membuat saya terpukau.
Mưa buồn
Kalau lagi suntuk atau gabut tinggal buka cerita ini, mood langsung membaik. (❤️)
Jelosi James
Sukses selalu untukmu, terus kembangkan bakat menulismu thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!