"Papa tidak setuju jika kamu menikah dengannya Lea! Usianya saja berbeda jauh denganmu, lagipula, orang macam apa dia tidak jelas bobot bebetnya."
"Lea dan paman Saga saling mencintai Pa... Dia yang selama ini ada untuk Lea, sedangkan Papa dan Mama, kemana selama ini?."
Jatuh cinta berbeda usia? Siapa takut!!!
Tidak ada yang tau tentang siapa yang akan menjadi jodoh seseorang, dimana akan bertemu, dalam situasi apa dan bagaimanapun caranya.
Semua sudah di tentukan oleh sang pemilik takdir yang sudah di gariskan jauh sebelum manusia di lahirkan.
Ikuti ceritanya yuk di novel yang berjudul,
I Love You, Paman
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 4 - Aku yang dulu
Prolog
Saga adalah seorang pria yang hidup tertutup dan sebatang kara. Orang-orang yang tinggal di sekitar rumahnya tidak tahu awal mula bagaimana Saga bisa tinggal di sana.
Mereka hanya melihat Saga itu seorang pria lusuh dengan rambut sebahu yang menjalani hidupnya dalam kesunyian dan ketidakpedulian.
Sebenarnya, Saga adalah mantan narapidana anak. Saat berusia dua belas tahun, ia secara tidak sengaja mendorong teman sekelasnya dari atap sekolah hingga meninggal.
Saga yang dulunya tumbuh dalam keluarga yang kaya raya, dan berkehidupan mewah membuatnya mudah menindas orang lain. Ia tidak pernah menyangka bahwa suatu hari, tindakan sembrono itu akan membawa malapetaka besar dalam hidupnya.
Kecelakaan yang menyebabkan teman sekelasnya jatuh dari atap sekolah menjadi awal mula dari penderitaan Saga. Tekanan dari berbagai pihak, terutama serangan terhadap orang tuanya yang dipermalukan di depan publik, membuat Saga terpuruk dan trauma.
Di tambah, ia harus menjalani hukuman penjara anak selama lima tahun, merasakan dinginnya dinding penjara dan kerasnya kehidupan di balik jeruji.
Setelah keluar dari penjara, Saga tidak ingin tinggal bersama orang tuanya lagi. Ia merasa tidak pantas untuk kembali ke kehidupan mereka yang mewah dan nyaman.
Dengan beban masa lalu yang terus menghantuinya, Saga memilih kabur dan mencari jalan hidupnya sendiri. Ia menjauh dari segala kenangan buruk dan berusaha membangun kehidupan yang baru tanpa harus menghadapi tatapan kebencian dan rasa bersalah.
Saga memilih untuk hidup di pinggiran kota, jauh dari keramaian dan orang-orang yang mungkin mengenalnya.
Ia tinggal di sebuah rumah kecil yang terabaikan, dengan dinding-dinding yang mulai mengelupas dan halaman yang ditumbuhi rumput liar. Kehidupan yang keras dan penuh perjuangan membuatnya menjadi sosok yang terlihat tidak terurus dan tidak peduli pada sekitar.
Setiap hari, Saga mencari cara untuk bertahan hidup. Ia bekerja serabutan, melakukan pekerjaan kasar yang tidak memerlukan banyak interaksi dengan orang lain.
Kadang-kadang, ia memotong kayu di hutan, memulung barang-barang bekas, atau memancing di sungai kecil dekat rumahnya. Meski hidup dalam kesulitan, Saga merasa lebih baik daripada harus kembali ke kehidupan lamanya yang penuh dengan tekanan dan rasa bersalah.
Orang-orang di sekitar rumahnya melihat Saga sebagai sosok yang misterius dan menakutkan. Mereka tidak tahu bahwa di balik penampilan kasarnya, Saga merupakan anak dari keluarga kaya raya yang menyimpan luka mendalam dari masa lalunya.
Namun, ia selalu membatasi diri, tidak ingin bergaul dengan siapa pun, karena takut akan menyakiti orang lain lagi.
______________
Keesokan harinya, Lea berdiri di depan bak air dengan wajah cemberut. Air dingin yang mengisi bak itu membuatnya menggigil.
"Paman, airnya terlalu dingin, apa bisa dihangatkan?," tanya Lea dengan polosnya, dan dengan suara yang sedikit gemetar.
Saga menatap Lea sejenak dengan tatapan dingin. Dalam hatinya, ia bergumam, "Apa dia pikir sedang tinggal di rumah mewahnya? Merepotkan sekali."
"Hanya ada air dingin, mandilah dengan cepat," ucap Saga singkat lalu beranjak pergi, meninggalkan Lea yang masih menatapnya dengan kecewa.
Saga mulai menyiapkan beberapa peralatan untuk pekerjaannya hari itu. Ia mengatur kapak dan gergaji di tempatnya, memastikan semuanya siap.
Namun, saat hendak keluar rumah, bayangan masa lalu melintas di benaknya sehingga menghentikan langkahnya.
***
"Mama, Saga mau mandi pakai air hangat," rengek Saga kecil ketika seusia Lea, dengan wajah manja.
"Saga sayang... Pake air dingin aja ya... Gak baik jika keseringan mandi pakai air hangat," balas sang ibu dengan lembut, mencoba menenangkan anaknya yang mulai protes.
"Pokoknya Saga mau pakai air hangat," balas Saga kecil dengan nada semakin protes dan merengek lebih keras.
Dengan senyum lembut di wajahnya, sang ibu pun akhirnya menyerah dan menyiapkan air hangat untuk Saga kecil. Dengan wajah yang puas, Saga pun masuk ke dalam bak mandi dengan air hangat yang ia minta.
***
Kembali ke masa kini, Saga menyadari betapa berbedanya hidupnya sekarang. Dahulu, ia adalah anak yang manja dan selalu mendapatkan apa yang diinginkannya. Kini, ia harus berjuang sendirian, jauh dari kenyamanan dan kemewahan yang pernah ia rasakan.
Saga menghela napas panjang dan mencoba menyingkirkan bayangan masa lalu itu. Ia melangkah keluar rumah dan mulai menyalakan mesin mobil.
Beberapa saat kemudian, Saga kembali ke rumah untuk mengambil sesuatu. Ia melihat Lea masih berdiri di depan bak air dan belum mandi, dengan wajah yang tampak lebih pucat karena udara dingin pagi itu.
Saga mendekat lalu menatap Lea sejenak. "Kalau kamu tidak mandi, kamu akan kedinginan dan sakit," katanya dengan nada lebih lembut, meski tetap terdengar dingin.
Lea pun mengangguk pelan dan merasa sedikit terhibur dengan perhatian kecil dari Saga. "Baik, paman."
Selanjutnya, Saga beranjak ke dapur lalu mengambil panci besar dan mengisinya dengan air. Ia menyalakan kompor dan memanaskan air itu.
Saat air mulai mendidih, ia mencampurnya dengan air dingin di bak mandi hingga membuat airnya lebih hangat.
Lea menatap air di bak mandi dengan senyum kecil dan berbinar. "Terima kasih, paman," ucapnya dengan tulus. Sedangkan Saga hanya mengangguk singkat, lalu kembali ke pekerjaannya.
Beberapa saat kemudian...
"Paman! Paman! Baju Lea mana?," teriak gadis kecil itu dengan suara nyaring sehingga mengagetkan Saga yang sedang sibuk di dapur.
"Kenapa teriak?," tanya Saga dengan nada dingin seraya menghampiri kamar mandi.
"Baju Lea mana?," tanya Lea kembali.
"Pakai saja baju yang tadi," balasnya mudah, seolah itu adalah solusi yang paling logis.
"Masa pakai baju tadi, Paman, kan kotor," keluh Lea dengan bibirnya yang mengerucut.
"Di sini tidak ada baju anak kecil," jawab Saga seraya beranjak ke dapur kembali karena tidak ingin memperpanjang percakapan.
"Kalau tidak ada baju kan harusnya beli, biasanya mama juga sering beli baju buat Lea," gerutu Lea, dengan suara yang mulai merendah seiring dengan perasaan kecewanya.
Lea memegang bajunya lagi dan menatapnya sejenak. "Apa boleh pakai baju ini lagi? Kan kotor," ujarnya lirih, nyaris berbisik.
Namun, meski dengan perasaan tidak nyaman, Lea terpaksa memakai baju satu-satunya itu dan merapikan dirinya sebisanya. Ia melangkah keluar kamar mandi dengan langkah kecil, lalu mendekati Saga yang sedang duduk di meja makan.
"Paman, tolong sisirin rambut Lea," pinta Lea dengan polos, menatap Saga dengan mata besar dan belo yang penuh harap.
Saga terdiam sejenak, memandangi Lea yang berdiri di depannya dengan baju yang kotor dan rambut yang acak-acakan. Perlahan, ia mengambil sisir dari meja dan mulai menyisir rambut Lea dengan hati-hati.
Lea duduk diam, merasakan sentuhan lembut pada rambutnya. Meskipun Saga tidak pernah menunjukkan rasa peduli dengan cara yang jelas, saat ini Lea merasakan ada kehangatan yang mengalir melalui setiap gerakan Saga.
"Lea," panggil Saga pelan setelah selesai menyisir rambut gadis kecil itu. "Namamu Lea, bukan?" tanyanya.
"Iya, Paman," jawab Lea, matanya bersinar dengan bersemangat.
"Siapa nama ayah dan ibumu?" tanya Saga lagi.
"Papa Lea namanya Papa Evan, kalau mama Lea namanya Mama Deisy," jawab Lea dengan bangga juga dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
Saga mendengarkan Lea berceloteh tentang kedua orang tuanya. Ia merasakan sejumput nostalgia tentang keluarga yang pernah ia miliki. Lea melanjutkan celotehannya yang membandingkan penampilan ayahnya dengan Saga.