"Tarian di Atas Bara"
(Kisah Nyata Seorang Istri Bertahan dalam Keabsurdan)
Aku seorang wanita lembut dan penuh kasih, menikah dengan Andi, seorang pria yang awalnya sangat kusayangi. Namun, setelah pernikahan, Andi berubah menjadi sosok yang kejam dan manipulatif, menampakkan sisi gelapnya yang selama ini tersembunyi.
Aku terjebak dalam pernikahan yang penuh dengan penyiksaan fisik, emosional, dan bahkan seksual. Andi dengan seenaknya merendahkan, mengontrol, dan menyakitiku, bahkan di depan anak-anak kami. Setiap hari, Aku harus berjuang untuk sekedar bertahan hidup dan melindungi anak-anakku.
Meski hampir putus asa, Aku terus berusaha untuk mengembalikan Andi menjadi sosok yang dulu kucintai. Namun, upayaku selalu sia-sia dan justru memperparah penderitaanku. Aku mulai mempertanyakan apakah pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik, atau harus selamanya terjebak dalam keabsurdan rumah tanggaku?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bintang Ju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjadi Pelampiasan Kemarahan
Tubuhku masih terasa sakit setelah dipukuli oleh Andi, suamiku. Dia begitu marah dan tidak mau mempercayai penjelasanku, bahkan tanpa memberiku kesempatan untuk membela diri.
Andi pergi meninggalkanku di lantai dengan perasaan terluka dan putus asa. Aku menangis dalam keheningan, bertanya-tanya kapan semua ini akan berakhir.
Tak lama kemudian, Andi kembali dengan wajah yang masih menyiratkan kemarahan. Tanpa berkata sepatah kata pun, dia menatapku dengan tatapan penuh benci.
"Andi, kumohon, percayalah padaku. Aku tidak berbuat apa-apa, aku hanya di rumah," aku mencoba memohon sekali lagi, berharap bisa meraih hatinya.
Namun, Andi tetap tak bergeming. Dia seolah-olah telah kehilangan akal sehatnya, tergantikan oleh kecurigaan dan kecemburuan yang membutakan segala-galanya.
Tiba-tiba, Andi mendekati dan berjongkok di depanku. Matanya menatapku tajam, seolah ingin menghancurkan segala yang ada di dalam diriku.
"Kau pikir aku akan percaya omong kosongmu? Kau pasti mempermainkanku!" tuding Andi dengan nada menuduh.
"Apa sebenarnya yang kau inginkan dari laki-laki lain?". Tanya Andi marah.
"Andi, tolong hentikan tuduhan yang tidak berdasar kepadaku. Aku tidak sehina itu Andi. Percayalah". Kataku bermohon.
Aku semakin terdesak, tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan untuk meyakinkannya. Andi benar-benar telah berubah menjadi sosok yang asing bagiku.
Tanpa peringatan, Andi kembali mengangkat tangannya dan menamp4rku dengan keras. Aku terkejut dan terhuyung, air mata kembali mengalir deras dari mataku.
"Kau pantas mendapatkan ini! Dasar perempuan murahan!" hardik Andi penuh kebencian.
Setelah puas melampiaskan kemarahannya, Andi berdiri dan pergi meninggalkanku sendirian. Aku hanya bisa tergeletak di lantai, menangis dalam kesendirian.
Hati dan jiwaku seakan hancur. Aku tak menyangka Andi yang dulu kucintai bisa memperlakukanku dengan begitu kejam. Akankah semua ini berakhir? Apakah ini sudah akhir dari penderitaanku atau semua baru dimulai.
"Yaa Allah rasanya aku tidak mampu lagi. Dulu aku dimanjakan orang tuaku, mengapa sekarang aku diperlakukan seperti ini?". keluhku dalam hati.
***
Setelah Andi meninggalkanku sendirian dalam keadaan terluka, aku tergeletak di lantai dengan perasaan putus asa. Air mata tak henti-hentinya mengalir dari mataku, membasahi pipiku yang kini terasa perih.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Tubuhku sakit, tapi yang lebih menyakitkan adalah luka di hatiku. Andi, suamiku yang dulu kucintai, kini telah berubah menjadi sosok asing yang sulit kukenali.
Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki di luar. Seseorang tampaknya sedang melintas di dekat rumah. Tanpa berpikir panjang, aku mencoba untuk memanggil orang itu.
"Tolong! Tolong aku!" teriakku sekuat tenaga, meski suaraku terdengar lirih.
Untungnya, orang itu mendengar dan menghampiriku. Seorang wanita paruh baya, dengan raut wajah yang penuh keprihatinan.
"Ya Tuhan, apa yang terjadi? Kau terluka!" serunya panik.
"Kamu kenapa dek? Siapa yang melakukan semua ini? Kamu sendirian? Mana teman kamu?" Tanya wanita penuh keprihatinan.
Aku langsung menceritakan apa yang telah terjadi padaku. "Aku tinggal disini, bersama suamiku. Andi namanya. Dia yang telah memperlakukanku dengan kej4m seperti ini. Dia memukul1ku tanpa alasan yang jelas" Jawabku
"Terus dia kemana?" Tanya wanita itu lagi.
"Aku juga tidak tahu kemana dia pergi. Hampir setiap kali dia selesai memukul1ku, dia terus pergi entah kemana. Aku juga bingung dengan sikapnya. Meskipun tanpa salah apapun, aku dimarahi sampai dipukul1 seperti ini ". Kisahku pada wanita yang sebenarnya aku tidak begitu mengenalnya. Karena dia berasal dari kampung sebelah.
"Kumohon, tolong sampaikan pesan ini kepada ibuku. Katakan padanya agar dia datang kemari segera," pintaku dengan terbata-bata.
Wanita itu mengangguk dengan cepat,
"Baik dek. Kalau begitu mana alamat rumah ibu kamu?.
Lalu akupun mencatat alamat rumah dan pesan yang kuberikan tak lupa juga aku jelaskan secara detail posisi rumah ibuku. Aku berharap ibuku bisa datang dan menolongku dari situasi mengerikan ini.
"Tenang saja, aku akan segera menyampaikannya. Kau tunggulah, semoga ibumu cepat datang," ujarnya dengan penuh perhatian.
Setelah itu, wanita tersebut segera bergegas pergi, meninggalkanku yang masih tergeletak di lantai. Aku berdoa dalam hati, semoga ibuku bisa datang sebelum segalanya menjadi semakin buruk.
***
Tidak lama setelah aku menitipkan pesan untuk ibuku melalui orang yang kebetulan lewat, akhirnya ia datang.
"Tok tok tok".
Aku mendengar suara ketukan di pintu dan segera memanggil dari dalam.
"Ibu! Ibu, aku di sini!" Kataku cepat sebelum ibuku sempat mengucapkan salam.
Pintu terbuka dan tampaklah wajah ibuku yang penuh kekhawatiran. Ia segera berjalan cepat menghampiriku yang tergeletak di lantai dengan tubuh penuh luka.
"Ya Tuhan, anak ibu! Apa yang terjadi nak?" tanya ibu sambil membantuku berdiri.
Aku pun menceritakan semua yang telah dialami,
"Aku dipukul1 Andi bu". Kataku sambil menangis.
"Emang ada masalah apa sampai dia memukul1mu? Apa kamu yang belum bisa menjadi istri yang baik?" Tanya ibu sambil memegang kedua bahuku dan menatapku.
"Tidak ibu. Dia selalu seperti itu bu. Selama kami menikah, dia selalu marah tanpa sebab sampai main tangan seperti ini. Kadang dia menuduhku yang tidak-tidak. Kalau aku berusaha menjelaskan, maka dia akan semakin marah dan memukuliku". Keluhku.
"Jadi aku sendiri bingung menghadapi sikapnya itu bu". Kataku lagi.
Ibu mendengarkan dengan penuh kesedihan.
"Sudah, jangan menangis lagi, nak. Ibu di sini sekarang. Kamu yang sabar ya. Ibu yakin kamu pasti kuat dan pasti bisa melewati semua ini." ujar ibu sambil memelukku erat.
Aku pun menangis tersedu-sedu di pelukan ibu. Seluruh beban yang kusimpan seakan tumpah ruah, membasahi bahu ibu yang selalu menjadi sandaranku.
Setelah tangisanku mereda, ibu membantuku berdiri dan membawaku ke kamar. Ia membaringkanku di tempat tidur dan mengompres luka-lukaku dengan telaten.
"Tidurlah, nak. Ibu akan menemani di sini," kata ibu dengan lembut.
Aku pun memejamkan mata, membiarkan rasa nyaman dari kehadiran ibu membungkus seluruh tubuhku. Perlahan-lahan, rasa sakit dan perih mulai mereda.
Ibu duduk di tepi tempat tidur, mengelus rambutku dengan penuh kasih sayang. Aku merasa aman dan terlindungi di sisinya, seolah semua masalah kini bisa teratasi.
Dalam ketenangan itu, akhirnya aku terlelap. Ibu terus menemaniku, menjaga mimpiku agar tetap tenang dan damai. Setidaknya, di sini aku bisa menemukan sedikit ketenangan di tengah rumah nestapa ini.
***
Pagi menjelang, sinar matahari mulai menembus jendela kamar. Aku perlahan membuka mataku dan mendapati ibu masih setia menemaniku di sisi tempat tidur. Rasa lega memenuhi hatiku, setidaknya aku tidak sendirian menghadapi semua ini.
Tapi, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, aku mendengar suara pintu dibuka dengan kasar. Andi, suamiku, berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam menahan amarah.
"Apa yang kau lakukan di sini, hah?" bentaknya sambil menunjuk ke arah ibu.
"Kamu juga, siapa yang menyuruhmu memanggil ibumu datang kemari?".
"Jangan-jangan kalian sedang sekongkol mau melaporkan aku ke polisi ya?". Tuduh Andi.
Ibu langsung berdiri dan mencoba menenangkan Andi. "Tenanglah, Nak. Aku hanya ingin menjaga putriku yang terluka." Kata ibu dengan suara pelan. Berusaha untuk tidak terpancing emosi Andi.
Namun, bukannya mereda, kemarahan Andi semakin menjadi-jadi.
"Ini rumahku! Kau tidak berhak ada di sini tanpa izinku!"
Andi lalu berjalan ke arahku dan mencengkeram bahuku dengan kasar. "Dan kau! Apa yang kau lakukan sampai ibu datang kemari, hah?"
Aku tidak bisa menjawab, rasa takut membuatku terdiam. Ibu berusaha menarik Andi menjauh, tapi sia-sia.
"Jangan sentuh dia! Kau yang membuatnya begini, kan?" teriak Andi sambil mendorong ibu hingga terjatuh.
Melihat ibu terluka, amarahku pun meluap. "Hentikan, Andi! Jangan menyakiti ibuku!" teriakku sambil berusaha melindungi ibu.
Tapi Andi tidak mendengarkan. Ia malah semakin marah dan melampiaskannya dengan memukul dan menendangku. Aku tak berdaya menghadapi kemarahannya yang mengerikan.
Sekujur tubuhku terasa nyeri, darah mengalir dari luka-luka baru. Ibu berusaha menghentikannya, tapi Andi tak mengindahkannya.
Akhirnya, kegelapan perlahan menyelimutiku. Aku tak mampu lagi bertahan. Semua terasa begitu menyakitkan...
***
Setelah dihajar habis-habisan oleh Andi, aku tak ingat apa-apa lagi. Ketika akhirnya aku membuka mata, aku tidak lagi berada di kamar. Tubuhku dibalut perban dan aku berbaring di tempat tidur yang asing.
"Ibu..." panggilku lemah.
Ibu segera menghampiriku dengan wajah khawatir. "Nak, kau sudah sadar? Syukurlah..."
"Apa yang terjadi? Di mana aku sekarang?"
"Kau ada di rumah ibu, sayang. Setelah Andi menyakitimu, dan pergi meninggalkan mu, aku membawamu kemari. Aku tidak bisa membiarkanmu berada di sana lebih lama," jelas ibu dengan nada sedih.
Aku terdiam, mencoba mengingat kejadian terakhir. Bagaimana Andi yang marah besar atas kehadiran ibu dan melampiaskannya dengan kekerasan padaku.
"Ibu, maafkan aku. Gara-gara aku, ibu jadi terluka juga," bisikku dengan air mata mengalir.
"Sssh, jangan minta maaf, nak. Ini bukan salahmu," ujar ibu sambil mengusap rambutku lembut. "Aku yang seharusnya meminta maaf karena tidak bisa melindungimu."
Ibu menghela napas berat.
"Aku kecewa melihat sikap Andi. Aku tidak menyangka dia bisa sekejam itu padamu. Karena itu, aku memutuskan untuk tidak akan pernah kembali ke sana lagi." Ucap ibuku.
Mendengar itu, hatiku terasa tercabik. Aku ingin ibu selalu menjengukku, tapi aku juga tidak ingin kejadian itu kembali terulang di rumah neraka itu.
"Lalu, apa yang akan ibu lakukan sekarang?" tanyaku dengan khawatir.
Ibu menatapku dengan senyum sedih.
"Ibu hanya bisa mendoakan mu yang terbaik nak. Ibu tidak bisa kembali ke rumah kalian, sayang. Meskipun ibu juga tidak bisa tenang memikirkan kekerasan suamimu terus-menerus kepadamu." Kata ibu
Air mata kembali mengalir di pipiku. Aku tidak ingin berpisah dengan ibu, tapi aku juga tidak bisa memaksanya terus-menerus berada di tengah kekerasan ini.
"Aku mengerti, Bu. Terima kasih sudah menolongku," ucapku lirih.
Ibu mengecup keningku dengan penuh kasih. "Jaga dirimu baik-baik, nak. Ibu akan selalu ada untukmu, meski tidak di sampinmu."
Setelah itu, ibu menyuruhku kembali ke gubuk tua. Hatiku terasa begitu hampa, harus berpisah dengan ibu, tempat terakhirku untuk bersandar.