Tidak pernah terbersit di pikiran Mia, bahwa Slamet yang sudah menjadi suaminya selama lima tahun akan menikah lagi. Daripada hidup dimadu, Mia memilih untuk bercerai.
"Lalu bagaimana kehidupan Mia setelah menjadi janda? Apakah akan ada pria lain yang mampu menyembuhkan luka hati Mia? Kita ikuti kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Power Of Mbak Jamu. Bab 4
Mia sudah siap memanjat tiang kayu jati yang masih kokoh walaupun warnanya sudah kehitaman karena debu, tetapi tiba-tiba saja pintu usangnya ada yang mengetuk.
Ceklak.
Seorang wanita berdiri di teras, ketika Mia sudah membuka pintu. Payung hitam miliknya dia letakkan di bibir teras Mia. Wanita yang lebih tua dari Mia itu menatap Mia lekat.
"Mia.. kamu kah itu?"
"Iya Mbak"
"Ya Allah... aku kira hantu" Wanita yang tak lain tetangga sebelah itu pun kaget, karena dia pikir ada hantu di kediaman Mia, sebab Mia akhir-akhir ini tidak pernah datang.
"Hihihi... Mbak ini ada-ada saja, mana ada hantu" Mia cekikikan lalu mengajak tetangganya itu masuk ke dalam. Karena air hujan yang tertiup angin membasahi baju tamu Mia.
"Mia, kamu kok semakin cantik saja," wanita itu kagum, sudah satu tahun tidak bertemu, tetapi wajah Mia lebih cantik dibandingkan sebelum menikah.
"Terimakasih Mbak. Kalau Mbak mau... saya punya resep," Mia mengatakan bahwa dia selama ini selalu minum jamu racikannya sendiri.
"Oh gitu, nanti kalau kamu sudah jualan saya mau, Mia"
"Siap, Mbak"
Mia ngobrol sambil berdiri, karena kursi kayu nya belum dia bersihkan. Namun, Mia terkejut ketika Putri nyaris jatuh karena menginjak lantai basah. Secepatnya Mia menyandak tangan wanita yang bernama Putri itu.
"Maaf Mbak Putri, genteng saya ada yang bocor" Mia menatap lantai yang basah bahkan sudah berlumut.
"Nggak apa-apa namanya juga rumah lama nggak di tempati, Mia"
"Nanti rencananya mau saya betulkan, Mbak" Mia mengetuk tiang memberi tahu akan naik melalui itu.
"Jangan sembarangan Mia" Putri melotot kaget, lalu mendongak memandangi atap. Mana ada perempuan naik setinggi itu.
"Memang Slamet kemana Mia?" Putri mengedarkan pandanganya tidak ada siapapun di rumah ini. Putri mengukur dirinya sendiri, jika pekerjaan seperti ini biasanya suami yang mengerjakan.
"Saya sudah tidak hidup bersama lagi Mbak," Lirih Mia, terdengar menyayat di hati.
"Oh maaf," putri tidak mau mengorek luka hati Mia, kemudian pamit pulang.
"Bismillah..."
Mia melanjutkan niatnya membetulkan genteng setelah mengantar putri ke luar. Tiba di balok penyangga atap, dia berdiri berpegangan usuk memeriksa genteng. Lima genteng rupanya bukan hanya merosot melainkan pecah, tentu tidak bisa diperbaiki.
Mia pun kembali turun besok pagi baru akan ke material membeli genteng.
Sore bergani malam, rumah sudah rapi walaupun hanya tidur di bale yang keras, tetapi Mia tidur dengan nyenyak.
Selama rumah tangganya dengan Slamet terjadi konflik besar, Mia sering kurang tidur, tetapi kali ini dia tebus sudah dengan tidur semalam dan bangun ketika subuh.
Belum ada peralatan di rumah ini tentu Mia belum bisa melakukan aktivitas berjualan, maupun memasak.
Pagi yang cerah, sinar matahari sedikit mengeringkan jalanan yang dipasang konblok basah karena hujan lebat sejak sore hingga malam.
Seorang wanita tengah melaui jalan tersebut, dengan kaos dan celana panjang terkesan santai tetapi cantik, tidak ada yang menyangka bahwa wanita itu adalah seorang janda.
"Mau cari apa Mbak?" Tanya penjaga material kala Mia masuk ke tempat itu.
"Saya mau membeli genteng, kalau hanya lima biji boleh tidak?" Mia rupanya melanjutkan niatnya tadi malam.
"Tentu saja boleh" penjaga material mengatakan jika membeli ngecer harga lebih mahal, dan tidak bisa diantar.
Tentu tidak keberatan bagi Mia, karena butuh dia membayar sesuai harga. Setelah mendapat yang dia butuhkan Mia pun kembali pulang.
Tiba di gang ke arah rumahnya suasana tidak seperti ketika berangkat tadi, yakni sepi. Kali ini sapaan beberapa pria terdengar mesum, walaupun ada pula yang ramah dan baik.
"Hai... kamu Mia Kan?" Pria yang tak lain teman Mia kecil menyapa dengan senyuman manis.
"Hai... Jaka," Mia membalas senyum sahabat kecilnya lalu berhenti. Dia letakkan ikatan genteng yang dibawa, kemudian berbasa-basi dengan Jaka.
"Kamu apa kabar Jak? Sudah berapa anak kamu?" Mia tidak pernah tahu lagi cerita mengenai Jaka, setelah menikah dengan Slamet.
"Menikah saja belum, boro-boro anak sih, Mia, kan masih menunggu kamu," Jaka tersenyum. Dia ingat ketika patah hati ditinggal menikah Mia dengan Slamet, Jaka sempat berdoa jahat. 'Aku tunggu jandamu, Mia'
Mia diam, apakah Jaka sudah tahu jika dirinya janda? Padahal Mia belum bercerita dengan siapapun selain mbak Putri kemarin sore.
"Jaka, aku duluan ya," Mia mengangkat kembali genteng hendak melangkah tetapi tanganya ditahanJaka.
"Biar aku bantu" Jaka hendak ambil alih tanah liat kering dari tangan Mia, tetapi Mia menolak cepat.
Mia pun berjalan lebih cepat meninggalkan Jaka. Mia malu, jangan sampai Jaka tahu bahwa dirinya sudah bercerai dengan Slamet.
Masih segar dalam ingatan Mia ketika lima tahun yang lalu Jaka akan melamar dirinya, tetapi Mia memilih Slamet yang akan dia jadikan imam. Namun, tidak menyangka pria yang Mia pilih justru berkhianat.
Tiba di gang yang ke arah rumah, Mia melewati ibu-ibu yang tengah menggerombol di tukang sayur, tengah membicarakan dirinya tentang statusnya saat ini. Mia pura-pura tidak mendengar, lalu mundur ambil jalan di gang yang lain.
Di tempat lain pun sama, Mia benar-benar kesal, tetapi mencoba untuk bersabar. Tidak adakah pekerjaan para Mak-Mak itu di pagi hari seperti ini? Padahal bukan tidak mungkin jika mereka tidak mempunyai pekerjaan. Daripada membicarakan orang lain yang ujung-ujungnya akan mendapat dosa, alangkah baiknya mereka itu menyelesaikan pekerjaan rumah yang sudah menunggu.
Mia pun menyimpulkan bahwa kini statusnya menjadi janda sudah tersebar. Pantas saja Jaka menyindirnya, padahal tadi malam dia hanya bercerita dengan Putri. Apakah Putri tetangga sebelah itupun kini sudah berubah mengurusi kehidupan orang lain.
Sepanjang jalan pikiran Mia banyak pertanyaan. Apakah salah dengan langkah yang dia ambil? Toh semua orang memilih hidup tenang. Untuk apa punya suami jika tidak bisa memberikan kebahagiaan, yang ada hanya akan membuat hatinya sakit.
Tiba di rumah, tidak mau ambil pusing Mia ambil kain, kemudian menggendong genteng sebelum naik ke atas atap. Dengan tangga dari bambu yang Mia pinjam dari rumah Putri, dia tiba di atap.
Panas matahari jam sepuluh pagi, menyorot tubuh tinggi dan ramping yang sedang berjalan di atap tanpa ada rasa takut.
Mia membongkar lima genteng yang pecah, terdapat buah kelapa kering di tempat itu. Itulah penyebab genteng pecah, karena memang di samping rumah Mia ada dua pohon kelapa yang tingginya entah berapa meter.
"Alhamdulillah... sudah selesai" Mia memasukkan puing-puing pecahan genteng ke dalam plastik yang sudah dia siapkan dari bawah.
Mia lantas berdiri mengibas-ngibas kaos dan celana yang kotor karena debu yang menempel campur pecahan genteng berwarna coklat kemerahan.
"Mia biar saya bantu" Tiba-tiba saja seorang pria sudah berada di belakang Mia. Pria bertubuh gemuk itupun menjilati bibirnya mesum.
Mia pun berpaling merasa jijik melihatnya.
"Oh tidak-tidak, sudah selesai" Mia menjawab cepat dan mengusir pria yang sudah beristri itu agar segera turun. Mia tentu takut jika istri si gendut salah sangka.
"Ayo turun, pegang tangan saya," si pria mengulurkan tangan kiri, dengan percaya diri. Sok romantis selayaknya Romeo dengan Juliet.
"Tidak usah" Mia pun berjalan lebih dulu dengan langkah tergesa-gesa karena khawatir pria itu berhasil menangkap tanganya. Bukannya apa-apa, jika Mia mau bisa melibas dengan mudah bila si gendut berani kurang ajar, tetapi Mia menjaga keributan agar tetangga tidak mengetahui jika pria ini menyusulnya.
Mia cepat-cepat menuruni tangga, tetapi tiba di bawah, wanita yang tak kalah gendut dengan pria tadi melipat tangan di dada.
...~Bersambung~...
peran Slamet sebagai suami apa?
kalau pengangguran gampang banget poligami