NovelToon NovelToon
Kupu-Kupu Tanpa Tuan

Kupu-Kupu Tanpa Tuan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Sistem / Single Mom / Identitas Tersembunyi / Fantasi Wanita
Popularitas:7.2k
Nilai: 5
Nama Author: JWin

Rhea adalah sahabat lamaku.

Seorang wanita muda yang cantik dan juga periang.


Dua tahun kami tidak pernah saling berkomunikasi dikarenakan kesibukan kami masing-masing.


Hingga hari itu dia meneleponku dan mengajakku bertemu.


Kukira pertemuan itu akan menjadi ajang reuni kami yang seru namun ternyata semua diluar perkiraanku.


Tujuan Rhea menemuiku adalah untuk membagikan kisahnya.

Kisah yang selama ini ia tutup dan pendam rapat-rapat.

Kisah yang sama sekali tidak aku duga yang dialami oleh sahabat dekatku sendiri.

Kisah yang membuat hidup Rhea berubah.


Bisakah aku membantu Rhea meluapkan segala keluh kesahnya?!

Atau justru aku ikut masuk dalam lingkaran kisah sahabatku sendiri?!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon JWin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kereta senja

Suara lokomotif kereta terdengar dari kejauhan. Naga besi itu perlahan memasuki stasiun yang sudah dipadati oleh orang-orang yang akan menaikinya.

Rhea berdiri tepat di pinggir peron nomor tiga tempat kereta tersebut akan berhenti, digenggamnya erat-erat selembar tiket perjalanan kereta takut jika tiket tersebut terjatuh atau bahkan hilang, maklumlah ini pertama kali Rhea melakukan perjalanan jauh dengan menggunakan kereta api.

Digendongnya tas ransel dipundaknya, sambil sesekali mata gadis itu melongok ke kanan kiri. Disamping Rhea berdiri sesosok pria paruh baya dengan wajah hitam kusam, tubuhnya tinggi kurus, matanya sedikit sayu dengan bibir hitam legam efek dari rokok. Pria itu mengenakan kemeja usang dengan celana panjang yang juga tak kalah usangnya disertai dengan topi belel yang menutupi rambut ikalnya yang nampak terlihat tak beraturan. Ditangan kanannya sedang menjinjing kardus besar yang entah apa isinya, mungkin isinya perbekalan untuk perjalanan. Pria paruh baya itu adalah pakde Marto, kakak kandung laki-laki ibu Rhea. Pakde Marto inilah yang akan mengantar Rhea menuju Jakarta.

Tak selang berapa lama kereta api mulai memasuki peron stasiun. Kereta itu mulai berjalan secara perlahan-lahan, seperti naga panjang yang sedang menjemput para penunggangnya. Kereta berwarna biru muda itu pun berhenti tepat di pinggir peron stasiun. Dan orang-orang pun terlihat mulai bersiap untuk menaikinya. 

Suasana stasiun sore itu memang terlihat lumayan cukup padat.

Mungkin karena ini hari Sabtu banyak diantara mereka yang telah selesai liburan dan akan kembali pulang ke kota.

“Ini kereta yang akan kita naiki De?” Tanya Rhea pada sosok lelaki paruh baya disampingnya.

“Iya nak.” Jawab pria itu singkat dengan senyum tipis di bibirnya.

“Ayo nak naik!!” Ajak pakde Marto yang diikuti langkah Rhea di belakangnya. Terlihat pakde Marto berjalan tergopoh-gopoh dikarenakan barang bawaan yang tak sepadan dengan perawakan lelaki paruh baya itu.

Walaupun merupakan kereta api kelas ekonomi suasana di dalam kereta cukup terlihat nyaman, bangku-bangku nya pun juga bersih. Di Setiap ujung kereta juga terdapat layar televisi. Kereta itupun juga dilengkapi dengan pendingin ruangan sehingga sangat cocok dijadikan alternatif perjalanan malam. 

Rhea nampak masih mengikuti pakde Marto yang sedang sibuk mencari nomor bangku yang akan mereka duduki sambil sesekali matanya melihat nomor yang tertera di karcis kereta.

“Nah akhirnya ketemu juga.” Ucap pakde Marto lega. 

“Kamu letakkan tas ransel mu di atas itu nak.” Suruh pakde Marto kepada Rhea sambil menunjuk bagasi yang terletak diatas bangku kereta.

Dengan segera Rhea melepaskan tas ransel dari pundaknya diikuti oleh pakde Marto yang juga meletakkan kardus besarnya.

Setelah itu Rhea duduk di kursi kereta, Rhea memilih bagian kursi yang dekat dengan jendela karena menurutnya kursi kereta dekat jendela adalah posisi yang paling nyaman baginya.

Nampak diatas jendela tercantum nomor 7b nomor kursi yang tentunya sesuai dengan yang tertera di tiket yang Rhea genggam sedari tadi.

Nampak kursi-kursi yang lain pun sudah terisi oleh penumpang lainnya bahkan nyaris tidak ada kursi kosong yang tersisa didalam kereta yang Rhea tumpangi.

Kurang lebih lima menit kereta itu berhenti, tiba-tiba terdengar suara announcer dari speaker kereta yang menginformasikan bahwa sebentar lagi akan di berangkatkan. Tak berapa lama kereta itu pun berjalan perlahan meninggalkan stasiun dengan membawa Rhea dan juga penumpang yang lainnya menuju Jakarta.

“Nanti kalau kamu merasa lapar, bilang pakde ya nak, nanti kita ke gerbong depan untuk membeli makanan, pakde mau istirahat dulu sebentar.” Terang pakde Marto sambil menyenderkan kepalanya di kursi kereta disusul dengan anggukan kepala Rhea.

Rhea pun juga menyandarkan kepalanya ke sudut kursi dekat jendela sambil matanya menerawang jauh keluar jendela memandangi pemandangan luar yang sudah nampak gelap pertanda malam sudah tiba.

Kereta itupun mulai melaju dengan sangat kencang tanpa ada yang bisa menghalangi laju jalannya. Dari balik jendela kereta, Rhea masih terdiam dipandanginya suasana malam yang mulai dipenuhi oleh kelap kelip lampu jalanan. Hatinya mulai gundah gulana, raut wajahnya pun terlihat murung, hanya sesekali Rhea bergerak itupun sekedar untuk memperbaiki posisi duduknya.

Perlahan-lahan mata Rhea melihat isi kereta dengan seksama, nampak sebagian besar penumpang sudah tertidur pulas begitu pula dengan pakde Marto.

Suasana di dalam kereta pun nampak terasa sunyi, hanya terdengar bunyi layu mesin kereta dan juga suara anak kecil dari kejauhan.

Rhea pun kembali menyandarkan kepalanya ke jendela kereta api, kali ini dengan tujuan untuk beristirahat sejenak.

Tapi semua itu gagal Rhea lakukan.

Entah apa yang dirasakan hati Rhea saat itu, terasa ganjil namun susah untuk Rhea sendiri menjelaskan.

Sambil melamun Rhea pun teringat ibunya dan adik satu-satunya dirumah yang tentu saja menambah pikiran nya semakin campur aduk tidak karuan, terlintas pula dipikiran Rhea masa-masa saat dia di sekolah bersama-sama dengan teman-temannya dan tentu saja bersama Je sahabat dekatnya. 

Dalam lamunannya Rhea teringat kebersamaannya bersama ibu, adik laki-laki nya dan tentu saja bersama-sama dengan teman-temannya.

Benar kata orang-orang semua akan terasa kehilangan ketika sesuatu itu sudah benar-benar jauh bahkan hilang.

Selain itu Rhea pun khawatir jika nanti di jakarta ia tidak betah atau bahkan yang lebih pahit nantinya ia tidak mendapatkan pekerjaan sama sekali. Namun Rhea segera membuang pikiran itu jauh-jauh karena Rhea yakin doa ibunya akan selalu menemani langkah-langkahnya. Rhea Pun teringat pesan ibunya bahwa ibunya akan mendoakan Rhea agar mendapatkan apa yang Rhea cita-citakan.

Mengingat itu semua secara tak terasa membuat air mata Rhea menetes dari sudut pelupuk matanya. 

Demi sebuah harapan yang begitu besar Rhea berusaha memantapkan hatinya, mencoba mengalihkan hasratnya dengan berfokus demi sebuah cita-cita kedepan. Walaupun dirinya sadar bahwa cita-cita itu masih samar antara akan terwujud atau tidak.

Ketika kita sadar akan ketidaktahuan dan berdiri di jurang ketidakpastian bukankah hanya harapan dan doa satu-satunya yang menjadi pegangan dan penenang.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam yang berarti kereta api senja malam itu sudah membawa Rhea mencapai setengah perjalanan. 

Pikiran Rhea masih gundah gulana, ia abaikan perutnya yang sedari tadi kosong belum terisi apapun. 

“Ah mungkin ada baiknya kupaksakan untuk tidur saja.” Pikir Rhea sambil memandangi air mineral dalam botol yang terletak di meja kecil dekat dengan jendela kereta. Botol itu sesekali tergoyang oleh guncangan laju kereta, seperti hatinya yang kadang bergoyang ketika mengingat hari-hari sewaktu berada di kampungnya.

Dan kali ini perasaan gundah gulana Rhea terkalahkan oleh rasa kantuknya. Mata gadis itu perlahan terpejam lembut, Rhea pun tertidur diatas kursi kereta yang semakin melaju dengan kencang menembus sunyinya malam.

—-----------

“Nakk… bangun nak…. Sebentar lagi kita sudah mau sampai.” Sayup-sayup terdengar suara pakde Marto yang membangunkan Rhea dari tidur nyenyaknya.

“Sepertinya kamu belum makan ya tadi malam, kenapa tidak bangunkan pakde.” Tanya pakde Marto kepada Rhea yang sibuk merapikan rambutnya.

“Sudah nanti saja sekalian De..hoammm.” jawab Rhea sembari menutup mulutnya yang sedang menguap lebar.

“Yasudah nanti begitu kita turun stasiun terakhir, kita makan dulu di warung terdekat.” Sahut pakde Marto.

“Ini sudah sampai mana De?” Tanya Rhea sambil melihat jam di tangan yang ternyata sudah hampir menunjukkan jam 3 pagi.

“Kalau tidak salah beberapa menit lagi kita akan masuk stasiun Bekasi, yang berarti sebentar lagi kita akan sampai Jakarta nak.” Ucap pakde Marto. 

Dan benar saja tak berapa lama terdengar suara announcer kereta yang memberitahukan bahwa sebentar lagi kereta api akan memasuki tujuan akhir yaitu stasiun Pasar Senen, stasiun tujuan terakhir Rhea dan penumpang yang lainnya.

“Ayo nak kita siap-siap…” ajak pakde Marto sambil berdiri dari kursinya untuk mengambil barang bawaan yang letaknya ada di atas kabin kereta.

Rhea pun melihat para penumpang yang lain juga sibuk merapikan barang-barang bawaannya seketika itupun Rhea beranjak dari kursinya.

Tepat pukul setengah empat kereta yang Rhea tumpangi masuk di jalur tiga stasiun Pasar Senen, segera saja Rhea dan pakde Marto bergegas menuju pintu keluar kereta bersama dengan penumpang yang lainnya.

“Kita cari makan sebentar dulu nak setelah itu kita sholat subuh di masjid sekitar sini.” Ujar pakde Marto.

“Baik de…” jawab Rhea singkat.

Bagi pakde Marto, Jakarta memang sudah tidak asing baginya karena memang beliau sering bolak balik Jakarta untuk sekedar mengurus penjualan hasil sawahnya.

Oleh sebab itu ibu Rhea sangat mempercayakan anak gadis satu-satunya itu dibawa oleh pakdenya ke Jakarta.

Sedangkan bagi Rhea ini adalah pertama kali gadis itu menginjakkan kakinya di Jakarta. Kota yang bagi sebagian orang dianggap sebagai kota yang segala macam hal bisa didapat.

Begitupun dengan Rhea yang beranggapan jakarta adalah kota tempat semua mimpi-mimpi akan terwujud.

“Nah itu didepan ada warung nasi nak, kita makan disitu saja.” Ujar pakde Marto pada Rhea setelah keduanya keluar dari pintu stasiun.

“Nah nanti di belakang warung itu ada masjid, kita sholat subuh disana saja.” Lanjut pakde Marto.

Rhea hanya mengangguk pelan tanpa menghiraukan apa yang pakde Marto bicarakan, karena mata gadis itu tertuju pada pemandangan kota Jakarta pagi itu yang menurut mata gadis itu sangat teramat indah dan glamor.

Seketika Rhea lupa akan kesedihan dan kegusarannya sewaktu di kereta semalam.

Gadis cantik itu menatap kagum pada pemandangan dan hiruk pikuk pagi kota Jakarta.

Senyum tipis pun mengembang dari sudut bibir Rhea….

1
St
suka
St
ditunggu update nya lagi thor. penasaran.
Amelia Quil
Enak banget karya ini, aku nggak sabar nunggu kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!