NovelToon NovelToon
Menikahi Tuan Danzel

Menikahi Tuan Danzel

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:229.6k
Nilai: 4.9
Nama Author: Aquilaliza

Penyelamatan yang dilakukan Luna pada seorang Kakek membawanya menjadi istri dari seorang Danzel, CEO dingin yang tak memepercayai sebuah ikatan cinta. Luna yang hidup dengan penuh cinta, dipertemukan dengan Danzel yang tidak percaya dengan cinta. Banyak penolakan yang Danzel lakukan, membuat Luna sedikit terluka. Namun, apakah Luna akan menyerah? Atau, malah Danzel yang akan menyerah dan mengakui jika dia mencintai Luna?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aquilaliza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perkara Tidur Seranjang

Luna berbaring di ranjang sembari memainkan ponselnya. Dia sedang mengirim pesan pada sahabatnya Selly, yang mungkin sedang pusing mengurus pekerjaannya. Dia jadi bersyukur karena tidak masuk kerja.

Tok... Tok... Tok...

Suara pintu yang di ketuk membuat Luna segera bangun dari kegiatan berbaringnya. Gadis itu langsung menuju pintu dan membukanya. Luna cukup terkejut melihat beberapa wanita yang berdiri di depan pintu bersama Bibi Marry.

"Nyonya," sapa Bibi Marry.

Luna tersenyum dan mengangguk. Namun, raut wajahnya terihat bingung melihat wanita-wanita di belakang Bibi Marry. Yang ia dengar dari bibi Berna tadi, pelayan di rumah Danzel hanya empat orang termasuk tukang kebun dan security. Sekarang yang menjadi pertanyaannya, siapa wanita-wanita itu.

Bibi Marry yang melihat kebingungan di wajah Luna pun tersenyum tipis. Dia lalu menjelaskannya pada Luna. "Maaf Nyonya, membuat anda bingung. Mereka adalah orang-orang yang membawa semua kebutuhan Nyonya. Mereka akan mengisi walk in closet Nyonya dengan barang-barang yang Nyonya butuhkan."

Luna sedikit terkejut. Baginya, barang-barang yang dibawanya semalam sudah cukup. "Aku rasa, itu tidak perlu. Aku sudah mengisinya dengan pakaian-pakaian yang ku bawa. Aku tidak membutuhkan yang lain lagi."

"Maaf Nyonya, ini perintah tuan Danzel."

"Danzel? Maksud Bibi, Danzel suamiku yang menyuruh mereka?" Bibi Marry menjawab sambil tersenyum tipis. Ekspresi terkejut Luna membuatnya gemas.

Luna terdiam beberapa detik setelah mendapat jawaban Bibi Marry. Lalu, dia mendongak menatap wanita seusia ibunya itu.

"Baiklah. Karena Danzel yang menyuruh kalian, aku tidak akan menolak. Ayo, masuk."

Bibi Marry mengangguk kemudian mengajak beberapa orang di belakangnya ikut masuk. Mereka mulai melakukan pekerjaan mereka. Mengatur meja rias untuk Luna, lalu mengisi meja tersebut dengan produk-produk kecantikan.

Luna yang sejak awal memperhatikan mereka pun meneguk ludahnya. Dari semua barang-barang yang orang-orang itu keluarkan, bahkan sampai produk kecantikan, semuanya adalah barang-barang bermerek terkenal. Uang gajinya selama 3 bulan pun tidak mampu membeli salah satu produk kecantikan tersebut.

Setelah semuanya selesai, Bibi Marry bersama yang lainnya segera meninggalkan kamar Danzel dan Luna. Tak lama kemudian, Luna juga ikut keluar dari kamar tersebut. Langkahnya membawa ia ke ruang kerja Danzel. Dia mengetuk pelan pintu ruangan tersebut, lalu membuka pintu dan menyembulkan kepalanya.

"Danzel, apa aku boleh masuk?"

Danzel yang sedang membaca sebuah dokumen menatap ke arahnya sejenak dengan tatapan dingin. Setelah itu, dia kembali fokus pada dokumennya tanpa menjawab Luna.

"Diam berarti setuju," ucap Luna dengan ceria, kemudian masuk dan berdiri di depan meja Danzel.

"Aku ke sini mau berterima kasih karena sudah—"

"Kakek yang menyuruhku!" potong Danzel cepat tanpa melihat ke arah Luna.

Luna seketika diam dengan wajah yang sedikit kecewa. Tapi, tidak masalah. Dia akan berterima kasih pada kakek Berto.

***

Malam hari, setelah menyelesaikan makan malam, Luna maupun Danzel langsung menuju kamar. Luna duduk diam di pinggir ranjang sambil memainkan handphonenya. Danzel yang baru saja keluar dari kamar mandi, langsung berjalan menuju pintu.

"Mau kemana?" tanya Luna. Fokusnya tak lagi pada handphone tapi pada Danzel.

Danzel menulikan pendengarannya. Dia tidak peduli dengan Luna dan akan tidur di kamar lain lagi. Walaupun dia tidak suka ada orang lain di kamarnya, dia akan membiarkan Luna. Dia hanya tidak ingin berdebat dengan Luna. Sehari bersama Luna sudah membuatnya pusing.

"Danzel, jika kau keluar dari kamar ini, aku akan menelpon kakek."

Gerakan tangan Danzel seketika terhenti. Dengan rahang mengeras, dia berbalik menghampiri Luna. Wajahnya terlihat begitu kesal.

"Sebenarnya, apa mau mu?"

"Aku mau kau tidur disini."

Rahang Danzel semakin mengeras dan tangannya terkepal. "Aku tidak mau!"

"Danzeeel... kita ini suami istri. Sudah seharusnya tidur di kamar yang sama."

"Kita bukan suami istri!"

"Tapi kita menikah."

"Kau bukan istriku!!" suara Danzel sedikit meninggi. Luna benar-benar menguji kesabarannya.

Gadis itu tersenyum manis pada Danzel sambil menusuk pipi Danzel dengan ibu jarinya.

"Suka sekali marah-marah," ucapnya sambil terkekeh kecil. Danzel yang masih begitu kesal pun menepis kasar jari Luna. "Jangan kasar-kasar sama istri."

"Kau bukan istriku!!" ucap Danzel dengan penuh penekanan.

"Tapi kau suamiku!"

"Luna!"

"Iya suamiku sayang," balasnya satai membuat Danzel bertambah kesal. Tak ingin rasa kesalnya membawa malapetaka untuk Luna, Danzel bergegas meninggalkan Luna. Tapi, belum sempat dia sampai pintu, suara Luna kembali terdengar.

"Kalau kau keluar dari kamar ini, aku akan menelpon kakek dan memberitahunya, kau tidak tidur bersamaku dari semalam, dan memberitahu kakek kalau kau tidak menganggap pernikahan ini."

Danzel kembali berusaha menulikan pendengarannya. Dia yakin, Luna tidak akan berani menelpon. Kalau pun Luna menelpon, bisa dia pastikan kakeknya sudah tertidur sekarang.

Melihat Danzel yang tidak berhenti, Luna segera menghidupkan handphonenya dan menelpon kakek Berto. Sengaja ia menghidupkan speaker agar Danzel bisa mendengar.

"Hallo, Nak?" sapa kakek Berto setelah panggilan Luna tersambung.

Deg!

Luna terkejut, begitu juga Danzel. Danzel segera berbalik dan langsung duduk di sisi ranjang. Wajahnya sudah merah padam karena amarah. Baginya, Luna gadis gila. Dia rasa, Luna sudah tidak memiliki malu membicarakan sesuatu yang terbilang privasi meskipun pada kakeknya. Dia tidak khawatir Luna mengadu. Tapi, yang dia pikirkan adalah kesehatan kakeknya.

Sementara Luna, gadis itu terdiam cukup lama. Dia tidak tahu harus berbicara apa pada kakek Berto. Dia tidak mungkin membicarakan soal Danzel yang tidak mau tidur seranjang. Dia sebenarnya hanya berniat menggertak Danzel. Dia pikir kakek Berto sudah tidur dan tidak akan menjawab telponnya. Ternyata dia salah.

"Hallo, Luna?"

"Hal-hallo, Kek," jawab Luna dengan gugup dan wajah memerah malu.

"Syukurlah kau menjawab kakek. Kakek pikir terjadi sesuatu karena belum menjawab juga."

Luna terkekeh pelan dan meminta maaf karena sudah mengganggu kakek Berto. Pria tua itu membalas ucapan luna dengan kekehan juga. Dia tidak masalah Luna menelponnya. Dia malah senang mendapat telpon dari cucu mantunya.

Luna bernafas lega. Tapi, meski begitu dia tetap merasa tak enak pada kakek Berto. Dia memutar otak untuk mencari topik pembicaraan, sekedar untuk berbasa-basi dengan kakek Berto. Dan dia tersenyum senang saat menemukan ide. Dia akan berterima kasih pada kakek Berto. Namun, pria tua itu malah bingung atas ucapan terima kasih Luna.

"Terima kasih?"

"Iya. Terima kasih kakek sudah menyuruh orang-orang membawakan perlengkapan sehari-hari Luna."

"Oh itu? Itu bukan kakek. Itu pasti Danzel. Kakek hanya mengingatkan dia semalam."

"Ooh... Ya udah. Nanti aku terima kasih nya ke Danzel," ucap Luna sambil melirik Danzel yang kini sudah berbaring memunggunginya. "Ya sudah, kek. Luna udah dulu telponnya. Kakek istirahat ya."

"Iya iya. Kamu juga istirahat. Katakan pada Danzel, jangan terus-terusan memikirkan pekerjaannya. Sekarang dia sudah memiliki istri."

"Iya, Kek. Nanti aku sampaikan."

Setelah itu, panggilan antara Luna dan kakek Berto terputus. Luna bernafas lega. Setelah itu, dia naik ke ranjang dan berbaring menghadap ke punggung Danzel yang berbaring membelakangninya.

Dia melihat kemarahan Danzel tadi. Dan dia merasa tak enak pada laki-laki yang menyandang status sebagai suaminya itu. Luna terdiam beberapa saat, kemudian memanggil Danzel.

"Danzel."

"Danzel, kau sudah tidur?"

"Danzel, entah kau sudah tidur atau belum, aku hanya mau bilang sesuatu. Meskipun kau menolakku, itu tak mengubah status kita sebagai suami istri. Dan aku akan melakukan apapun tugasku sebagai istri, meskipun kau menolak."

Tak ada pergerakan apapun yang terlihat pada Danzel. Luna memanyunkan bibirnya, kemudian menoel-noel punggung Danzel.

"Dan—"

"Tidurlah Luna!" tegas Danzel dengan nada suara yang rendah nan dingin.

"Hehe... ternyata kau belum tidur. Ayo, mengobrol sebentar?"

"Luna!"

"Baiklah-baiklah! Aku akan tidur. Selamat malam dan selamat tidur suami," ucap Luna, kemudian berbalik memunggungi Danzel. Gadis itu memejamkan matanya sambil merutuki dirinya sendiri.

Kau benar-benar memalukan Luna. Batin Luna.

***

Danzel merasa begitu lega ketika bangun dan bertemu pagi. Akhirnya hari ini dia bisa bebas dari segala tingkah laku Luna yang selalu membuatnya terganggu.

Danzel berjalan menuju kamar mandi tanpa peduli dengan bagian kasur Luna yang sudah kosong. Dia tidak peduli entah kemana Luna di waktu yang terbilang masih begitu pagi.

Sekitar 15 menit dalam kamar mandi, Danzel keluar. Wajahnya langsung berubah dingin ketika mendapati Luna di kamar. Di atas ranjang juga sudah ada pakaian yang akan ia kenakan ke kantor. Sepertinya Luna yang melakukannya.

Luna lagi-lagi terkejut melihat Danzel yang keluar dari kamar mandi dengan handuk yang hanya menutupi bagian pinggang hingga lututnya. Tapi, Luna berusaha mengabaikan itu dan berusaha untuk membiasakan dirinya, meskipun reaksi jantungnya tak biasa-biasa.

Luna mengulas senyum. Kemudian mendekat ke arah Danzel. "Kau sudah selesai? Ayo, biar ku bantu keringkan rambutmu," ucap Luna lembut. Namun, Danzel tak sedikitpun mengubah mimik wajahnya menjadi lebih hangat. Dia tetap bersikap dingin.

"Tidak perlu!" balas Danzel, melewati Luna.

Bukan Luna jika menuruti Danzel. Gadis itu dengan cepat berjalan mendahului Danzel. Ia meraih salah satu handuk, lalu berjinjit dan menggosokkannya ke rambut Danzel.

Danzel berdecak kesal, lalu menepis tangan Luna dari kepalanya. Membuat kegiatan Luna terhenti.

"Danzel, apa—"

"Sudah ku bilang! Kau tidak perlu melakukannya!!"

Luna tak mendengarnya dan kembali berjinjit dan mengusapkan handuk tersebut pada rambut Danzel. Danzel kesal dan ingin mendorong Luna menjauh. Tapi, belum sempat dia melakukannya, Luna berhenti karena kakinya lelah berjinjit.

"Bisakah kau menunduk sedikit? Kau terlalu tinggi." Danzel menatapnya dingin dengan rahang mengeras. "Kenapa menatapku?"

"Berhentilah melakukan sesuatu padaku semau mu, Luna."

"Kenapa?" tanyanya polos. Tapi, dibalik wajah polosnya, Luna ketakutan sekarang. Danzel terlihat menyeramkan.

Danzel mendekat dan menundukkan sedikit tubuhnya hingga wajahnya sejajar dengan wajah Luna. Dia lalu mengatakan sesuatu pada Luna. "Karena aku benci orang asing yang menunjukkan rasa cinta dan sayang mereka padaku!!" ucap Danzel penuh penekanan, lalu menegakkan tubuhnya dan berbalik meninggalkan Luna menuju walk in closet.

Luna meneguk kasar ludahnya. Dia jadi takut pada Danzel. Tapi, dia tidak bisa berhenti sampai disitu saja. Dia akan lebih berusaha untuk meluluhkan Danzel dan membuat laki-laki itu percaya cinta dan kasih sayang.

Luna meraih stelan kantor yang ia siapkan untuk Danzel. Dia lalu berjalan mendekati pintu walk in closet dan mengetuknya.

"Danzel, ini pakaianmu," ucapnya, namun tak ada jawaban. Luna kembali mengetuk pintu dan mengatakan hal yang sama. Tapi, hasil yang sama pula dia dapatkan.

Luna terdiam, tak mengetuk lagi. Tapi, dia masih setia berdiri di depan pintu hingga pintu terbuka dan menampakkan Danzel yang sudah begitu tampan dengan stelan kantornya.

Luna tesenyum manis ke arah Danzel. Dalam hatinya ia memuji ketampanan Danzel. Seandainya dia memegang handphonenya sekarang, sudah pasti dia akan memotretnya dan menyombongkan hasil potretannya itu pada Selly.

"Minggir!" Suara dingin Danzel membuat Luna tersadar. Jika kemarin dia segera bergeser setelah Danzel mengatakan "minggir!", kali ini tidak. Dia tetap berdiri di hadapan Danzel.

"Aku tidak akan minggir! Kenapa kau tidak mengenakan pakaian yang ku pilihkan?"

Danzel berdecak kesal. Dia ingin mendorong Luna seperti yang ia lakukan pada wanita-wanita lain. Tapi, dia tidak bisa melakukannya. Entah apa alasannya, dia tidak tahu.

"Minggir Luna, saya ada rapat penting di kantor."

"Tidak! Aku tidak peduli. Seharusnya kau belum bekerja hari ini."

"Luna!!"

Tok... Tok... Tok...

"Maaf, Tuan. Ada sekretaris Beni di bawah, sedang menunggu Tuan."

"Kau dengar?!" ujar Danzel, menatap tajam Luna.

Luna terdiam lalu perlahan menggeser, membiarkan Danzel pergi. Gadis itu lalu dengan cepat memasuki walk in closet dan menyimpan kembali baju-baju Danzel. Setelah itu dia dengan cepat keluar kamar menuju lantai bawah.

Tiba di lantai bawah, Danzel dan sekretarisnya sudah hendak pergi. Hal itu membuat Luna dengan segera menahan mereka, karena ia tahu Danzel belum sarapan sama sekali.

"Tunggu! Danzel, kau belum sarapan!"

Danzel menatap datar Luna. Gadis itu benar-benar menyebalkan. Danzel ingin hari-harinya yang tenang kembali.

"Kalian tunggu sebentar." Luna dengan segera berlari kecil meninggalkan kedua orang itu. Danzel menghembuskan nafas jengah.

"Ayo, Beni!" ajak Danzel. Dia tidak peduli dengan apa yang Luna katakan.

"Tapi, Tuan—"

"Kau mau ku hukum?" tanya Danzel bernada dingin, membuat Sekretaris Beni meneguk kasar ludahnya dan menggeleng. Dia lalu berjalan mengikuti Danzel.

Luna yang baru saja kembali berdecak kesal melihat Danzel dan sekretarisnya itu sudah tidak ada. Dia dengan cepat berlari ke luar rumah. Gadis itu berteriak memanggil Danzel, namun tak membuat Danzel menghentikan gerak kakinya memasuki mobil.

"Huuh... kau keras kepala sekali," omel Luna. Tangannya terulur ke arah Danzel melalui jendela mobil. "Ini bekal untukmu. Kau bisa sarapan di kantor."

"Aku tidak membutuhkannya!" jawab Danzel.

"Kau membutuhkannya! Kau tidak sarapan tadi. Kau butuh sesuatu untuk mengisi perutmu."

Danzel tak menggubris Luna. Dia malah menaikkan kaca mobilnya, membuat Luna reflek menarik tangannya. Dia bernafas lega saat tangannya baik-baik saja.

"Huuh... Hampir saja," gumamnya. Ia kemudian melihat Danzel yang duduk dalam mobil melalui kaca mobil. Ia menarik nafasnya lalu menatap Sekretaris Beni yang masih berdiri di sisi mobil tepat di sampingnya. Kemudian, dia mengulurkan tangannya yang memegang tempat bekal pada Sekretaris Beni.

"Ini, tolong kau bawakan ya? Kalau Danzel menolak, untukmu saja."

"Iya, Nyonya."

Sementara dari dalam mobil, Danzel memperhatikan Luna dan Sekretaris Beni. Dia pikir gadis itu akan mengamuk dan marah. Tapi, sepertinya dia salah. Luna malah mengulas senyum dan berbicara dengan Sekretaris Beni.

1
Rai
gak twins ya...
Mamake Zahra
mampir thor kelihatannya seru durasinya panjang 👍👍👍
Yolanda_Yoo
🥰🥰
rosalia puspita
Luar biasa
Rai
disokong
Rai
jadikan anak danzel dan Luna twins ya Thor supaya adil, kembar tidak identik lelaki dan perempuan, naa adil tu
Jenny Jn Johnny
Luar biasa
🍏A↪(Jabar)📍
next
🍏A↪(Jabar)📍
*Suasana
🍏A↪(Jabar)📍
*si suster 🙏
Aquilaliza: Makasih atas koreksinya kak 🙏
total 1 replies
Diana
bangun tidur cap cup pede banget. luna tidurnya ileran gak sih? 🤭
Entin Wartini
lanjuuuut thor
RoSz Nieda 🇲🇾
❤️
Christine Liq
Luar biasa
Entin Wartini
lanjuuuuuuut
Entin Wartini
lanjut thor
🍏A↪(Jabar)📍
up
Diana
baru ketemu cerita ini langsung gak bisa berhenti baca walaupun mata sdh sepet krn baca sampai dini hari🧐
🍏A↪(Jabar)📍
lanjut
Diah Anggraini
guut danzel
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!