Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kerinduan Akan Hujan
18.1. Kerinduan Akan Hujan
Suasana tahun pertama pasca-Dukhan mulai terasa sangat panas. Setiap hari, sinar matahari menyengat, mengeringkan ladang yang dulunya subur. Rahmat dan teman-temannya yang berusaha keras merawat tanaman mereka kini merasakan beban yang semakin berat.
“Rasanya seperti berada di gurun,” keluh Yanti, mengelap keringat yang bercucuran di dahinya. “Kapan hujan akan datang? Kita sangat membutuhkan air.”
Semua mata tertuju pada ladang yang mulai mengelupas, tanaman sayuran yang seharusnya tumbuh subur kini layu dan kehilangan warna. Ahmad menggenggam tanah kering di tangannya. “Aku rindu suara hujan yang membasahi tanah,” katanya, matanya menerawang ke langit biru yang tampak kosong dan tanpa harapan. “Dulu, saat hujan turun, segalanya terasa lebih hidup.”
“Mungkin kita bisa mencari cara lain untuk menyirami tanaman,” saran Rina, berusaha mengangkat semangat teman-temannya. “Ada beberapa sumber air kecil di dekat sini, meskipun keruh.”
“Bagaimana kalau kita berdoa agar hujan segera turun?” tanya Rahmat, berharap dengan tulus. “Kita harus tetap optimis.”
Ulama yang mendampingi mereka mengangguk. “Benar, kita tidak boleh kehilangan harapan. Dalam setiap kesulitan, Allah selalu menyediakan jalan keluar. Mari kita berdoa bersama.”
Mereka berkumpul, memejamkan mata, dan dengan penuh harapan, mengangkat tangan mereka ke langit, memohon kepada Allah agar mengirimkan hujan. Setelah berdoa, suasana masih terasa berat, tetapi mereka berusaha saling menghibur. “Kalau saja kita bisa mendapatkan sedikit air bersih,” keluh Ahmad. “Tanpa itu, semua usaha kita akan sia-sia.”
Setelah berdoa, mereka memutuskan untuk berjalan menuju sumber air yang ada. Saat melewati ladang yang layu, Yanti tiba-tiba berhenti. “Lihat, ada beberapa tanaman yang masih bertahan! Mungkin kita bisa menyiramnya dengan air keruh itu.”
Mereka melanjutkan perjalanan, tetapi di tengah jalan, Rahmat teringat kenangan indah saat hujan turun. “Ingat waktu kita bermain hujan? Semua terasa begitu bebas dan penuh kebahagiaan. Sekarang, kita bahkan tidak bisa keluar tanpa khawatir akan kehausan.”
“Dan kita tidak perlu khawatir tentang makanan seperti sekarang,” jawab Rina, tersenyum pahit. “Sekarang, setiap butir air sangat berarti.”
Ketika mereka akhirnya sampai di sumber air, wajah mereka langsung terkejut. Air yang mengalir sangat keruh, berwarna coklat pekat, tetapi tampaknya itu satu-satunya pilihan yang mereka miliki. “Ini lebih buruk dari yang aku bayangkan,” Ahmad mengeluh. “Tapi kita tidak bisa menyerah. Kita harus memanfaatkan apa yang ada.”
Dengan ember-ember seadanya, mereka mulai mengisi air meskipun tampak kotor. Rahmat berusaha menenangkan teman-temannya. “Kita harus percaya, dengan usaha dan doa, segala sesuatunya bisa berubah,” ujarnya sambil melihat ke arah ladang yang mulai layu. “Mari kita siram tanaman ini, meskipun dengan air keruh.”
Mereka bekerja sama, mengangkat ember dan menyiram tanaman. Setiap tetes air yang jatuh tampak berharga. “Semoga ini cukup untuk memberi kehidupan pada tanaman-tanaman ini,” kata Yanti dengan penuh harapan.
Di tengah kerja keras mereka, Rahmat teringat saat-saat ketika mereka masih bisa menikmati segarnya air hujan. “Aku ingat waktu kita duduk bersama sambil mendengarkan hujan,” ucapnya. “Sekarang, hanya kerinduan yang tersisa.”
“Saya juga,” tambah Rina. “Hujan itu memberi semangat, membuat segalanya terasa lebih ceria.”
Di tengah cuaca yang semakin panas, kerinduan akan hujan tetap menyala di dalam hati mereka. Meskipun tantangan semakin berat, harapan akan hujan yang menyegarkan tetap menjadi sumber kekuatan bagi mereka untuk terus berjuang.
18.2. Kerinduan Universal
Di berbagai belahan dunia, kerinduan akan hujan tidak hanya dirasakan oleh Rahmat dan teman-temannya. Semua orang, dari pedesaan hingga perkotaan, merasakan dampak yang sama dari terik yang menyengat. Suasana semakin gersang, dan wajah-wajah yang dulunya ceria kini tampak lesu.
Di tengah padang pasir, sekelompok petani duduk melingkar, mengeluhkan nasib mereka. “Kapan hujan akan datang? Tanaman kita sudah mati semua,” keluh salah satu dari mereka. “Kami sudah berusaha, tetapi ini terlalu berat.”
“Di mana air yang dijanjikan?” tanya yang lain, matanya memandang langit biru yang tidak menunjukkan tanda-tanda hujan. “Setiap hari kita berdoa, tetapi tidak ada hasil.”
Sementara itu, di kota-kota besar, orang-orang berdesakan di pasar, mencari bahan makanan yang semakin langka. Suasana cemas terlihat di wajah mereka. “Ini bukan hanya soal makanan,” seru seorang pedagang. “Kita juga butuh air bersih! Bagaimana kita bisa hidup seperti ini?”
Di sebuah rumah yang sederhana, sebuah keluarga berkumpul di ruang tamu. “Anakku, kita harus berjuang,” kata seorang ibu. “Kita tidak boleh menyerah. Hujan pasti akan datang.”
“Tapi ibu, sudah lama sekali tidak ada hujan,” jawab si anak, wajahnya penuh rasa putus asa. “Bagaimana kita bisa bertahan?”
Keluarga itu berusaha menghibur satu sama lain, tetapi kerinduan akan hujan yang menyegarkan dan memberikan kehidupan sangat terasa. Di luar, terik matahari membuat udara terasa semakin berat.
Di tempat lain, seorang ulama di masjid mengumpulkan jamaahnya untuk berdoa bersama. “Mari kita memohon kepada Allah agar mengirimkan hujan,” ujarnya dengan penuh semangat. “Dalam kesulitan ini, kita harus bersatu dan berdoa dengan ikhlas.”
Orang-orang mengangkat tangan, menatap langit penuh harap, tetapi sinar matahari yang membakar hanya membalas dengan diam. “Ya Allah, turunkan hujanmu,” teriak seorang jamaah. “Kami sangat merindukannya!”
Kehidupan sehari-hari semakin sulit. Di ladang, tanaman layu, sementara di kota, keran-keran air tidak lagi mengalir. Setiap orang merasakan dampak dari krisis ini, dan harapan akan hujan menjadi satu-satunya penyemangat di tengah kesulitan.
“Jika hujan turun, semuanya akan kembali seperti semula,” kata seorang petani tua kepada anak-anaknya. “Kita harus percaya, hujan akan datang membawa berkah.”
“Tapi kapan, Pak?” tanya si anak dengan wajah bingung. “Kami tidak bisa menunggu selamanya.”
“Ya, kita hanya bisa berdoa dan berusaha,” jawab sang ayah sambil memandang ke langit. “Semoga Tuhan mendengar kita.”
Kerinduan akan hujan menyatukan semua orang di bumi. Dalam kesedihan dan keputusasaan, mereka berharap akan datangnya berkah dari langit. Sementara itu, terik matahari terus menyengat, dan harapan akan hujan menjadi cahaya yang menerangi jalan mereka di tengah kegelapan.
18.3. Tanah Retak dan Kepanikan
Panas yang menyengat mulai menggigit, dan ladang-ladang yang dulu subur kini terancam. Di mana-mana, tanah mulai retak, menciptakan garis-garis dalam yang menakutkan. Suara gemeretak terdengar seolah memberi peringatan akan bahaya yang semakin mendekat.
Di ladang, Rahmat dan teman-temannya berdiri memandangi tanah yang pecah. “Lihat, tanahnya sudah mulai retak! Kita tidak bisa terus begini,” seru Rahmat dengan nada panik. “Jika hujan tidak turun, tanaman kita akan mati semua.”
“Saya sudah tidak tahan lagi,” jawab salah satu temannya. “Kita butuh air, dan cepat! Ini bukan hanya soal makanan, tapi juga hidup kita.”
Di kota, kepanikan mulai menyebar. Di pasar, orang-orang berlarian mencari air. “Di mana kita bisa mendapatkan air bersih?” tanya seorang wanita, terlihat gelisah. “Air sumur kita semua kering!”
“Kalau begini terus, kita bisa mati kehausan!” teriak seorang pria, menggenggam botol kosong dengan penuh harapan.
Di masjid, ulama mencoba menenangkan para jamaah. “Saudara-saudara, mari kita berdoa kepada Allah. Hanya Dia yang bisa mengubah keadaan ini,” ajaknya, meskipun hatinya penuh kekhawatiran. “Kita harus tetap sabar.”
Namun, sabar menjadi semakin sulit ketika kenyataan yang ada begitu menyakitkan. Tanah yang retak menjadi simbol dari kesengsaraan dan ketidakberdayaan. Suara tawa dan canda yang biasanya menggema di desa-desa kini lenyap, digantikan oleh bisikan doa dan keluhan kesedihan.
“Siapa yang tahu kapan semua ini akan berakhir?” tanya seorang pemuda sambil menatap langit yang kosong. “Kita butuh hujan. Kita butuh harapan.”
“Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah berdoa dan berharap,” jawab Rahmat, berusaha menguatkan teman-temannya. “Hujan harus datang. Kita harus percaya.”
Tetapi keraguan semakin menyelimuti pikiran mereka. Dalam kepanikan dan kekhawatiran, harapan terasa semakin samar, dan semua orang bertanya-tanya apa yang akan terjadi selanjutnya.
18.4. Doa untuk Hujan
Di tengah kepanikan yang melanda, ulama mengumpulkan semua orang di masjid. Suasana di dalam masjid terasa berat, tetapi harapan akan turunnya hujan membuat semangat mereka tak padam. Dengan suara tegas, ulama berdiri di depan jamaah dan menyerukan, “Saudara-saudara, mari kita bersatu dalam doa. Kita akan sholat meminta hujan, agar Allah menurunkan rahmat-Nya kepada kita!”
Para jamaah mengangguk, meski rasa keraguan masih membayangi. Mereka semua merasakan dampak dari kemarau yang berkepanjangan. “Mari, kita tunjukkan iman kita. Semoga doa kita sampai kepada-Nya,” lanjut ulama.
Saat mereka bersiap untuk sholat, Rahmat memandang sekeliling. Banyak wajah yang terlihat letih dan lelah, tetapi ada pula harapan yang bersinar di mata mereka. “Semoga ini bisa membantu,” bisiknya kepada teman di sampingnya.
Sholat dimulai dengan khusyuk. Ulama memimpin dengan penuh penghayatan, mengangkat tangannya dan meminta semua jamaah untuk melakukan hal yang sama. “Ya Allah, turunkan hujan kepada kami. Kami sangat membutuhkan-Mu. Kami berserah kepada-Mu,” doanya, suaranya penuh pengharapan.
“Semoga kami menjadi hamba-hamba yang selalu ingat kepada-Mu,” lanjutnya. “Kami berdoa bukan hanya untuk diri kami, tetapi juga untuk bumi ini yang telah Kau ciptakan.”
Selama doa berlangsung, udara di dalam masjid terasa lebih tebal. Beberapa jamaah tak kuasa menahan air mata, merasakan betapa pentingnya momen ini. Mereka semua mengangkat tangan, seolah mengharapkan sinar cahaya dari langit.
Setelah sholat selesai, ulama berusaha memberikan semangat kepada jamaah. “Ingatlah, sahabat-sahabatku, Allah mendengar doa kita. Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Mari kita terus berdoa dan bersyukur atas segala nikmat yang masih ada.”
Saat jamaah beranjak keluar dari masjid, mereka berusaha mengingat kembali harapan yang ditanamkan ulama. “Kita tidak boleh putus asa,” kata Rahmat kepada teman-temannya. “Kita harus percaya bahwa hujan akan turun.”
Namun, saat mereka melangkah keluar, terik matahari kembali menyengat. Mereka menatap langit, berharap melihat awan gelap yang menandakan datangnya hujan. Di dalam hati, mereka menginginkan keajaiban untuk segera terjadi.
18.5. Pertanda Harapan
Keesokan harinya, suasana di desa terasa berbeda. Saat para penduduk bangun, mereka terkejut melihat langit yang sebelumnya cerah kini dipenuhi awan hitam. Suara gemuruh guntur jauh di atas kepala membuat hati mereka berdebar. “Apakah ini benar-benar hujan yang kita nanti-nantikan?” tanya Rahmat penuh harap.
“Lihat! Awan-awan itu terlihat berat. Sepertinya akan turun hujan!” jawab Amir dengan semangat. Para penduduk mulai berkumpul di luar rumah, menatap langit dengan penuh harapan. Dalam hati mereka, rasa syukur menyelimuti. Setelah berbulan-bulan menghadapi kemarau, hari ini bisa jadi awal dari kehidupan yang lebih baik.
Di tengah kerumunan, ulama berdiri dengan tenang, menatap ke arah langit. “Inilah jawaban doa kita! Allah mendengar seruan kita,” ujarnya dengan penuh keyakinan. Semua orang merasa terinspirasi oleh kata-kata ulama. Mereka mulai bersyukur atas tanda-tanda yang datang.
Saat awan semakin gelap, beberapa penduduk mulai menari kecil, merayakan harapan baru. “Ayo, kita persiapkan tempat untuk menampung air!” seru seorang warga. “Jangan sampai hujan ini terbuang sia-sia!”
Rahmat dan teman-temannya segera mengumpulkan wadah untuk menampung air. Mereka berlarian, tertawa, dan berbicara satu sama lain. “Kita harus bersiap! Siapa tahu ini hujan yang deras!” teriak Rahmat sambil mengangkat embernya.
Tak lama setelah itu, rintik hujan pertama mulai turun. Semua orang bersorak gembira. Rintik demi rintik berubah menjadi tetesan yang lebih besar, hingga akhirnya hujan deras mengguyur bumi. Mereka mengangkat wajah ke atas, membiarkan air hujan membasahi kulit mereka, sambil tertawa bahagia.
“Hari ini kita merayakan kehidupan!” teriak Amir. “Hujan ini adalah berkah dari Allah!”
Mereka semua berlari keluar, menari di bawah hujan, merasakan segarnya air yang turun setelah lama menunggu. “Semoga ini menjadi awal dari kehidupan yang lebih baik,” ucap ulama sambil tersenyum, merasakan kebahagiaan yang terpancar dari wajah-wajah jamaahnya.
Awan gelap menyelimuti langit, tetapi di hati mereka, cahaya harapan mulai bersinar. Dengan hujan ini, mereka berharap ladang-ladang yang mulai mengering bisa kembali hidup, dan kehidupan di bumi kembali bersemi.
18.6. Hujan yang Singkat
Setelah beberapa hari hujan deras mengguyur, semua orang di desa merasakan kebahagiaan yang tak terhingga. Tanah yang sebelumnya retak kini mulai menyerap air, dan ladang-ladang mereka mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. “Lihat, tanaman kita mulai tumbuh!” seru Amir sambil menunjuk ke arah ladang yang mulai hijau.
Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Setelah beberapa hari hujan, Allah kembali menahan airnya. Langit yang cerah tanpa awan muncul kembali, dan suhu mulai meningkat dengan cepat. Suasana yang seharusnya penuh harapan berubah menjadi ketegangan.
“Ini tidak mungkin!” teriak Rahmat saat ia melihat ladang mereka mulai mengering lagi. “Kita baru saja mendapatkan hujan, kenapa kemarau lagi?”
Ulama berkumpul dengan warga, mencoba memberikan pengertian. “Saudaraku, ini adalah ujian dari Allah. Kita harus tetap bersabar dan berdoa,” katanya dengan suara yang tenang. “Hujan yang kita terima adalah berkah, meski singkat. Namun, kita harus terus berusaha dan tidak putus asa.”
Tetapi kegelisahan di antara warga semakin meningkat. “Bagaimana jika kita tidak mendapatkan hujan lagi?” tanya salah satu warga dengan nada cemas. “Ladang kita sudah kembali mengering!”
“Tidak, kita tidak boleh berpikir seperti itu!” Amir menjawab, berusaha menenangkan. “Kita harus tetap berdoa dan melakukan usaha. Mari kita cari cara untuk menyimpan air saat hujan datang.”
Mereka mulai mendiskusikan ide-ide untuk mengumpulkan air hujan agar dapat digunakan ketika kemarau melanda. “Bagaimana kalau kita buat sumur? Atau mungkin kolam penampungan?” saran Rahmat.
Warga lain setuju, dan mereka mulai merencanakan proyek tersebut. “Kita harus bekerja sama,” ulama menambahkan. “Dengan kekuatan dan keyakinan, insya Allah kita bisa bertahan.”
Tetapi di tengah diskusi, rasa putus asa perlahan menyelinap. “Hujan singkat ini seolah hanya memperpanjang rasa lapar dan haus kita,” kata seorang warga lain. “Kita sudah terlalu banyak berdoa, tapi tak kunjung ada hasil.”
Ulama mencoba menenangkan. “Ingatlah, setiap ujian ada hikmahnya. Kita harus tetap bersyukur atas apa yang kita miliki dan terus berusaha. Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya yang beriman.”
Meskipun begitu, keraguan tetap menghantui mereka. Rindu akan hujan yang menyejukkan dan harapan akan masa depan yang lebih baik menjadi perbincangan di setiap sudut desa. Semua orang tahu, perjalanan ini masih panjang, dan mereka harus tetap bersatu menghadapi segala rintangan yang ada.