"Mas kamu sudah pulang?" tanya itu sudah menjadi hal wajib ketika lelaki itu pulang dari mengajar.
Senyum wanita itu tak tersambut. Lelaki yang disambutnya dengan senyum manis justru pergi melewatinya begitu saja.
"Mas, tadi..."
Ucapan wanita itu terhenti mendapati tatapan mata tajam suaminya.
"Demi Allah aku lelah dengan semua ini. Bisakah barang sejenak kamu dan Ilyas pulang kerumah Abah."
Dinar tertegun mendengar ucapan suaminya.
Bukankah selama ini pernikahan mereka baik-baik saja?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Yunus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rindu?
"Gus, bagaimana pendapat Antum soal laki-laki yang mau menikah lagi sebab istrinya sudah tidak cantik lagi? "
Irham yang di tanyai oleh Azril menoleh pada teman karibnya.
Kebetulan sedang ada perkumpulan di antara mereka, setelah kemarin pesantren mereka memborong berbagai macam penghargaan.
"Cantik itu mahal, biaya salon itu mahal, belum lagi bedak, makeup, perawatan, baju dan biaya SPA." celetuk Ning Ndari yang masih satu angkatan dengan mereka. Bisa dikatakan teman sejawat.
Irham tersenyum tipis.
Kebetulan disana tidak hanya mereka, tapi banyak santriwati yang seolah penasaran dengan pendapat Irham.
"Wahai akhwat, kalau cantik ala shohabiat atau putri Rasulullah itu tidaklah mahal. Cantik islami itu tidak mahal. Kalau cantik segi akhlak dan ilmu itu tidaklah mahal. Kalau cantik dari aura hati yang bersih itu tidaklah mahal. Kalau cantik dari aura kepribadian dan jiwa yang kuat itu tidaklah mahal. Yang mahal itu adalah cantik ala zaman now, cantik ala zaman jahiliyah modern.
Kosmetik menjadikan wanita menjadi diri yang berbeda, kosmetik menjadikan wanita merasa cantik dan tanpanya merasa jelek. Padahal media dan lingkungan yang telah menciptakan kecantikan palsu dengan mekeup.
Padahal cantik alami adalah yang terbaik, wanita bisa cantik tanpa mekeup, wanita bisa cantik tanpa bedak dan lipstik, dan ingatlah semua wanita cantik dengan versinya masing-masing.
Apalagi saat dirimu cantik dengan hati yang baik, akhlak yang mempesona, ilmu agama yang luas dan rasa malu yang tinggi."
Siapapun mengagumi kepribadian Irham yang santun dan ramah.
Ning Ndari merasa sedikit malu pendapatnya di patahkan oleh Irham, sungguh beruntung wanita yang bisa dipersunting oleh laki-laki yang memiliki pengetahuan luas tentang agama. Pikir semua yang ada disana, termasuk Umi Zalianty selaku ibu mertua Irham.
Sementara Azril masih menunggu jawaban dari pertanyaannya.
"Jika suami menginginkan untuk menikah lagi, karena rasa bosan terhadap istrinya, yang menurutnya sudah tak nampak cantik lagi, maka boleh-boleh saja jika Antum melakukan cerai.
Mengapa? Karena boleh jadi, jika Antum tetap mempertahankan istri Antum, maka mungkin rasa tidak nyaman yang Antum rasakan akan membuahkan hasil berupa rasa sakit kepada istri Antum, akibat tingkah Antum yang berubah kepadanya.
Namun, jika Antum memiliki kemampuan ekonomi yang cukup baik, maka hal yang teringan bagi wanita ialah melakukan poligami.
Apalagi jika sudah memiliki anak. Hanya saja, jika Antum melakukan hal ini, dan memilih untuk menikah lagi dengan wanita yang menurut Antum lebih cantik, maka boleh jadi ada suatu hal yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Jika Antum memilih menikah lagi dengan wanita yang lebih cantik, maka bisa saja wanita itu bersikap angkuh atau tidak sopan, atau ia berlaku buruk kepada Antum atau mungkin kepada keluarga Antum. Jika sudah demikian, apa yang akan Antum lakukan?
Hal terbaik yang Antum dapat lakukan, dan hal ini perlu Antum pikirkan secara matang, berusahalah untuk melihat masalah ini dari sisi yang lain. Sehingga, barangkali Antum akan banyak menemukan sisi-sisi positif dari istri Antum. Sebab, ketahuilah bahwa kecantikan bukanlah segalanya.
Banyak Bergaul dengannya
Antum dapat melihat suatu hal yang manjadi daya tarik atau sisi positif istri dengan banyak bergaul dengannya. Dengan seringnya bergaul, maka rupa itu akan terkalahkan. Karena seiring dengan berjalannya waktu Antum akan terbiasa dengan sebuah rupa, dan tinggallah pergaulan yang menjadi ukuran.
Allah SWT berfirman, “Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak,” (QS. An-Nisa: 19)."
"MasyaAllah...." puji Azril untuk jawaban yang diberikan sahabat karibnya.
"Sungguh beruntung wanita yang menjadi istri Antum Ham." puji Ning Ndari kini lebih terus terang.
Irham bukannya tersanjung malah justru teringat dengan Dinar. Kenapa dia pandai menasehati orang lain sementara dia sendiri baru saja melakukan suatu dosa.
Meminta istrinya pulang kerumah orang tuanya sudah seperti melepaskan satu tanggung jawabnya.
Astaghfirullah. Irham beristighfar dalam hati.
Acara kumpul bersama itu usai sebelum masuk ashar, setelah melakukan shalat bersama Irham berencana untuk menjemput Dinar. Jujur dia tertampar dengan perkataannya sendiri ketika memberi jawaban atas pertanyaan sahabatnya.
Irham menghembuskan nafas kasar. Pintanya sebenarnya tidak muluk-muluk, ia kerja, apa harus juga masak? Apa harus juga membersikan rumah? Dinar bahkan tidak perduli saat ia mengerjakan itu semua. Dinar hanya sibuk dengan Ilyas. Dinar istri, ia suami, tapi nampaknya Dinar lupa akan hal itu. Boleh manja, tapi jangan keterlaluan, dia bukan lagi gadis yang hidup enak dengan orang tuanya yang berkecukupan. Dia tinggal bersamanya sekarang. Laki-laki yang bernasib mujur bisa di pilih oleh orang terpandang seperti ayah mertuanya.
Irham belum mampu memberikan pembantu untuk mengurus segala isi rumah. Tidak memiliki cukup uang untuk itu semua. Irham malu jika sampai mertuanya membantu perekonomian mereka. Apa tidak bisa Dinar membantunya sedikit saja urusan rumah?
Irham menyadari dia sudah tidak selembut dulu pada Dinar, ia teramat kasar sekarang. Nampaknya imannya juga masih setipis tisu.
*****
Ternyata Irham tidak bisa diwujudkan niatnya untuk menjemput Dinar dan Ilyas.
Sampai saat ini ia masih berada di pondok. Hari ini pondok pesantren Al-Hasan kedatangan sembilan santri baru. Tentu sebagai penanggung jawab Irham menyiapkan segala sesuatunya untuk keperluan santri-santri tersebut.
Irham merasa tubuhnya amatlah letih. Diliriknya gawai di atas meja.
Aneh, dia merasa rindu suara riuh Dinar.
Irham dilema, ingin menghubungi tapi apa yang nanti dikatakan pada Dinar.
Memintanya pulang?
Duh, kenapa jadi ruwet gegara dirinya yang plin plan.
Ia berdehem lalu menekan telepon dengan nama Umi Ilyas.
["Halo, Assalamualaikum. Mas."] tiba-tiba suara lembut perempuan membuat jantungnya berdetak kencang. Mengapa suara Dinar begitu lembut malam ini?
Irham mencoba menetralkan detak jantungnya sendiri. "Kamu ... Kenapa pergi tanpa pamit?" alih-alih mengatakan isi hati nya, Irham malah menodong dengan pertanyaan ketusnya.
["Maaf."] Apa? Hanya maaf saja? Irham kesal sekali dibuatnya.
"Kamu itu masih istri ku, kemanapun harus dengan izinku, mau di laknat malaikat karena pergi tanpa izin suamimu?" Astaghfirullah, kenapa ia malah mencecar istrinya begitu. Tolol kau, Irham!
Tak terdengar jawaban dari Dinar membuat Irham kalang kabut. "Dinar?" panggilnya dengan intonasi lebih rendah.
["Ya?"] jawabnya lirih sedikit serak. Menangis kah Dinar?
"Maaf, aku nggak bermaksud marah ke kamu. Kapan kalian pulang?" Aku rindu. Bagian rindu tak Irham ungkapkan. Ia gengsi.
["Belum tahu."] suara itu masih sama terdengar serak.
"Kamu nangis, Yank?" tanya Irham tanpa sadar kembali memanggil sang istri Yank sama seperti awal-awal menikah dulu.
Tak ada jawaban dari sebrang sana, membuat Irham kembali kalang kabut. Ia seolah takut mengakhiri percakapannya dengan Dinar. Padahal dulu ia amat malas karena Dinar begitu cerewet.
["Mas, Ilyas bangun, aku matikan dulu."]
"Yank..."
Ia melihat gawainya yang sudah kembali ke wallpaper awal. Ya Allah, kenapa jadi sedih begini?