Ketika Naya, gadis cantik dari desa, bekerja sebagai babysitter sekaligus penyusui bagi bayi dari keluarga kaya, ia hanya ingin mencari nafkah jujur.
Namun kehadirannya malah menjadi badai di rumah besar itu.
Majikannya, Ardan Maheswara, pria tampan dan dingin yang kehilangan istrinya, mulai terganggu oleh kehangatan dan kelembutan Naya.
Tubuhnya wangi susu, senyumnya lembut, dan caranya menimang bayi—terlalu menenangkan… bahkan untuk seorang pria yang sudah lama mati rasa.
Di antara tangis bayi dan keheningan malam, muncul sesuatu yang tidak seharusnya tumbuh — rasa, perhatian, dan godaan yang membuat batas antara majikan dan babysitter semakin kabur.
“Kau pikir aku hanya tergoda karena tubuhmu, Naya ?”
“Lalu kenapa tatapan mu selalu berhenti di sini, Tuan ?”
“Karena dari situ… kehangatan itu datang.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nuna Nellys, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7. Batas yang mulai kabur
...0o0__0o0...
...Begitu langkah Naya menghilang di balik pintu, suasana ruang keluarga berubah drastis....
...Keheningan tebal menyelimuti ruangan itu....
... Hanya terdengar napas berat Maria yang masih berusaha menata amarah-nya....
...Arya duduk kembali, mencoba tetap tenang, namun dari sudut matanya tampak jelas: rahangnya mengeras, menahan sesuatu yang hampir meledak....
...Maria menatap putranya tajam, kedua tangan-nya masih gemetar karena marah....
...“Lihat apa yang kau biarkan terjadi, Arya,” suaranya bergetar tapi penuh gengsi. “Karan menyerang ku, dan kau hanya berdiri melihat—seolah semua ini lucu!”...
...Arya menarik napas panjang, menatap ibunya lurus. “Dia hanya anak satu tahun, Ma. Dia tidak tahu apa-apa.”...
...“Tidak tahu ?” Maria tertawa sinis, getir. “Atau... kau memang sengaja membiarkan-nya karena merasa puas melihat ibumu di permalukan di rumah sendiri ? Babysitter itu tidak becus merawat anakmu, Arya."...
...“Cukup, Ma,” potong Arya dingin, nada suaranya turun satu oktaf. “Jangan membesar-besarkan hal sepele.”...
...Namun kata-kata itu justru menyulut bara di dada Maria. Ia berdiri lebih dekat, menatap putranya dengan mata berkaca tapi tajam seperti belati....
...“Sejak kapan kau membela orang luar lebih dari keluarga mu sendiri ?” katanya bergetar....
...“Gadis itu — siapa pun dia — hanya babysitter. Orang upahan! Tidak pantas kau pandang apalagi kau perlakukan dengan istimewa begitu!”...
...Arya terdiam, tapi tatapannya tajam. “Naya bekerja keras merawat anakku, Ma. Dan dia tidak salah apa-apa.”...
...Maria melangkah maju, napasnya memburu....
...“Itu justru masalah-nya!” suaranya meninggi, bergetar antara marah dan kecewa. “Kau terlalu memperhatikan dia!”...
...Telunjuknya gemetar, menuding dada Arya. “Tatapan mu itu bukan sikap seorang majikan terhadap bawahan-nya!”...
...“Cukup, Maria.”...
...Nada Giorgio rendah, tapi tajam seperti belati. ...
...Satu kata darinya cukup membuat udara di ruangan itu membeku....
...Maria menoleh, menatap suaminya dengan mata memerah. “Kau juga mau membelanya ?” suaranya parau. “Babysitter itu sudah mengajarkan hal buruk pada cucu kita!”...
...Giorgio menatapnya lama. Tatapan yang dingin, tapi mengandung bara yang di tahan. ...
...“Karan hanya seorang bayi, Maria,” katanya perlahan, tapi tegas. “Bayi satu tahun tidak tahu apa-apa. Yang harus belajar bersikap itu justru kamu.”...
...Laki-laki paruh baya itu menatap Maria dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. “Rapikan penampilan mu, sebelum orang lain tertawa melihat mu seperti itu.”...
...Maria terpaku. Wajahnya pucat, matanya membulat tak percaya. Suara hatinya seolah membentur dinding—antara marah, malu, dan terluka....
...“Jadi begitu sekarang ?” bisiknya getir. “Kau berani menghina ku di depan anakmu sendiri ?”...
...Giorgio tak menjawab. Hanya diam, dengan tatapan yang tak lagi mengenal kasih....
...Maria menggigit bibir bawahnya, menahan tangis yang hampir pecah. “Kau dengan anakmu sama saja,” katanya akhirnya, suaranya serak, nyaris bergetar. “Sama-sama tak tahu diri.”...
...Maria berbalik, melangkah naik ke lantai atas tanpa menoleh lagi. Suara langkah sepatunya menggema di lantai marmer dingin, berat, dan penuh amarah yang tak tersalurkan....
...Keheningan menyelimuti ruangan itu....
...Giorgio berdiri tegak, matanya mengikuti langkah istrinya yang menghilang di tikungan tangga. Lalu perlahan, ia menatap putranya....
...Tatapan mereka bertemu, antara dua bara yang saling menantang....
...“Kau tidak bisa mendidik istrimu ?” suara Arya terdengar rendah, tapi tegas. “Sikapnya makin menjadi-jadi.”...
...Giorgio geram, matanya menyipit. “Kau...” suaranya datar. “Berani bicara seperti itu pada ayahmu ?” ...
..."Why Not ?" Balas Arya santai....
...Giorgio menatap Arya dengan tajam, suaranya datar. "Aku sudah berusaha, Arya. Tapi sepertinya aku memang gagal. Mungkin Karan bisa memberinya pelajaran, karena aku sudah kehabisan akal."...
...Arya hanya mengangkat bahu, lalu berbalik dan meninggalkan Giorgio yang masih berdiri dengan ekspresi frustrasi. "Karan punya hal lain yang harus di lakukan," katanya singkat sebelum pergi....
...0o0__0o0...
...Di dalam kamar ruang tamu yang terlihat besar dan rapi, Naya tampak gelisah....
...Karan sudah tertidur pulas, perutnya kenyang setelah menyusu....
...Namun Naya justru memegangi dadanya yang terasa nyeri. Saat menunduk, matanya melebar—bagian depan bajunya basah oleh ASI yang merembes keluar....
...“Aduh…” desisnya lirih sambil menggigit bibir. Ia bergegas ke arah sofa dan meraih tas besar miliknya....
...Tangan-nya bergerak cepat, mengeluarkan barang satu per satu....
...“Astaga, mana sih alat pompanya ?” gumam-nya kesal, menahan nyeri yang makin terasa....
...Isi tas sudah berantakan, tapi alat yang Naya cari tak juga di temukan....
...“Sial… padahal aku yakin udah masukin ke sini!” rutuknya sebal. “Gak mungkin juga kan pompa ASI bisa jalan sendiri.” Dumel-nya semakin sebal....
...Naya akhirnya menjatuhkan diri di sofa, menarik napas panjang. Ia membuka kancing bajunya yang sudah basah dan melemparkan-nya asal ke sandaran....
...“Ssttt… sakit banget,” desisnya lirih sambil memijat lembut dadanya, mencoba mengurangi tekanan yang terasa. Cairan hangat itu terus mengalir, membuatnya semakin tak nyaman....
...Ceklek..!...
...Suara pintu terbuka tiba-tiba membuat Naya menoleh cepat....
...Arya masuk tanpa mengetuk, langkahnya mantap, pandangan-nya langsung tertuju ke arah ranjang—tempat sang putra tertidur lelap....
...Namun begitu matanya bergeser, pandangan itu bertemu dengan Naya....
...Gadis itu sontak menegakkan tubuh, wajahnya berubah cerah seolah baru menemukan jalan keluar....
...Dengan cepat ia berdiri, menahan rasa nyeri di dadanya, lalu menghampiri Arya dengan langkah lebar....
...Naya mendekat dengan wajah setengah meringis....
...“Tuan Arya… untung anda datang.” Suaranya terdengar lega, nyaris seperti permohonan....
...Arya menatapnya heran. “Kenapa ?" tanyanya datar, tapi kalimat itu langsung tertahan begitu matanya menatap lebih jelas keadaan Naya....
...Tubuh atas Naya hanya berbalut bra putih. Kulit di bawahnya tampak basah, dan gadis itu hanya memakai shorts pendek tipis yang mencetak lekuk tubuh sexy-nya....
...Dari sana, Duda itu bisa menebak apa yang sebenar-nya terjadi....
...Sekilas, napas Arya tertahan. Tatapan matanya tidak lepas mengamati tubuh Naya dari atas sampai bawah. Cantik dan meng-goda secara bersamaan....
...Glek..!...
...Duda itu menelan ludahnya kasar. Jakunnya naik-turun dengan berat. Seketika pusaka-nya langsung terbangun dan berontak di dalam sangkarnya....
...Naya buru-buru menutupi dada dengan tangan, menyadari betapa canggung situasi-nya....
...“Ma—maaf! Aku nggak sengaja…” katanya gugup, wajahnya langsung memerah. “Aku cuma—aduh, ini nyeri banget, pompanya nggak ketemu—”...
...Arya segera memalingkan wajah, menelan ludah pelan. “Kau… kenapa bisa seceroboh ini ?”...
...“Seingat ku sudah memasukkan-nya ke dalam tas,” jawab Naya dengan nada hampir menangis. “Aku bener-bener nggak tahu kenapa alat pompa-nya tiba-tiba nggak ada, Tuan.”...
...Beberapa detik hening membentang....
...Hanya terdengar napas keduanya dan detak jam dinding yang berdetak lambat....
...Arya akhirnya menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Ia menatap sekilas Karan yang terlelap di ranjang, lalu kembali menatap Naya....
...“Tempat ini jauh dari marketplace,” ujarnya tenang tapi tegas. “Butuh waktu hampir satu jam untuk membeli alat itu..." Ia menjeda ucapan'nya, "Apa kamu bisa menunggu ?”...
...Naya menatap-nya dengan wajah putus asa. “Serius, Tuan ? Saya bisa kejang kesakitan jika begitu.” desisnya sambil menahan perih di dadanya....
...Arya mengangguk pelan, ekspresinya datar. “Tidak ada cara lain… saya akan bantu dengan caraku.”...
...Naya mengerjap, bingung sekaligus malu. “Tapi… dengan cara apa, Tuan ?”...
...Arya menatapnya sesaat — sorot matanya tegas tapi lembut. Ia lalu berdeham kecil dan berkata, “Ada cara sederhana, tanpa alat. Tapi kau harus tenang dan percaya padaku.”...
...Naya menatapnya, bingung tapi tak punya pilihan lain. “Baiklah… saya percayakan pada Tuan Arya,” katanya pelan....
...Suasana di ruangan itu mendadak berubah sunyi....
...Tidak ada yang berbicara, hanya keheningan yang terasa berat keheningan yang anehnya, membuat udara di antara mereka terasa semakin berat....
...0o0__0o0...