Novel ini menggunakan POV 1 (Lydia). Apabila ada yang mengatakan arti keluarga adalah motivator terbaik, tempat memberikan ketenangan, tempat bersandar paling nyaman. Nyatanya itu semua tidak di dapatkan oleh Lydia. Ia terpaksa mengambil keputusan bekerja menjadi pembantu. Bukan karena dia kekurangan uang, hanya saja Lydia merasa bahwa rumah masa kecilnya sudah tidak senyaman dulu.
Lydia adalah anak sulung dari tiga bersodara, usianya kini sudah 36tahun, tiga adik perempunya sudah menikah. Hanya ia sendiri yang belum menemukan jodohnya. Gunjingan dari tetangganya terus ia dengar hingga ia tidak kerasa lagi tinggal dikampung halamannya dan juga keluarga. Mirisnya lagi bukan hanya tetangga, tetapi ketiga adiknya pun seolah memusuhi dirinya dengan alasan ia akan merebut suami mereka. Rumah dan lingkungan yang dulu nyaman, kini menjadi tempat yang ingin ia hindari.
Mampukah Lydia mendapatkan arti keluarga yang sesungguhnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ocybasoaci, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kerja Sama, Tawaran Majikan
Aku menyeka air mataku dengan punggung tangan ketika berpamitan dengan teman-teman satu profesiku. Meskipun aku baru bekerja satu minggu dan juga aku pergi bukan untuk tidak bertemu dengan mereka lagi, tetapi entah mengapa rasa untuk meninggalkan mereka sangat berat, itu semua karena mereka sangat baik, setiap malam kita tidur dalam satu kamar yang ukuranya sama dengan kamar majikan kami, dan tidak seperti kamar pembantu pada umumnya. Kamar kami dilengkapi pendingin ruangan dan kamar mandi di dalam, serta terdapat satu TV sangat persis dengan kamar majikan kami.
Jujur aku pun kalau diminta untuk bekerja tetap di rumah Nyoyah Misel mau banget, tetapi perjanjian aku adalah bekerja untuk di rumah putranya, sehingga meskipun berat aku tetap harus mengikuti apa yang dari awal sudah digariskan untuk aku.
"Kamu sudah siap Lyd?" tanya Nyonya Misel, yang mungkin beliau tahu kalau aku habis menangis. Udah kayak mau pisah jauh dan tidak bertemu lagi padahal kan aku juga akan sering main ke rumah Nyonya Misel, sehingga pasti akan sering ketemu. Tapi beginilah ketika aku merasa bertemu dengan keluarga baru, hangat dan kasih sayangnya sangat terasa, berat untuk berpisah.
Aku mengangguk. "Sudah Nyah," jawabku meskipun Nyonya Misel membiasakan dengan sebutan mamih, tetapi rasanya aku terlalu tidak tahu diri apabila ikut-ikutan memanggil mamih sama dengan putra putrinya. Yah, meskipun beberapa asisten rumah tangga ada juga yang membiasakan dengan sebutan mamih.
"Kalau gitu ayok buruan, udah cape banget pengin rebahan," ujak Den Aarav, dan tanpa basa basi aku pun mengekor di belakangnya. Tentu setelah berpamitan dengan Nyoyah Misel, beliau juga tidak lupa memberiku nasihat sama persis dengan teman-temanku tadi ketika aku berpamitan akan pindah ke rumah Den Aarav.
"Lydia, mamih nitip Aarav yah, besar harapan mamih kalau kamu adalah asisten rumah tangga yang cocok untuk dia. Pusing mamih kalau harus ganti-ganti lagi, mamih sudah cocok dengan kamu dan mamih juga penginya Aarav pun sama cocok dengan kamu. Pesan mamih, kalau Aarav marah atau pun bicaranya agak tinggi kamu jangan sakit hati yah, kamu sabar-sabarain, kalau ada yang bikin kamu kurang nyaman kerja sama Aarav kamu bisa sampaikan sama mamih, biar nanti mamih tegur dia, kamu jangan langsung ingin keluar dan nangis-nangis. Aarav tidak suka, dan dari sekian banyak yang sudah bekerja dengan dia, rata-rata mereka berhenti kerja karena sifat anak mamih sih. Dia kadang marah dengan siapa dan yang jadi sasaran siapa dan termasuk pembantu di rumahnya jadi mereka langsung baper dan nangis hal itu jadi bikin Aarav kesal dan memecatnya. Semoga kamu bisa lebih sabar ngadapain anak mamih yah." Itu adalah pesan Nyonyah Misel yang diucapkan secara berbisik agar putranya tidak mendengar.
Hatiku langsung tergerak ketika cara menjelaskan beliau yang sangat lembut dan tahu cara menghargai kami sebagai asisten rumah tangga. "Nyoyah jangan khawatir. InsyaAllah saya akan berusaha sabar," jawabku dengan memberikan senyum terbaik.
"Kamu duduk di depan." Aarav langsung menunjuk kursi penumpang depan, ketika tanganku baru memegang knop pintu mobil bagian belakang. Aku pun langsung patuh mengikuti kata beliau duduk di samping kemudi. Meskipun jujur ini pertama bagiku berada dengan lawan jenis yang tidak aku kenal cukup dekat seperti ini.
"Tadi nama kamu siapa?" Aarav yang pertama kali membuka obrolan di antara kami, bisa aku simpulkan bahwa beliau memiliki kesamaan dengan Nyoyah Misel kalau dirinya itu mudah akrab dengan orang baru. Buktinya dia lebih dulu membuka obrolan dan mencairkan suasana, di saat aku sendiri masih bingung berpikir apa yang harus aku lakukan agar tidak cangung.
"Nama saya Lydia, Den," jawabku dengan menunduk dan bermain jari jemariku untuk mengurangi kegugupanku.
"Usia berapa?" tanyanya lagi. Sejujurnya aku sudah merasa kurang nyaman ketika bertanya pada usia pasti ujungnya akan bertanya pada setatus, tetapi aku lagi-lagi berusaha mengerti memang demikian adanya di negara ini akan selalu menanyakan hal semacam itu, tentu aku juga berharap majikan aku yang bernama Aarav ini tidak akan mempermasalahkan setatusku apalagi memperoloknya. Ah bisa-bisa aku langsung merasakan kurang betah.
"Jalan tiga puluh enam tahun Den," jawabku masih menunduk, rasanya jantung ini masih saja tidak mau diajak bekerja sama, selalu saka memompa darah lebih cepat hingga aku merasa sekujur tubuhku menghangat.
"Udah menikah? Punya anak atau masih sendiri?" tanyanya lagi. Yah, aku mengerti mungkin ini proses interview.
"Single Tuan," jawabku dengan jujur, aku melihat majikanku langsung memalingkan wajahnya padaku, dari ekor mataku aku pun misa melihat sekilas bahwa tatapan majikanku dari ujung kepala hingga ujung kakiku, tetapi aku bersikap biasa saja, tatapan seperti itu sudah biasa aku temukan di kampung halamanku, bahkan tatapan yang lebih menguliti pun aku biasa temukan.
"Mohon maaf dalam arti sendiri itu, kamu sudah berpisah dengan pasangan, janda, atau justru kamu yang benar-benar masih sendiri belum pernah menikah?" tanya Aarav ulang.
"Sendiri belum pernah menikah. Lagi-lagi bibir ini menjawab dengan lancar.
Aku melihat kalau majikan aku menaik turunkan kepalanya tanda mengerti atau entahlah aku tidak ingin kepo, yang terpenting aku datang ke rumah dia untuk bekerja dan mencari pengalaman yang baru.
Perjalanan kami pun kembali di landa kebisuan, ketika Aarav tidak lagi melemparkan pertanyaan, di situ aku juga sebagai introvert, jujur aku sulit untuk membuka sebuah obrolan, rasanya apa yang ingin aku buka obrolanya terasa sia-sia dan juga akan berakhir dikacangin. Sehingga aku pun memilih diam dan akan menjawab ketika majikan aku juga bertanya.
"Ngomong-ngomong, Mamih dan asisten rumah tangga di rumah Mamih, sudah memberitahukan kerja kamu kan?" tanya majikan aku kembali membuka obrolan.
"Sudah Den, saya sudah mencatatnya di buku catatan, hanya soal masakan yang belum saya ketahui," jawabku dengan yakin, bahkan saking semangatnya aku bekerja di rumah majikan aku, aku sampai menghafal catatan yang Nyonya Misel berikan, pokoknya aku seperti hafalan ketika kita akan melakukan ujian.
"Ok baik deh, kalau soal masakan sebenarnya aku gampang. Kalau pagi aku akan sarapan asal sesuatu yang kamu masak bukan masakan berat, seperti karbohidrat yang berat dan berlebihan, aku suka ringan-ringan saja, protein dan serat serta sedikit karbohidrat, jadi kalau kamu mau menyajikan sarapan masak yang banyak serat dan protein saja," jelas majikanku dan aku pun mengangguk tanda mengerti.
Tidak lama mobil yang ditumpangi kami pun mulai memasuki perumahan yang bisa aku simpulkan kalau sebentar lagi akan sampai di rumah majikanku. Rasanya tidak sabar ingin segera tahu seperti apa rumah tempatku bekerja.
"Ck... ngapain lagi sih dia ke rumahku," desis majikanku, yang aku sempat berpikir apa yang barusan aku dengar ditujukan untukku, tetapi beberapa saat kemudian aku bernafas lega bahwa apa yang laki-laki itu ucapkan bukan ditujukan untuk aku, melainkan untuk wanita cantik, dan seksi yang berdiri di depan pintu pagar.
Yah, aku sudah tahu kalau saat ini kita sudah sampai di rumah Aarav.
"Lydi... bukanya kamu tadi bilang kalau kamu belum menikah?" tanya majikan aku, tapi justru aku lebih fokus dengan panggilan laki-laki tanpan yang saat ini duduk di sampingku. Lydi (baca Lidi) aku sempat terheran kenapa bisa terpikirkan dengan panggil sapu lidi. "Tepuk Cidat."
"Iya Den," jawabku dengan lesu, siapa yang tidak lesu namaku Lydia dipanggil Lidi, aku berasa menjadi sapu terbang.
"Di depan rumah aku itu adalah mantan istri aku, kita sudah berpisah hampir tiga tahun, dan kali ini dia sedang getol-getolnya ingin mengajak balikan bahkan meminta harta gono gini segala macam, sedangkan perceraian kita karena dia selingkuh dengan teman aku sendiri sehingga berkat keputusan bersama tidak dapat harta apapun. Aku ingin menawarkan kerja sama," ucap majikan aku, sembari jari telunjuk menujuk pada wanita yang sedang berjalan menghampiri kendaaraan kita.
"Kerja sama apa Den," jawabku heran.
Baru datang bahkan belum masuk rumah sudah diajak kerja sama ajah Lidi.
"Kamu jadi istri pura-pura aku. Aku akan katakan pada wanita itu kalau kamu istri baruku, hanya untuk kewanita itu saja, biar dia tidak ganggu aku lagi," jelas Aarav, sontak saja aku kaget belum dua belas jam bertemu, tetapi sudah menawarkan pekerjaan aneh ini. "Pura-pura jadi pasangan suami istri."
#Saran nih, kira-kira baiknya diterima tidak yah...?