Nabila Althafunisa tiba-tiba saja harus menikah dengan seorang pria bernama Dzaki Elrumi Adyatama, seorang pria yang usianya 10 tahun lebih muda darinya yang masih berstatus mahasiswa di usianya yang sudah menginjak 25 tahun. Dzaki tiba-tiba saja ada di kamar hotel yang Nabila tempati saat Nabila menghadiri pernikahan sahabatnya yang diadakan di hotel tersebut.
Anehnya, saat mereka akan dinikahkan, Dzaki sama sekali tidak keberatan, ia malah terlihat senang harus menikahi Nabila. Padahal wanita yang akan dinikahinya itu adalah seorang janda yang memiliki satu putra yang baru saja menjadi mahasiswa sama seperti dirinya.
Siapakah Dzaki sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Kesempatan Sekali Seumur Hidup
Keesokan harinya, Nabila bersiap di kamarnya. Ia memakai pakaian yang waktu itu Dzaki belikan untuknya. Nabila sengaja menggunakannya karena ia ingin memperlihatkannya pada Dzaki saat ia bertemu nanti.
Terdengar pintu diketuk dan kemudian dibuka, "Bun, aku..."
Sontak Hazel terpana melihat sang ibu. Nabila yang berparas cantik terlihat jauh lebih mempesona karena pakaian yang digunakannya. Nabila juga nampak jauh lebih muda dengan setelan kemeja oversize dan celana jeans longgar bergaya flare pants.
"Bunda, itu baju baru?"
"Iya, bagus gak?" tanya Nabila sambil memakai hijabnya.
"Cantik sih, tapi Bunda jadi makin kelihatan muda banget. Kalau jalan sama aku ke mall, pasti udah disangka pacar aku," gerutu Hazel.
"Kamu paling bisa muji Bunda. Kamu mau pergi sekarang?"
"Iya. Aku main sama Leoninya bentar aja kok. Udah gitu aku langsung ngumpul sama anak-anak klub. Sebelum sore aku juga udah pulang."
"Ya udah hati-hati. Inget ya jangan kebawa-bawa yang gak bener."
"Iya, Bun. Aku bakal di zona aman. Bunda tenang aja ya," ujar Hazel menenangkan.
"Ya udah."
Hazel menampakkan wajah manjanya. "Bun, aku minta uang mingguannya lebih awal boleh gak?"
"Bunda udah transfer, kok. Coba dicek."
Wajah Hazel sumringah, ia membuka aplikasi m-bankingnya. "Kok banyak banget, Bun?" tercengangnya.
"Ada yang nitipin uang ke Bunda. Minta buat dikasihin ke kamu."
"Siapa? Kok baik banget ngasih aku segini banyak?"
"Coba tebak."
"Nenek? Apa Oma? Tapi kayaknya gak mungkin? Apa temen-temen Bunda? Tante Gina and the gank?"
Nabila hanya tersenyum seraya menggunakan lip cream tipis ke bibirnya.
"Baik banget emang temen-temen Bunda. Bilangin makasih ya, Bun." Hazel menyimpulkan.
"Tapi inget buat ditabung sebagian ya."
"Okay deh, Bun. Aku pergi ya," Hazel menghampiri sang ibu dan mencium tangannya. "Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Sebelum tangan sang ibu terlepas dari tangannya, manik Hazel menangkap sebuah cincin asing yang melingkar di jari manis Nabila. "Ini baru juga?"
Nabila tersenyum. Sengaja ia memperlihatkannya pada Hazel. "Iya. Udah sana kamu pergi."
"Wah, Bunda lagi banyak rejeki gara-gara kemarin ke Bali. Syukur deh kalau gitu, ntar traktir aku ya, Bun."
"Iya, nanti kita makan di tempat favorit kamu."
"Bener ya, Bun," Hazel begitu sumringah. "Aku pergi."
Kemudian Hazel pun meninggalkan kamar sang ibu. Setelah bersiap, Nabila mengunci pintu dan bergegas pergi bersama mobilnya.
Tepat saat akan memasuki mobil, sebuah mobil berhenti di depan pagar rumah Nabila. Kaca mobil itu turun dan Nabila bisa melihat Dzaki yang mengemudikan mobil itu.
"Aku jemput kamu, Yang. Ayo naik," ajak Dzaki.
Nabila pun kembali mengunci mobilnya dan juga pagar rumahnya. Kemudian Dzaki sudah berada di belakangnya, membukakan pintu penumpang untuk sang istri. "Silahkan masuk, Tuan Putri."
"Makasih, Mas," Nabila tersipu kemudian masuk ke kursi penumpang.
Kemudian Dzaki mengitari kap mobil dan seketika ia sudah berada di kursi kemudi lagi. "Kita berangkat?"
Nabila mengangguk seraya menggunakan seat beltnya.
Mobil pun mulai bergabung di jalanan ibukota.
"Istriku kenapa ya selalu aja cantik setiap kali aku lihat," puji Dzaki membuat Nabila mengulum senyumnya.
"Apa sih, Mas. Aku biasa aja, kok," ujar Nabila. "Makasih ya ini bajunya."
"Jadi itu baju yang waktu kita ke butik waktu itu?"
"Iya, Mas. Dan makasih juga, uang jajannya udah aku sampein ke Hazel."
"Makasih, Yang. Semoga Hazel seneng nerimanya."
"Dia seneng banget dan bilang makasih."
"Syukur kalau gitu." Kemudian Dzaki melihat cincin pernikahan mereka melingkar di jari manis sang istri. Diraihnya tangan sang istri. "Kemarin kayaknya aku gak lihat kamu pakai cincin ini, Yang?"
"Baru aku pakai tadi, Mas. Sengaja biar Hazel lihat."
"Terus Hazel nyadar?"
"Iya, Mas."
"Kamu bilang apa?"
"Aku gak bilang apa-apa. Hazel langsung nyimpulin aku beli cincin ini karena kemarin aku 'dinas' ke Bali."
"Maaf ya kamu jadi harus bohong sama Hazel. Gara-gara aku banyak kurangnya, Hazel jadi gak suka sama aku sekarang."
Dzaki sangat ingat nada bicara Hazel kemarin yang terkesan meremehkannya. Berbeda dengan Hazel kecil yang dulu begitu kagum padanya yang jago bermain bola.
"Mas kok jadi gak percaya diri gitu? Kayak bukan Mas, loh."
"Aku nyesel, Yang. Selama ini aku udah sia-sia-in hidup aku. Seandainya aku tahu bakal berjodoh sama kamu kayak gini, aku pasti bakal menempuh jalan yang berbeda. Dan yang bikin aku paling malu adalah aku belum lulus sampai sekarang. Seandainya aku tahu lebih awal kalau kamu udah gak ada suami, aku pasti gak akan kayak gini," sesal Dzaki dengan teramat sangat.
"Mas, gak boleh kayak gitu. Semuanya udah Allah takdirkan dengan baik dan akurat. Yang terpenting Mas sekarang udah menyadarinya dan mau berubah. Selama di Bali bahkan Mas gak pernah ngerokok dan minum lagi. Setiap abis sholat maghrib juga kita ngaji bareng. Jadi Mas jangan ngomong gitu. Hazel pasti juga kagum kalau denger mas jadi imam atau ngaji." Nabila menenangkan. Ia raih satu tangan Dzaki yang memegang kemudi. Jari-jari mereka pun saling bertautan.
Dzaki terharu. Nabila yang dulu begitu mustahil untuk bisa ia dapatkan, kini bisa tak berjarak seperti ini. Bahkan rasa cintanya terhadap Dzaki, bisa ia rasakan dengan sangat jelas.
"Kamu kok bisa sih, Yang, sayang sama aku yang kayak gini?"
Nabila tersipu mendapat pertanyaan itu. "Aku juga gak tahu, Mas. Mas sendiri kenapa masih aja nyimpen rasa sama aku? Aku udah gak muda lagi. Aku juga banyak kekurangan, tapi Mas masih aja nekat buat nikahin aku?"
Dzaki tersenyum sipu. "Apa ya? Gak tahu juga, Yang. Pokoknya selama ini aku juga pengen punya pacar. Pengen lupain kamu. Tapi gak pernah ada perempuan yang bikin aku deg-degan kayak sama kamu. Temen aku, Farhan, bahkan sering cariin jodoh buat aku, tapi gak ada yang bikin aku berpaling dari kamu."
"Bener-bener sejak sepuluh tahun lalu, Mas?"
"Bener, Yang. Dan ternyata kamu juga udah sepuluh tahun sendiri. Coba tahu lebih awal, aku gak akan kesepian."
"Sama, Mas. Aku juga kesepian. Kita gak sendirian, Mas. Kita kesepian bareng-bareng. Tapi kalau kita ketemu lebih awal, aku gak yakin bakal mencoba buka hati buat Mas."
"Kok gitu?"
"Karena usia Mas. Sekarang aja rasanya Mas itu terlalu muda untuk jadi suami aku. Kalau pernikahan kita terjadi secara normal, mungkin aku gak akan bersedia nikah sama Mas. Tapi karena keadaan waktu itu, aku gak punya pilihan buat menerima Mas sebagai suami aku."
Dzaki tersenyum penuh arti. "Tahu gak, Yang? Sebenernya orang tua aku waktu itu cuma ngegertak aku aja. Mereka gak benar-benar mau aku nikahin kamu."
"Masa sih, Mas?" Nabila cukup terkejut.
"Aku yang maksa mereka supaya maksa kamu mau nikah sama aku."
"Mas..." Nabila tercengang.
"Maaf, Yang," ujar Dzaki tak benar-benar meminta maaf. "Ini kesempatan yang datang setelah sepuluh tahun aku gak bisa move on. Selama itu aku kira kamu masih bersuami. Makanya tanpa pikir panjang aku minta orang tua aku buat nikahin kamu. Jadi ada kesempatan sekali seumur hidup kayak gitu, masa mau aku sia-sia in?"