Setelah bercerai, lalu mengundurkan diri sebagai seorang Ajudan pribadi. Akhirnya pria yang akrab disapa 'Jo' itu kembali menerima sebuah tawaran pekerjaan dari Denis yang tak lain adalah temannya saat sejak masih SMA.
Dia yang biasanya mengawal wanita-wanita paruh baya, seorang istri dari beberapa petinggi. Kini dia di hadapkan dengan seorang gadis keras kepala berusia 20 tahun, Jasmine Kiana Danuarta. Sosok anak pembangkang, dengan segala tingkah laku yang membuat kedua orang tuanya angkat tangan. Hampir setiap Minggu terkena razia, entah itu berkendara ugal-ugalan, membawa mobil di bawah pengaruh alkohol, ataupun melakukan balapan liar. Namun itu tak membuatnya jera.
Perlahan sifat Kiana berubah, saat Jo mendidiknya dengan begitu keras, membuat sang Ayah Danuarta meminta sang Bodyguard pribadi untuk menikahi putrinya dengan penuh permohonan, selain merasa mempunyai hutang budi, Danu pun percaya bahwa pria itu mampu menjaga putri semata wayangnya dengan baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
No woman no cry.
"Sepertinya, Kiana sudah tertidur. Kamu boleh pulang, Jo. Mungkin malam ini kamu masih bisa sedikit santai, tidak tahu besok dan beberapa hari kedepan nya, dia pasti akan memberontak, … kau tahu? dia sangat susah diatur." Kata Danu kepada Jovian.
Orang baru yang Danu tunjuk untuk menjadi Bodyguard pribadi putrinya, Jasmine Kiana Danuarta. Putri tunggalnya, yang saat ini hampir menginjak usia 21 tahun.
Mereka duduk di kursi teras belakang, pada hampir pukul sepuluh malam, setelah berbincang banyak hal di sana, terutama membicarakan Kiana, juga berbagai macam tugas yang harus Jovian lakukan.
"Baiklah kalau begitu, saya pamit undur diri dulu, Pak. Besok saya datang pagi-pagi, untuk mengantar Kiana kuliah." Jovian menatap pria paruh baya yang duduk tepat di samping.
Danu menjawab dengan anggukan pelan.
Jovia segera bangkit dari duduknya, berdiri tegak, dan disusul Danu, kemudian mereka berjalan ke arah dalam secara bersamaan.
"Apa rumahmu jauh?" Danu terus bertanya, berusaha mengorek identitas, Jovian lebih jauh.
Tentu saja, dia harus tahu asal-usul orang yang mungkin akan bersama Kiana setiap hari dalam kurung waktu yang lama.
"Lumayan." Jovian menjawab.
"Jika lelah untuk pulang-pergi, kamu bisa tidur di tempat yang sudah saya sediakan. Khusus untuk kalian istirahat, … mungkin besok Denis akan menunjukan kamarmu."
Jovian hanya mengangguk. Dia mengalihkan pandangannya kepada Herlin yang tampak tengah menuruni anak tangga, setelah selesai memberi pengertian kepada sang putri yang saat ini diam karena marah.
Herlin tampak tersenyum.
"Saya pamit pulang, Bu Herlin." Pamit Jovian yang langsung mendapat anggukan dari wanita itu.
Jovian terus berjalan keluar dari rumah itu, ditemani Danu yang terus mengikuti dari arah belakang.
"Mari, Pak Danu." Dia berbalik badan terlebih dulu.
Danu mengangguk.
Dengan langkah cepat Jovian mendekati mobil Honda CR-V berwarna putih miliknya, menekan remot, membuka pintu kemudian masuk.
Jovian memutar kunci mobilnya, sampai suara derum mesin mobil terdengar begitu jelas. Setelah itu dia menarik tali seatbelt, dan memasaknya sebelum dia benar-benar melajukan kendaraan roda empat itu meninggalkan pekarangan rumah yang terlihat sangat besar.
Pim pim!!
Pria itu menekan klakson beberapa kali, sebagai tanda pamit kepada Danu yang terus berdiri di teras depan rumah. Perlahan dia memundurkan mobilnya, memutar setir mobil, lalu pergi.
Jovian menekan salah satu tombol yang terletak di setir mobilnya, sampai volume musik di dalam sana terdengar sedikit lebih keras.
Dia merebahkan kepalanya pada sandaran kursi, menatap lurus kedepan, kadang-kadang bergumam, ikut bernyanyi dengan suara pelan.
Sesekali pandangannya menoleh ke arah samping, melihat-lihat kota pada malam hari. Bagaikan kota yang tak pernah mati, aktivitas beberapa orang, juga lalu-lalang kendaraan tak pernah ada hentinya, bahkan hingga menyebabkan kemacetan bahkan saat jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam.
"Manusia-manusia ini mau kemana? Kenapa ramai sekali." Gumamnya.
Jovian melambankan laju mobilnya, lalu berhenti di bahu jalan, untuk kemudian turun dan menghampiri salah satu pedagang kopi keliling yang tampak tengah duduk di trotoar.
"Mas?" Panggil Jovian.
"Eh!" Dengan segera dia bangkit, menepuk-nepuk tangannya, lalu berjalan menghampiri.
"Kopi Mas, satu." Dia memesan, lalu duduk di kursi besi yang tersedia disana.
"Hitam, Pak?"
"Jangan, Capuccino saja."
Pedangan itu mengangguk, dan segera menyiapkan gelas plastik untuk segera membuatkan pesanan yang Jovian minta.
"Masih jualan, Mas? Ini sudah hampir tengah malam."
"Ya, begini Pak … cari rupiah." Katanya sambil menuangkan air panas ke dalam cup plastik.
Jovian mengangguk, dia menatap pria yang umurnya terlihat masih sangat muda. Lalu dia beralih pada mobilnya, dan berakhir melihat dirinya sendiri.
Betapa beruntungnya dia, hidup dengan serba berkecukupan, sementara orang-orang di luaran sana masih sibuk mencari rupiah, bahkan sampai selarut ini.
"Kopinya, Pak."
"Terimakasih." Jovian menerima cup plastik itu, lalu pria itu meletakan tepat di sampingnya.
Dia merogoh saku jas, membawa keluar korek juga satu bungkus rokok, mengeluarkan satu batang, dan segera menghidupkannya.
"Pulang kerja, Pak?" Pemuda itu bertanya.
Jovia mengangguk, lalu dia menghembuskan asapnya di udara.
"Biasanya jualan sampai jam berapa?"
"Nggak tentu, Pak. Kadang sampe jam dua setengah tiga, kadang jam sembilang sudah pulang kalau rame, tapi hari ini sepi, jadi saya masih nyari buat tambah-tambah makan sehari-hari." Jelasnya.
Jovian mengangguk lagi, dia kembali menghisap rokoknya dalam-dalam, dan kembali mengepulkan asap itu ke udara.
Dua pria berbeda usia itu sama-sama diam. Jovian dengan pikirannya, sementara pedagang kopi keliling itu melayani beberapa pembeli, yang tiba-tiba saja bermunculan setelah pria itu berdiam diri disana.
Setelah perceraiannya satu tahun yang lalu. Membuat dia terus menerus merasa kesepian, kadang juga menyesal karena tidak bisa menyelamatkan pernikahannya, tapi apa boleh buat, wanita yang sangat dia cintai memilih untuk pergi, hanya karena pria itu yang tak pernah memiliki waktu untuk menghabiskan waktu bersama, bahkan setelah pernikahannya berjalan hampir tahun ke tiga, waktu tak mampu mempertahankan segalanya.
Hidup seorang diri setelah kedua orang tuanya tiadak. Sang ayah yang meninggal karena sakit saat dia masih sangat kecil, lalu disusul Ibunya sepuluh tahun kemudian dengan penyakit yang sama, membuat Jovian benar-benar merasa tidak beruntung meski memiliki uang yang cukup banyak.
Namun akhir-akhir ini pikiranya berubah, cara pandangannya terhadap Tuhan sudah sedikit terbuka. Bahwa tak selamanya hidup sesuai apa yang kita inginkan.
Lihatlah, betapa beruntungnya dia jika dibandingkan dengan penjual kopi keliling itu. Jovian hanya tinggal memesan dan mengeluarkan uang untuk apapu makanan yang mau dia makan, sementara pedagang kopi keliling itu? Dia harus berjuang lebih keras hanya untuk sesuap nasi setiap harinya.
"Umur berapa, Mas?" Tanya Jovian.
"Saya, … tahun ini 27."
"Sudah menikah?"
Pria itu mengangguk, tersenyum lalu menundukan kepala.
"Pernah, Pak. Tapi setelah satu tahun istri saya minta cerai."
"Lho, kenapa?"
"Keterbatasan ekonomi, Pak. Saya tidak mempunyai pekerjaan, ngelamar sana-sini juga nggak keterima, dari hasil jualan kopi kan tidak seberapa, … mungkin mantan istri saya dulu lelah, jika meminta sesuatu tapi saya tidak mampu membelikan."
Jovian bungkam.
"Ada anak?"
"Untungnya belum, kalau ada ya kasian dia menjadi korban perceraian orang tuanya."
Jovian menghela nafasnya.
"Dulu sebelum jualan kopi saya sempat nganggur karena terkena PHK pengurangan karyawan. Istri saya ngomel-ngomel terus, katanya ada di rumah juga percuma kalau nggak ada duit, setelah saya kerja jualan kopi, masih diomelin juga pulang malem hasilnya nggak ada. Saya cape, semuanya serba salah, jadi pas dia minta cerai, ya sudah saya ceraikan."
Mendengar itu Jovian tertawa pelan.
"Wanita. Diam di rumah tidak ada uang, salah. Suami kerja sampai tidak punya waktu, tapi uang lancar, masih juga salah, … memang sebaiknya kita laki-laki ini hidup sendiri." Jovian berujar.
"Memangnya begitu? Saya kira orang kaya hidupnya gampang-gampang saja."
"Hah, … selain di tuntut finansial, kita juga dituntut memiliki waktu yang lebih untuk menemani mereka. Tapi ya namanya hidup, harus ada salah satu yang dikorbankan. Jika saya mempunyai waktu, berarti saya tidak mempunyai uang yang memadai dan menutupi semua keinginannya, begitu pun sebaliknya … tuntutan untuk kita tidak akan pernah selesai."
"Bapak duda?"
Jovian mengangguk.
"Punya anak?"
"Tidak, awalnya kami memilih untuk menunda. Karena selain tanggung jawab yang besar, dari segi mental juga harus benar-benar siap, tapi sebelum itu terjadi, kita sudah berpisah."
Dadanya sesak, hatinya terasa begitu di remas saat Jovian mengingat momen-momen menyakitkan itu, sampai membuatnya tidak berkenan dalam kurun waktu yang bisa dibilang cukup lama, hanya karena merasa kecewa kepada dirinya sendiri.
Dan kini dia sudah benar-benar kembali, bekerja sebagai Bodyguard atas ajakan temannya. Kini tidak ada wanita, atau percintaan apapun, dia hanya ingin fokus dengan pekerjaan, dan menikmati kesendiriannya yang mulai membuatnya merasa nyaman.