Sebuah tragedi memilukan menghancurkan hidup gadis ini. Pernikahan impiannya hancur dalam waktu yang teramat singkat. Ia dicerai di malam pertama karena sudah tidak suci lagi.
Tidak hanya sampai di situ, Keluarga mantan suaminya pun dengan tega menyebarkan aibnya ke seluruh warga desa. Puncak dari tragedi itu, ia hamil kemudian diusir oleh kakak iparnya.
Bagaimana kisah hidup gadis itu selanjutnya?
Ikuti terus ceritanya, ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aysha Siti Akmal Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
"Dea! Apa kamu mendengarku?" teriak Julian yang kini hanya berjarak beberapa meter dari lokasi Dea tergeletak. Namun, karena pekatnya cahaya malam, Julian tidak menyadari keberadaan tunangannya itu.
"Ju ... Julian, to-tolong aku. Aku di sini, Mas!" lirih Dea sambil menitikkan air matanya. Suara lirih Dea saat itu sama sekali tak terdengar di telinga Julian.
Lelaki itu malah berjalan menjauhi lokasi di mana Dea masih terbaring lemah dengan keadaan setengah telanjaang. Ia terus melangkah semakin menjauh sambil terus meneriakkan nama Dea.
Dea yang sudah tidak sanggup menahan rasa sakitnya, akhirnya jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri di tempat itu. Sementara Julian terus mencari keberadaan Dea hingga akhirnya ia pun menyerah dan kembali ke kapal dengan rasa kecewa.
"Bagaimana, Julian? Apa kamu menemukan Dea?" tanya salah satu sahabatnya yang kini duduk di tepian kapal sambil memperhatikan dirinya dengan seksama.
Julian menggelengkan kepalanya pelan. "Sepertinya benar, Dea hanya membohongiku," jawabnya lirih dan terlihat jelas di raut wajahnya bahwa saat itu Julian benar-benar kecewa berat.
"Sudahlah, tidak apa. Lagi pula sebentar lagi kalian akan segera menikah, bukan?" Lelaki itu kembali mencoba menghibur Julian yang sepertinya sudah putus asa.
Julian yang tadinya terlihat murung, akhirnya menyunggingkan sebuah senyuman tipis. "Kamu benar. Aku harus tetap semangat bekerja karena tidak lama lagi kami akan sah menjadi suami-istri. Mana rumah kami belum selesai di kerjakan lagi," sahut Julian yang kini kembali bersemangat.
"Begitu, dong! Yang semangat," ucap Lelaki itu lagi seraya merengkuh pundak Julian untuk memberikan semangat.
Setelah Julian naik ke atas kapal milik orang tuanya tersebut, mereka pun segera berangkat menuju lautan lepas guna mencari ikan dan menghasilkan banyak uang.
Tak terasa pagi pun menjelang.
"Ya ampun, Dea! Jam segini dia masih belum bangun juga? Benar-benar keterlaluan!" gerutu Kakak Ipar Dea, Susi Kartika.
Wanita berusia 30 tahun itu tampak kesal karena Dea belum juga mengerjakan pekerjaannya. Cucian piring masih menumpuk di westafel, begitu pula cucian baju yang menjulang tinggi melebihi wadahnya.
"Lihatlah adikmu yang tidak berguna itu, Mas! Ia bahkan masih asik bergelut dengan selimutnya yang hangat, di dalam kamarnya. Sementara pekerjaannya dibiarkan begitu saja hingga menumpuk seperti ini!" kesal Susi kepada suaminya yang baru saja tiba di ruangan itu.
"Sudahlah, Sayang. Mungkin saja dia sedang tidak enak badan. Lagi pula, baru kali ini 'kan dia terlambat bangun," sahut Herman, kakak laki-laki Dea. Satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh Dea.
"Ya, belain saja terus. Biar dia ngelunjak sekalian! Asal Mas tahu, ya. Anak itu kalau dibiarkan seperti itu lama-kelamaan jadi terbiasa. Jika sudah seperti itu, siapa yang bakal susah? Aku juga 'kan? Hhh, amit-amit," kesal Susi sambil memutar bola matanya.
Susi yang masih kesal, berjalan menghampiri pintu kamar milik Dea yang terletak di ruangan dapur. Kamar berukuran kecil dan juga begitu pengap. Wanita itu menggedor-gedor pintu tersebut dengan sangat keras dengan mulut yang terus saja mengoceh.
"Dea, cepat bangun! Atau kamu ingin aku kurung di rumah belakang sama seperti dulu, ha?" ucap Susi dengan wajah memerah.
Ya, beberapa tahun yang lalu, Susi pernah mengurung Dea di rumah belakang. Atau lebih tepatnya gudang jelek yang sudah lapuk dan tidak terawat lagi. Ruangan yang penuh dengan barang rongsok berdebu. Jangan lupakan tikus dan kecoa serta berbagai binatang merayap lainnya, yang begitu betah menghuni ruangan itu.
Susi tega menghukum gadis yatim piatu tersebut hanya karena kesalahan kecil. Sementara Herman tidak bisa berbuat apa-apa karena lelaki itu sejenis lelaki takut istri. Ia tidak berani membela apa lagi membantah kehendak Susi.
Beberapa kali Susi memanggil nama gadis itu, tetapi tak terdengar sedikit pun jawaban dari dalam ruangan tersebut. Hingga akhirnya Susi sudah berada di batas puncak kesabarannya. Ia semakin kesal dan berniat akan menghukum gadis itu tanpa ampun.
"Dea! Buka pintunya sebelum aku benar-benar emosi!" ancam Susi dengan mata melotot.
"Palingan Tante Dea masih tidur, Bu," sahut Virna, anak dari Susi dan Herman yang baru saja genap berusia 10 tahun. Gadis kecil itu memiliki sifat yang sama seperti Susi. Ia bahkan tidak sungkan melaporkan Dea kepada ibunya, jika Dea melakukan kesalahan. Ya, walaupun kesalahan itu hanya kesalahan kecil.
"Bener-bener nih anak, bikin aku emosi saja!" gerutu Susi yang akhirnya melenggang masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil kunci serap.
"Awas saja kamu, Dea! Kali ini aku tidak akan mengampunimu, walaupun kamu menangis darah!" umpatnya seraya meraih kunci setep kamar Dea.
Setelah berhasil mengambil kunci tersebut, Susi pun segera kembali ke dapur dan menghampiri pintu kamar gadis itu. Ia mencoba membuka pintu kamar Dea dengan kunci yang sejak tadi ia pegang. Setelah beberapa detik kemudian, pintu tersebut pun terbuka.
Mata Susi kembali membulat sempurna. Ia tidak menemukan Dea di dalam kamar tersebut. Bahkan ranjang milik Dea yang hanya cukup untuk satu orang tersebut terlihat sudah rapi.
"Ke mana kamu, Dea?!" pekik Susi sambil bertolak pinggang. Matanya memindai seluruh ruangan sempit itu tanpa terlewat sedikit pun.
Tiba-tiba Susi teringat akan permintaan gadis itu kemarin sore. Dea minta izin kepada Susi bahwa ia ingin sekali mengantarkan kepergian Julian pagi-pagi sekali ke dermaga, yang letaknya cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Gadis itu memohon-mohon kepadanya, tetapi Susi tetap bersikeras dan tidak memberikan izin.
"Jangan-jangan Adikmu itu nekat menemui Julian, Mas!" pekik Susi yang kini berbalik kemudian menatap Herman dari kejauhan dengan mata melotot.
"Astaga, Mas! Adikmu itu benar-benar, yah!" Susi berjalan menghampiri Herman yang sedang asik menyeduh teh hangat di atas meja makan.
"Ada apa lagi sih, Sus?" tanya Herman sambil mengangkat kepalanya dan menatap Susi yang sudah berdiri di samping tubuhnya. Ia mengelus punggung Susi dengan lembut agar wanita itu bisa sedikit lebih tenang.
"Ternyata Adikmu itu tidak ada di kamarnya dan aku yakin sekali ia pasti menghabiskan waktunya bersama Julian!" kesal Susi. "Hhh, aku sudah tidak sabar menunggu hari pernikahan mereka! Aku sudah muak melihat tingkah adikmu dan tunangannya itu," lanjut Susi.
"Tapi itu idak mungkin, Sus. Mana pernah Dea berani membantah perintahmu? Bukan kah kemarin sore kamu sudah menolak permintaannya?" Herman kembali mencoba menenangkan istrinya yang tempramen itu.
"Tuh, 'kan! Kamu membelanya lagi!" kesal Susi sembari menepis tangan Herman dengan kasar.
"Jika gadis itu tidak pergi menemui Julian, lalu menurutmu dia pergi ke mana, ha? Awas saja! Jika dia pulang, aku tidak akan pernah mengampuninya!" lanjut Susi dengan emosi yang siap meledak kapan saja.
Herman hanya bisa membuang napas berat dan tidak berani menyahut ucapan istrinya itu lagi.
...***...