NovelToon NovelToon
Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Pengawal Dan Tuan Puteri : Takdir Yang Tertulis

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Pengasuh / Pengawal / Putri asli/palsu
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Wahyu Kusuma

Dandelion—bunga kecil yang tampak rapuh, namun tak gentar menghadapi angin. Ia terbang mengikuti takdir, menari di langit sebelum berakar kembali, membawa harapan di tanah yang asing.

Begitu pula Herald, pemuda liar yang terombang-ambing oleh hidup, hingga angin nasib membawanya ke sisi seorang puteri Duke yang terkurung dalam batas-batas dunianya. Dua jiwa yang berbeda, namun disatukan oleh takdir yang berhembus lembut, seperti benih dandelion yang tak pernah tahu di mana ia akan tumbuh, namun selalu menemukan jalannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wahyu Kusuma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25 Kisah Kelam Dari Clara

Di Taman Belakang

Kini, di taman belakang mansion itu, dua sosok tengah duduk diam di sebuah teras kecil yang menjadi tempat persinggahan mereka. Teras mungil yang dikelilingi oleh semak mawar dan pohon kamboja itu dulunya hanyalah titik singgah setelah berjalan-jalan, tapi lama kelamaan, tempat itu berubah menjadi tempat peristirahatan batin, semacam pelarian dari hiruk-pikuk yang tak terlihat.

Namun hari ini, ada yang berbeda.

Clara duduk di sudut bangku rotan, tubuhnya sedikit membungkuk, tatapannya jatuh ke tanah seolah sedang mencari sesuatu yang hilang. Wajahnya suram, dan tangannya sesekali menggenggam ujung roknya dengan gelisah.

Herald, yang duduk tak jauh darinya, memperhatikan gerak-geriknya dengan sorot mata prihatin. Ia tahu betul apa yang menggelayuti pikiran Clara. Semua ini—kegelisahan, perubahan sikap, tatapan kosong itu—bermula sejak kehadiran Olivia, kakak Clara.

Dan perubahan itu... sungguh mencolok. Clara yang biasanya ceria kini menjadi bayangan dirinya sendiri—pendiam, penuh kecemasan, seolah ada luka yang belum sempat diobati.

Herald menarik napas panjang. Ia tahu dirinya tak bisa tinggal diam.

"Nona Clara," ucapnya lembut, nyaris seperti bisikan yang terbawa angin sore. "Sejak Olivia kembali… kamu berubah. Kamu jadi lebih pendiam, murung, seperti menyimpan sesuatu yang berat. Aku tidak ingin memaksamu, tapi… kalau memang ada yang mengganjal, setidaknya biarkan aku tahu. Mungkin aku tak bisa menyelesaikan masalahmu, tapi aku bisa menjadi tempatmu berbagi."

Tak ada respons. Clara tetap membisu, seakan pertanyaan Herald tak mampu menembus benteng pikirannya. Suasana hening beberapa saat, hanya ditemani gemerisik dedaunan yang tertiup pelan.

Namun akhirnya, perlahan, Clara mengangkat wajahnya. Matanya tampak berkabut, namun tatapan itu mengandung ketegasan yang tak biasa.

"Herald… apa kamu yakin… setelah aku menceritakan semuanya, kamu masih mau jadi temanku?"

Sebuah pertanyaan yang menggantung di udara, berat dan penuh luka. Herald tertegun. Pertanyaan itu... bukan sekadar keraguan. Itu adalah jeritan batin yang selama ini terpendam. Ia bisa merasakan kepedihan di balik kata-kata Clara—sebuah ketakutan akan penolakan, akan kehilangan.

[Masalah seperti apa yang membuatnya berpikir bahwa aku akan meninggalkannya?] pikir Herald. [Apa luka di masa lalu mereka begitu dalam hingga ia takut mengungkapkannya?]

Namun ia tahu satu hal pasti—apapun itu, ia tak akan berbalik arah. Ia telah memilih untuk hadir dalam hidup Clara, dan pilihan itu tak akan ia tinggalkan hanya karena kisah masa lalu yang belum terucap.

Herald tersenyum tipis, lalu menatap Clara dalam-dalam.

"Nona Clara, selama ini aku di sini bukan hanya untuk menemanimu saat senang. Aku ada karena aku peduli. Apa pun yang kamu katakan setelah ini, aku tak akan pergi. Kamu tak sendiri. Kita di sini bersama."

Jawaban itu memecah sesuatu dalam diri Clara. Matanya membulat, seolah tak percaya dengan ketulusan yang ia dengar. Lalu, perlahan, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil—lemah, tapi tulus. Untuk pertama kalinya hari itu, cahaya kembali menyelinap di wajahnya.

"Terima kasih, Herald…"

Dan akhirnya, setelah keheningan yang begitu panjang, Clara mulai membuka suara. Suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam bisikan angin senja yang menyapu taman.

“Jadi… sebenarnya dia membenciku. Sejak aku kecil—sejak aku bisa mengingat dunia—Olivia sudah memandangku dengan kebencian. Dia tidak pernah benar-benar menganggapku saudara. Yang ada hanyalah kemarahan… penghinaan… dan tatapan seolah aku adalah monster…”

Herald menahan napas. Kata-kata Clara terasa tajam, mengguncang batin.

“Dia membenciku karena…” Clara menggigit bibirnya, seolah berusaha keras menahan air mata yang sudah menggantung di ujung matanya. “Karena dia percaya… akulah yang membunuh ibu kami.”

Herald menatap Clara dengan pandangan terkejut, seakan pikirannya belum mampu mencerna kata-kata barusan. “Membunuh...? Kamu...? Kamu membunuh ibumu?”

Clara hanya mengangguk pelan, begitu pelan hingga gerakannya hampir tak terlihat. Tatapannya kini jatuh ke pangkuannya, tak sanggup lagi menatap Herald.

“Ibu… meninggal saat melahirkan aku. Olivia ada di sana… dia menyaksikan semuanya. Dia melihat ibu terbaring lemah… dan akhirnya pergi… dan sejak saat itu… dia selalu menuduh aku sebagai penyebabnya.”

Tangis akhirnya pecah. Air mata mengalir dari sudut matanya, jatuh satu per satu di atas tangannya yang menggenggam erat gaunnya sendiri. Suaranya mulai bergetar, sesekali terpotong isak.

“Padahal… padahal itu bukan kemauanku, Herald… aku juga tidak ingin ibu mati… aku… aku juga ingin merasakan pelukan hangatnya… ingin mendengar dongengnya sebelum tidur… ingin tumbuh di bawah naungannya seperti anak-anak lain… hiks… tapi aku bahkan tidak pernah melihat wajahnya… selain dari foto…”

Herald merasakan tenggorokannya tercekat. Ia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Seluruh hatinya dipenuhi oleh empati dan duka yang mendalam. Clara… gadis lembut yang selalu tersenyum malu-malu itu, ternyata menyimpan luka sebesar dunia di dalam dadanya.

Gadis kecil yang tumbuh tanpa seorang ibu, tanpa pelindung. Dan lebih buruk lagi—dihantui bayang-bayang kebencian dari kakaknya sendiri. Dunia yang Clara tinggali sejak lahir bukanlah dunia yang hangat, melainkan dunia yang terus-menerus menuduh dan mencemooh tanpa ia mengerti alasannya.

Herald tak berpikir panjang. Ia bergerak mendekat, lalu menaruh tangannya di bahu Clara—hangat, tegas, dan penuh ketulusan. Ia mengusapnya perlahan, mencoba memberikan sedikit rasa aman dari dunia yang begitu kejam.

Pikiran Herald bergemuruh.

[Ternyata… aku belum benar-benar mengenal soal dirimu, Ada begitu banyak luka yang kau sembunyikan di balik senyummu. Begitu banyak beban yang kau pikul sendiri, tanpa seorang pun untuk bersandar.]

Ia menatap Clara dengan lembut, dan berkata pelan, nyaris seperti janji yang tak akan pernah ia ingkari:

“Nona Clara… Ingat, kamu tidak sendirian lagi. Aku di sini sekarang. Kamu tidak perlu memendam semuanya sendiri. Kalau hatimu sesak, kalau rasa sakitmu terlalu besar… bagi denganku. Biarkan aku ikut merasakannya. Aku akan tetap di sisimu, mendengarkan, menemani, dan... menjaga.”

Clara terisak makin keras, namun kali ini bukan karena kesedihan semata. Ada kelegaan di sana. Sebuah perasaan bahwa untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia diperbolehkan untuk menangis—bukan karena kelemahan, tapi karena ada seseorang yang siap menampung air matanya.

Ia menunduk, membenamkan wajahnya di lengan Herald, dan untuk sesaat, dunia di sekitar mereka tak lagi penting. Hanya ada tangis, bahu untuk bersandar, dan pelukan tak kasat mata dari seorang teman sejati.

Beberapa saat setelah tangisannya reda, Clara mulai menenangkan dirinya. Ia mengusap sisa air mata yang masih membekas di pipinya dengan punggung tangan, lalu menarik napas pelan, seolah sedang mengumpulkan sisa-sisa keberanian untuk kembali bicara.

“Aku… aku tidak tahu harus bagaimana lagi…” katanya lirih, matanya menatap kosong ke depan. “Kadang aku merasa… kalau keberadaanku di dunia ini hanyalah kutukan. Seolah aku dilahirkan hanya untuk membawa luka… dosa… dan rasa bersalah. Aku cacat… dan aku… aku bahkan pernah berpikir, kalau mungkin, seharusnya aku tidak pernah dilahirkan.”

Kata-kata itu keluar dari mulut Clara seperti pedang yang menikam batin Herald. Wajahnya langsung berubah—yang tadinya lembut dan menenangkan, kini dipenuhi keseriusan yang dalam. Tanpa ragu, ia memutar tubuhnya hingga mereka benar-benar saling berhadapan. Matanya menatap lurus ke arah Clara, tegas dan penuh keteguhan.

“Dengar baik-baik, Nona Clara,” ucap Herald, suaranya lebih mantap dari sebelumnya. “Keberadaanmu bukanlah sebuah kesialan. Bukan pula sebuah dosa. Kamu berhak hidup, sama seperti orang lain. Kepergian ibumu—itu bukan salahmu. Itu bukan keputusanmu, bukan kehendakmu. Itu takdir… dan takdir bukan sesuatu yang bisa kita kendalikan.”

Clara menunduk, menggigit bibirnya, tapi tak bisa menahan isak yang kembali menyelinap.

Herald melanjutkan, kini dengan suara yang sedikit lebih lembut, namun tetap tegas. “Kalau ibumu bisa mendengar ucapanmu tadi, aku yakin dia akan sangat sedih. Bayangkan… putri yang ia perjuangkan nyawanya untuk lahir ke dunia, kini berkata bahwa seharusnya dia tidak pernah ada. Menurutmu… apakah itu yang diinginkan seorang ibu?”

Clara kembali menangis, kali ini tanpa menahan. Air matanya mengalir dalam diam, tapi kini ada rasa penyesalan yang menyertainya.

Herald menatapnya penuh simpati, lalu berkata dengan nada tulus, “Kamu harus bangga, Clara. Karena kamu adalah gadis terkuat yang pernah aku temui. Kamu hidup dalam luka yang tak terlihat siapa pun, dan tetap berdiri meski dunia seolah menelantarkanmu. Semua itu… kamu tanggung sendirian. Itu bukan kelemahan. Itu kekuatan.”

Kata-kata itu perlahan mulai menghangatkan hati Clara yang selama ini diselimuti kabut dingin dari kesedihan. Isaknya mulai pelan, dan di balik air mata, sebuah senyuman samar mulai muncul—masih rapuh, tapi tulus.

“Tapi…” lanjut Herald, kini dengan suara lebih lembut, “bahkan orang terkuat sekalipun membutuhkan sebuah bahu untuk bersandar. Kamu tidak harus menanggung semuanya sendirian, Clara. Mulai sekarang, bagi beban itu denganku. Biarkan aku menjadi tempatmu bersandar… temanmu… yang akan mendengarkan, yang akan tetap tinggal.”

Clara mengangkat wajahnya perlahan, menatap Herald dengan mata yang sembab, namun lebih terang dari sebelumnya. Dan saat itu juga, Herald membuka kedua tangannya lebar-lebar, menyambut gadis yang selama ini tersembunyi di balik luka.

“Jadi, sandarkanlah rasa sakitmu itu kepadaku,” katanya pelan, penuh kelembutan.

Clara tak ragu. Ia segera memeluk Herald, membenamkan wajahnya di dadanya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia membiarkan dirinya benar-benar menangis—tanpa penghalang, tanpa topeng, tanpa rasa takut dihakimi.

“Huaaaaa!! Herald… Herald…!”

Ia menangis, sekuat yang ia bisa. Seluruh luka, seluruh kepedihan, seluruh kesendirian yang selama ini ia simpan rapat-rapat, tumpah bersamaan dengan air matanya. Ia tak peduli jika dunia mendengarnya. Hari ini, ia hanya ingin merasa lega. Hari ini, ia memilih untuk sembuh.

Dan Herald... hanya memeluknya erat. Tak berkata apa-apa, tak bertanya apa-apa. Ia hanya menjadi pelabuhan untuk air mata itu berlabuh. Menjadi pelindung bagi hati yang telah lama hancur.

[Menangislah sepuasnya, Clara. Biarkan semua luka itu keluar bersamaan dengan air matamu. Hari ini, kamu tidak sendirian.]

Setiap manusia membutuhkan seseorang yang bisa menjadi tempat berlabuh—seorang teman yang tak hanya hadir saat tawa, tapi juga ketika air mata mengalir deras. Teman yang tidak menuntut apa-apa, selain kejujuran. Teman yang siap mendengarkan segala rasa sakit yang selama ini disembunyikan rapat-rapat di dalam hati. Teman yang tidak menjauh ketika luka ditunjukkan, tapi justru semakin mendekat untuk menenangkannya.

**

Setelah tangisan panjang itu mereda, setelah semua emosi tumpah ruah dari dada Clara, akhirnya datanglah ketenangan. Seperti langit yang kembali cerah setelah badai, begitu pula ekspresi wajah Clara—lebih lembut, lebih damai, dan jauh lebih hidup.

"Terima kasih, Herald," ucap Clara dengan suara yang masih serak, namun penuh ketulusan. Ia menatap Herald dengan mata yang kini tampak lebih jernih. "Berkatmu... sekarang hatiku jauh lebih ringan. Rasanya seperti... aku bisa bernapas lagi. Aku bersyukur Tuhan mempertemukanku denganmu. Sekali lagi… terima kasih."

Herald hanya tersenyum kecil, disusul tawa ringan yang hangat. "Hahaha… kamu enggak perlu berterima kasih seperti itu, Clara. Kita ini teman, kan? Bukankah sudah sewajarnya teman saling menopang satu sama lain?"

Clara mengangguk kecil. Ada kehangatan yang menyelimuti dadanya, perasaan yang tak pernah benar-benar ia rasakan sebelumnya—diperhatikan, didengarkan, dan diterima sepenuhnya.

Setelah suasana mulai mencair, Herald memiringkan kepalanya sedikit dan berganti topik.

"Ngomong-ngomong… soal Nona Olivia, kamu ada niatan untuk memperbaiki hubungan kalian?"

Pertanyaan itu tidak terdengar menekan, lebih seperti ajakan untuk merenung.

Herald melanjutkan, "Aku tahu, rasanya pasti berat. Tapi kalau kalian terus terjebak dalam kebencian, bukan nggak mungkin itu akan jadi luka yang makin dalam, untuk kalian berdua."

Clara menarik napas pelan, lalu menatap langit sejenak sebelum menjawab.

“Aku juga ingin… sungguh. Tapi… rasanya terlalu sulit. Kak Olivia sudah menaruh dendam padaku sejak kecil. Mungkin kebencian itu sudah tumbuh terlalu dalam, seperti akar yang mencengkeram kuat di tanah. Aku… belum yakin dia siap untuk mendengarkanku.”

Herald mengangguk pelan. “Aku bisa mengerti. Memang nggak mudah untuk menyembuhkan luka yang sudah terlalu lama dibiarkan. Tapi aku percaya, waktu bisa membuka jalan. Dan kalau suatu hari kamu butuh keberanian untuk bicara padanya… aku akan di sisimu.”

Clara tersenyum. Senyum yang lembut, namun penuh makna. “Terima kasih, Herald… untuk segalanya.”

Herald kemudian bangkit dari tempat duduknya dan merentangkan tangan, memberikan sebuah isyarat persahabatan yang ceria. Tongkat pegangan ia arahkan pada Clara sambil berkata dengan semangat, “Yuk! Karena perasaanmu udah membaik, mari kita lanjutkan petualangan kecil kita hari ini. Anggap ini sebagai perayaan… atas keberanianmu untuk membuka hati.”

Clara menyambut tongkat itu dengan senyuman yang lebih cerah dari sebelumnya. Ia bangkit perlahan dan berkata ringan, “Kalau begitu… ayo kita jalan-jalan! Siapa tahu aku bisa benar-benar tertawa lagi.”

Dan mereka pun meninggalkan taman belakang itu—bukan dengan duka, tapi dengan langkah ringan dan hati yang mulai sembuh.

Di sepanjang perjalanan, canda dan tawa kecil mulai terdengar di antara mereka. Clara mulai menunjukkan senyum-senyum polos yang telah lama ia sembunyikan. Raut wajahnya yang sebelumnya suram kini berubah menjadi lebih bersinar. Ia membiarkan dirinya bahagia, dan Herald adalah sosok yang diam-diam telah menyalakan kembali cahaya itu.

Aura hangat yang menyertai mereka, seolah menepis bayangan kelam masa lalu. Untuk pertama kalinya, Clara merasa ia tidak berjalan sendirian.

Dan dalam diam, Herald tersenyum—karena tahu, bahwa hari ini, ia telah melakukan sesuatu yang benar.

1
Hirage Mieru
.
Cindy
☕️ Untuk menambah semangat.
‎‎‎‎Wahyu Kusuma: uwawwww makasih 😆
total 1 replies
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Ada sedikit kesalahan pada bab 4😔 Jangan dibaca dulu
‎‎‎‎Wahyu Kusuma
Jangan lupa baca karya baru saya 😳 Ini adalah novel Romence pertama saya yang sudah melewati masa revisi. Kuharap kalian bakalan nyaman membacanya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!