Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.
Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.
"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"
Namun, jawaban Arsen menohok.
"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"
Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5 DBAP
Sayangnya, kecurigaan Arsen terhadap Puput tak membuatnya terselamatkan dari pernikahan ini. Semuanya telah disiapkan terlalu sempurna. Tak ada ruang untuk pembatalan, apalagi keraguan. Jam terus berdetak, dan setiap detiknya membawa mereka semakin dekat ke pelaminan yang tak pernah mereka impikan.
Arsen menatap pantulan dirinya di cermin kecil di meja rias. Dingin. Kosong. Seperti sedang melihat orang asing dalam pakaian yang terlalu mewah untuk perasaannya yang terlalu remuk.
“Sudah waktunya,” ucap seorang panitia dengan suara lembut, mengetuk pintu dan memberi isyarat.
Arsen bangkit perlahan. Langkahnya berat, seperti menyeret seluruh beban dunia. Tapi ia berjalan, tetap berjalan. Demi menjaga nama baik keluarga. Demi kakaknya. Demi semua hal... kecuali dirinya sendiri.
Sementara itu, Naya berdiri di balik pintu, ditemani ibunya yang tersenyum dengan mata berbinar bangga. Tapi Naya tak bisa membalas. Di balik kerudung tipis itu, air matanya menahan diri untuk tak jatuh. Bukan karena bahagia, tapi karena terluka oleh keadaan.
Tangannya gemetar saat seseorang menyodorkan buket bunga. Ia menggenggamnya erat, seperti satu-satunya pegangan di tengah badai yang membungkam suaranya.
Langkah demi langkah, kedua mempelai itu berjalan menuju pelaminan. Bertemu di titik yang telah ditentukan banyak pihak, tapi tak pernah mereka sepakati sendiri.
Arsen menatap Naya sekilas. Rasanya ia seperti mengenali tubuh dan aroma gadis itu—begitu familiar. Namun, ia segera mengabaikan pikirannya, karena bagaimanapun juga, Naya bukanlah gadis yang ia cari. Naya adalah mantan ponakannya, yang entah bagaimana justru ia yang harus menanggung imbas dari perbuatan sepasang kekasih itu.
Dan saat akad dimulai, semuanya terasa seperti mimpi buruk yang dilapisi senyum dan taburan bunga.
“Saya nikahkan dan kawinkan...”
Suara itu menggema, namun hati Arsen seperti dikepung sunyi.
Dengan satu tarikan napas, ia mengucap ijab kabul.
Lancar.
Tegas.
Dan justru itulah yang menyakitkan.
Ruang menjadi ramai oleh tepuk tangan. Doa. Ucapan selamat. Tapi di antara mereka, dua hati justru mengucap salam perpisahan pada kebebasan yang pernah mereka miliki.
Naya tak menatap Arsen. Tapi ia mendengar suara lelaki itu, terdengar begitu familiar dan seperti pernah ia dengar. Sekilas, ia mengingat kalimat-kalimat kabur, “Kamu memprovokasiku. Jangan salahkan aku jika nanti setelah sadar kamu menyesal.”
Seketika Naya mengangkat wajahnya, lalu menatap Arsen. Hanya saja saat bola mata keduanya bertemu Naya hanya bisa menepis pikirannya tadi, "Tidak mungkin, apa yang kamu pikirkan Naya? Lelaki itu Zayan bukan Paman Arsen."
***
Setelah acara usai, Naya langsung dibawa ke rumah pribadi Arsen. Rumah besar itu berdiri megah di tengah kawasan elit, dikelilingi pagar tinggi dan taman yang tertata rapi. Namun, alih-alih merasa terhormat memasuki hunian seorang suami, yang Naya rasakan hanyalah dingin. Bukan dingin dari pendingin ruangan, melainkan dari suasana yang membekukan hati sejak kaki pertamanya menginjak lantai marmer mengilap itu.
Keluarga Alastair dikenal sebagai keluarga terpandang dan berkecukupan. Aset yang ditinggalkan orang tua mereka mampu menjamin kehidupan Puput dan Arsen sejak kecil. Tapi harta itu tak membuat mereka tumbuh manja. Justru keduanya, terutama Arsen, mampu mengelolanya dengan cermat dan bijak setelah dewasa.
Arsen tak hanya menonjol sebagai seorang dokter yang cerdas dan tegas, tapi juga dikenal luas di dunia investasi. Namanya beberapa kali disebut dalam artikel bisnis dan forum ekonomi bergengsi. Ia memiliki insting tajam dalam membaca peluang, menghitung risiko, dan menggandakan kekayaan tanpa perlu banyak bicara.
Namun bagi Naya, semua itu hanya latar belakang. Karena lelaki itu—meski dibalut pencapaian dan reputasi—bukanlah sosok yang memberikan kehangatan, apalagi rasa aman.
Langkah Naya terhenti di tengah ruang tamu yang luas. Arsen berdiri di depannya, membelakanginya beberapa saat sebelum akhirnya berbalik dengan suara yang sama dinginnya seperti suasana rumah itu.
"Di sini banyak kamar. Pilih saja yang kamu mau," katanya singkat, seolah berbicara pada tamu tak diundang.
“Paman…” suara Naya nyaris tak terdengar.
Arsen menatapnya datar. “Kita tidak perlu terlalu dekat. Kamu seharusnya jadi keponakanku. Dan pernikahan ini terjadi karena keadaan, bukan pilihan.”
“Aku tahu, Paman… tapi—”
“Kamu tidak berharap akan ada malam pengantin, kan?” potong Arsen tajam. Matanya menajam, dan nadanya mengiris. “Aku laki-laki. Aku tidak tertarik pada barang bekas.”
Kata-kata itu menghantam dada Naya seperti palu godam. Matanya langsung memejam, menahan air yang hendak jatuh. Ia tahu dirinya pernah salah. Ia tahu masa lalunya kelam. Tapi benarkah tak ada sedikit pun cara yang lebih manusiawi untuk berkata?
Jika bisa memilih, ia pun tak ingin berada di sini. Tidak dengan cara seperti ini. Tidak dengan lelaki yang melihatnya seolah ia tak punya harga diri.
Arsen melangkah melewatinya. Tapi belum jauh, ia berhenti sejenak dan menambahkan, “Dan soal anakmu itu…”
Belum sempat kalimat itu selesai, Naya bersuara cepat, penuh pertahanan. “Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri.”
Arsen menoleh pelan, sudut bibirnya terangkat mengejek. “Kamu pikir aku mau bertanggung jawab?” katanya sinis. “Tidak, Naya. Aku terpaksa.”
Naya hanya berdiri terpaku setelah sosok Arsen meninggal dirinya dengan penuh luka, tubuhnya terasa ringan seperti melayang, tapi bukan karena bahagia—melainkan karena jiwanya seperti keluar dari raganya. Ia tak tahu harus melangkah ke mana, tak tahu harus menangis atau menahan napas agar tidak runtuh di tempat.
Kalimat terakhir Arsen menggema di kepalanya seperti gema siksaan. Aku terpaksa… barang bekas… anakmu…
Ia mengusap perutnya perlahan, seolah mencoba menenangkan sesuatu yang bahkan tak tahu apa yang sedang terjadi. Jantungnya berdegup tak menentu, bukan karena cinta, tapi karena takut. Ia takut kehilangan dirinya sendiri, takut tak sanggup bertahan di dunia yang terus menyakitinya.
Dengan langkah gemetar, ia menuju salah satu kamar paling ujung, membuka pintunya dan menutupnya pelan. Bukan karena ingin menjaga ketenangan rumah, tapi karena ia tak punya tenaga untuk membanting apapun. Ia hanya ingin bersembunyi—dari dunia, dari luka, dari Arsen… dan dari dirinya sendiri.
Saat punggungnya menyentuh daun pintu, air mata itu akhirnya jatuh. Tanpa suara, tanpa isak, hanya tetes demi tetes yang membasahi pipinya.
“Aku bukan perempuan baik, aku tahu… tapi anak ini… dia nggak salah,” bisiknya lirih, menggenggam perutnya erat, seolah sedang meminta maaf pada sosok kecil yang tumbuh dalam dirinya. Ia merasa seperti ibu yang gagal bahkan sebelum sempat menjadi ibu.
Ia melangkah pelan menuju ranjang, duduk di ujungnya sambil terus menahan sesak. Bantal di atas kasur langsung dipeluknya erat, seolah hanya benda itu yang bisa mengerti luka yang tak bisa ia ucapkan.
Ia menunduk, memeluk lutut, dan bergumam lirih, “Kalau kamu bisa dengar, Nak… maafin Mama, ya. Mama nggak cukup kuat buat lawan dunia ini. Tapi Mama akan tetap jagain kamu… walau sendirian.”
jangan jangan,jangan deh
double update dong,,, kurang nih