“Silakan pergi dari mansion ini jika itu keputusanmu, tapi jangan membawa Aqila.” ~ Wira Hadinata Brawijaya.
***
Chaca Ayunda, usia 21 tahun, baru saja selesai masa iddahnya di mana suaminya meninggal dunia karena kecelakaan. Kini, ia dihadapi dengan permintaan mertuanya untuk menikah dengan Wira Hadinata Brawijaya, usia 35 tahun, kakak iparnya yang sudah lama menikah dengan ancaman Aqila—anaknya yang baru menginjak usia dua tahun akan diambil hak asuhnya oleh keluarga Brawijaya, jika Chaca menolak menjadi istri kedua Wira.
“Chaca, tolong menikahlah dengan suamiku, aku ikhlas kamu maduku. Dan ... berikanlah satu anak kandung dari suamiku untuk kami. Kamu tahukan kalau rahimku bermasalah. Sudah tujuh tahun kami menikah, tapi aku tak kunjung hamil,” pinta Adelia, istri Wira.
Duka belum usai Chaca rasakan, tapi Chaca dihadapi lagi dengan kenyataan baru, kalau anaknya adalah ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Berlagak Seperti Korban
Para maid yang berada di dapur menahan napas, tak berani bergerak sedikit pun. Semua mata tertuju pada Chaca, menunggu bagaimana reaksi wanita itu terhadap tuduhan yang dilontarkan Adelia.
Namun, Chaca tetap berdiri tegak. Matanya menatap Adelia dengan sorot tenang, tak sedikit pun menunjukkan keterkejutan ataupun rasa bersalah.
"Aku tidak pernah menyuruh Pak Wira datang ke sini, Bu Adel" jawab Chaca dengan suara datar. "Jika Ibu tidak percaya, Ibu bisa tanyakan langsung padanya."
Adelia mendengus sinis. "Oh, jadi kamu ingin berpura-pura suci sekarang? Jangan mengira aku tidak tahu permainanmu, Chaca. Kamu pura-pura tidak peduli, di awal menolak dinikahi, tapi diam-diam menarik Mas Wira untuk perhatian padamu. Kasihan sekali, ya, harus menggunakan anakmu sendiri sebagai alat."
Ucapan itu bagai cambuk bagi Chaca. Tapi, ia tidak menunjukkan reaksi berlebihan. Hanya hatinya yang terasa mencelos, seakan seseorang meremasnya dengan begitu kejam.
"Aku tidak perlu menarik siapa pun," ucap Chaca lirih, tapi tetap tegas. "Aku sudah terbiasa hidup tanpa siapa pun. Aku tidak pernah memohon perhatian dari Pak Wira."
Adelia tertawa mengejek. "Benarkah? Lalu kenapa dia ada di sini? Kenapa dia lebih memilih menginap di kamar perempuan seperti kamu, sementara aku menunggunya di rumah? Apa kamu sudah menggunakan segala cara untuk membuatnya suamiku menjauh dariku?"
Chaca menghela napas panjang, menenangkan dirinya. Ia tahu percuma berdebat dengan Adelia, wanita itu tidak akan pernah mau mengerti. Padahal sejak awal ia sudah mengingat ‘apakah siap berbagi suami dengan wanita lain?’ Dan, terjadilah sikap negatif seperti ini, ujung-ujungnya ia terkesan sedang merebut suami orang.
"Jika Bu Adel ingin jawaban, temui suamimu dan tanyakan langsung padanya," kata Chaca, kali ini suaranya lebih tegas. "Jangan datang ke sini dan mengumbar kemarahanmu padaku. Aku tidak punya kewajiban untuk menjelaskan apa pun padamu."
Mata Adelia membelalak marah. "Kurang ajar! Kamu pikir aku tidak tahu permainanmu?!"
Chaca tetap diam. Ia tidak ingin membuang energi untuk sesuatu yang tidak ada gunanya. Namun, sebelum Adelia sempat melanjutkan makian, suara langkah kaki lain terdengar dari arah tangga.
Wira muncul, masih mengenakan pakaian tidurnya, dengan Aqila yang tertidur di lengannya. Tatapannya langsung menangkap pemandangan yang terjadi di depan matanya—Chaca yang berdiri dengan ekspresi dingin, sementara Adelia tampak marah besar.
"Ada apa ini?" tanya Wira, suaranya terdengar lelah.
Adelia segera berbalik, matanya yang memerah karena emosi langsung menatap suaminya dengan tajam. "Mas sendiri yang harus menjelaskan, Wira! Kenapa Mas ada di sini? Kenapa Mas meninggalkan aku yang sedang sakit dan malah memilih bermalam di mansion ini?! Apa karena perempuan ini?!"
Wira terdiam, menatap Adelia dengan ekspresi yang sulit diartikan. Lalu, ia melirik ke arah Chaca, yang masih berdiri dengan kepala tegak, wajahnya tanpa ekspresi.
"Aku datang ke sini untuk Aqila, Adel,” jawab Wira akhirnya, suaranya tenang tapi tegas. "Bukan karena siapa pun. Lagi pula ini mansion orang tuaku."
Adelia tertawa penuh sarkasme. "Oh, jadi sekarang Mas mendadak ingat kalau Mas sekarang sudah punya anak, dan melakukan peran sebagai ayah? Setelah sekian lama aku tidak bisa memberikan anak untuk Mas?”
Wira menggeleng. "Aku hanya ingin melakukan tanggung jawabku. Bukan berarti aku meninggalkanmu. Apa kamu tidak ingat aku telah menikahi Chaca, dan sekarang Aqila tanggung jawabku sebagai papa sambungnya. Kamu jangan mendadak lupa, Adel!"
"Omong kosong!" seru Adelia. "Mas hanya mencari alasan! Kalau benar Mas ingin bertanggung jawab, Mas tidak perlu menginap di sini! Bilang saja Mas sudah mulai kepincut pada janda adikmu ini!”
Keheningan menyelimuti mereka. Chaca menatap Wira dengan tatapan kosong. Dalam hati, ia bertanya-tanya, mengapa ia masih harus menghadapi situasi seperti ini? Mengapa ia harus terus menjadi bayangan di antara mereka?
Adelia menatap Chaca dengan penuh kebencian. “Chaca, seharusnya kamu tahu posisimu yang sebenarnya. Kamu dinikahi oleh suamiku, bukan berarti aku membagi suamiku. Dan, kamu bisa seenaknya menguasai suamiku!” sentak Adelia yang masih dikuasai dengan cemburunya.
Chaca mengulum senyum tipisnya, lalu ia menatap suami mereka yang masih berada di antara mereka. “Sejak awal sudah aku peringati, Bu Adelia. Apakah sanggup melihat suami memiliki istri yang lain? Akhirnya kejadian bukan? Anda berdua yang memaksa aku menikah dengan Pak Wira, dan sekarang aku bagaikan perebut suami orang, padahal aku tidak merebut suami siapa pun. Anda sendiri yang meminta aku mau dinikahi oleh suami Anda. Sekarang datang-datang bagaikan korban dan terkesan aku sebagai pelakor! Jika keadaannya seperti ini, tolong Bu Adel suruh suaminya menceraikanku. Aku akan menerimanya dengan ikhlas dan senang hati!”
***
“Chaca, masuk ke kamar sekarang juga!” perintah Wira berusaha menekan intonasi suaranya tidak meninggi karena sedang menggendong Aqila, tapi hatinya kembali panas mendengar permintaan istri keduanya.
“Kenapa, saya harus kembali ke kamar? Bukankah masalah ini memang harus secepatnya di selesaikan, Pak Wira? Ketimbang di antara kita bertiga ada kesalahpahaman?” tanya Chaca, menolak menuruti permintaan suaminya.
“Saya bilang masuk ke kamar, dan saya yang akan bicara dengan Adel!” sentak Wira akhirnya suaranya meninggi.
Aqila yang sempat tertidur kembali dalam gendongan Wira tampak menggeliat, suara tinggi pria itu membuat tidurnya terganggu. Wira yang menyadarinya langsung memperbaiki posisi mengendong bayi cantik, dan menepuk lembut punggung Aqila.
Mata Adelia memanas melihat perhatian suaminya pada keponakannya. Rasa cemburunya semakin bertambah, seharusnya Wira bersikap seperti itu kepada anak mereka, tapi sayangnya ia tak bisa mengandung. Wajarkan jika Adelia jadi sakit hati, iri, dan cemburu?
“Ada apa ini? Pagi-pagi Mama dengar sudah ada yang bertengkar?” Suara Mama Maryam terdengar, dan benar saja omanya Aqila datang dengan keningnya yang mengerut.
Adelia menarik napasnya dalam-dalam, ia terlihat tidak menyukai kedatangan mama mertuanya.
“Tidak ada pertengkaran Mah, hanya diskusi kecil saja,” balas Wira berusaha tenang.
Mata Mama Maryam menyipit seakan tidak memercayai perkataan putranya. “Benarkah, tidak ada pertengkaran? Dan, Adel, kapan kamu datang?” tanya Mama Maryam.
“Barusan, Mah,” jawab Adelia datar.
Chaca menyunggingkan senyum mirisnya. “Memang tidak ada pertengkaran, Mah. Hanya ada selisih paham, dan aku meminta Pak Wira untuk menyelesaikannya sekarang juga. Tapi aku malah disuruh masuk ke kamar. Padahal ini adalah kesempatan yang baik. Dan, aku menerima keputusan apa pun. Untuk menjadi janda yang kedua kalinya pun aku siap,” ujar Chaca dengan berani mengutarakan, ia tidak mau lagi seperti dirinya yang dulu, hanya diam dan menerima keputusan dari keluarga suaminya.
Wira kembali menatap istri keduanya dengan sorot matanya yang tajam, Chaca yang tidak sengaja beradu pandang, tersenyum miring.
“Ya, kamu siap jadi janda, karena pria yang semalam, 'kan! Pria yang selalu mendekati kamu itu, ‘kan!” Akhirnya apa yang ia tahan sejak malam, dan berusaha menepis perasaan cemburunya menyeruak ke permukaan.
Bersambung ... ✍️
lanjut