Evan Dinata Dan Anggita sudah menikah satu tahun. Sesuai kesepakatan mereka akan bercerai jika kakek Martin kakek dari Evan meninggal. Kakek Martin masih hidup, Evan sudah tidak sabar untuk menjemput kebahagiaan dengan wanita lain.
Tidak ingin anaknya menjadi penghambat kebahagiaan suaminya akhirnya Anggita
rela mengorbankan anak dalam kandungan demi kebahagiaan suaminya dengan wanita lain. Anggita, wanita cantik itu melakukan hal itu dengan terpaksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda manik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lebih Cepat Lebih Bagus
Seorang pria tampan menghentikan mobilnya di depan sebuah gedung bertingkat. Pria itu adalah Evan Dinata. Pria yang menjadi pimpinan tertinggi di Perusahaan Dinata Berlian Sejahtera sejak dua tahun yang lalu.
Tidak seperti namanya yang ada embel-embel berlian, Perusahaan yang didirikan oleh kakek Martin Dinata itu bergerak dalam pengolahan makanan dan minuman.
Pemasarannya sudah menguasai pasar dalam negeri dan negara tetangga. Produknya yang mengutamakan kualitas membuat produk yang dikeluarkan oleh perusahaan tersebut digemari oleh masyarakat membuat perusahaan tersebut diperhitungkan.
Tidak hanya dari segi kualitas produk. Para sumber daya manusia yang bekerja juga di perusahaan tersebut adalah orang orang yang memiliki tingkat keahlian di bidangnya. Kakek Martin sangat menghargai orang orang yang bekerja keras di perusahaannya dengan memberinya imbalan yang lebih dari layak.
Kini pria itu sudah menurunkan kakinya dari mobil. Melangkah cepat menuju pintu utama gedung itu dimana Asistennya sudah menunggu kedatangannya.
Para karyawan menunduk hormat ke arah Evan dan asistennya yang bernama Rico. Evan hanya menganggukkan kepalanya mendengar sapaan sebagian karyawan dan melangkah cepat menuju lift khusus untuk dirinya.
Tidak ada senyum seperti ciri khas manusia ramah yang terpancar dari wajahnya. Sikapnya yang dingin membuat para karyawannya tidak berani menatap lama pimpinan mereka.
Tidak lama setelah Evan dan asistennya Rico berada di ruangan Evan. Seseorang mengetuk pintu ruangan itu.
Pintu terbuka setelah terdengar asisten Rico menyuruh masuk. Pria dari divisi keuangan itu duduk setelah asisten Rico menyuruhnya duduk. Sedangkan Evan mengulurkan tangannya menerima berkas dari bawahan tersebut.
"Laporan apa ini. Kamu bisa kerja gak sih."
Evan membanting berkas itu tepat di hadapan bawahan. Evan memulai jam kerjanya pagi ini dengan marah. Pria itu menatap bingung berkas itu dan mengambilnya. Dia mengamati berkas itu sebentar. Menurutnya tidak ada yang salah dengan laporan yang dia tulis di kertas kertas tersebut.
"Tapi pak...."
"Tidak ada tapi tapian. Keluar kamu. Jika kamu tidak bisa memperbaiki laporan itu dengan baik. Maka kamu harus angkat kaki dari perusahaan ini."
Pria itu tidak berani lagi menatap Evan sang pimpinan. Dia hendak keluar dari ruangan tapi Rico meminta berkas itu sehingga bawahan itu tertunda keluar dari ruangan yang menakutkan itu.
"Keluarlah," perintah Rico. Dengan cepat pria itu keluar dari ruangan. Rico masih menahan berkas itu di tangannya.
"Hanya kesalahan kecil. Mengapa kamu memarahi dia sekeras itu?" tanya Rico tenang setelah memeriksa laporan itu.
"Kesalahan kecil akan menjadi kesalahan besar jika tidak ditegur. Sudah berapa kali aku menemukan kesalahan yang sama di setiap laporannya."
"Jangan berlebihan. Jika kamu tidak memberitahu kesalahannya bagaimana dia memperbaikinya. Aku rasa kamu yang terlalu sensitif hingga karena kesalahan kecil seperti itu kamu mengeluarkan tenaga untuk marah."
"Diam lah Rico. Ingat batasan kamu. Kamu hanya asistenku bukan penasehat aku," kata Rico kesal.
"Ada apa denganmu. Apa kamu datang bulan. Biasanya hanya wanita yang datang bulan yang gampang marah atau sensitif."
"Rico. Keluar!.
"Atau apa kamu bertengkar dengan Anggita?.
Rico bukannya keluar menuruti perkataan atasannya justru semakin cerewet bertanya tentang rumah tangga Evan. Rico memang bukan hanya sekedar asisten bagi Evan. Rico adalah sahabatnya. Mereka sudah bersahabat sejak duduk di Sekolah menengah umum.
"Diam lah Rico. Jangan terlalu ikut campur dengan pribadiku."
"Bukan bermaksud ikut campur. Tapi pernahkah kamu berpikir jika kejadian tadi adalah akibat tindakanmu?.
"Maksud kamu?.
"Kamu memecat Anggita dari kantor ini setelah dia istrimu. Tapi lihat. Orang yang kamu rekomendasikan menggantikan Anggita tidak sepintar yang kita duga. Entah apa yang akan dikatakan oleh kakek Martin jika di perusahaan ini sudah ada nepotisme," kata Rico tenang. Bawahan yang dimarahi oleh Rico tadi adalah orang bawaan Evan. Hal yang tidak pernah terjadi di perusahaan ini. Semua karyawan direkrut melalui proses seleksi ketat. Tapi khusus untuk menggantikan Anggita yang dia pecat satu tahun yang lalu tidak melalui proses seleksi.
Evan hanya menarik nafas panjang. Pria berusia 30 tahun itu membenarkan apa yang dikatakan oleh Rico di dalam hatinya. Satu tahun yang lalu, dia memecat Anggita hanya karena kesalahan kecil demi membalaskan dendamnya. Saat itu dia tidak suka melihat Anggita setelah mengeluarkan jika kakek Martin menjodohkan dirinya dengan Anggita. Dia berharap setelah memecat Anggita karena alasan yang dia buat akan membatalkan perjodohan mereka. Tapi rencananya hanya berhasil sebatas memecat Anggita. Kakek Martin tetap menjodohkan mereka hingga terjadi pernikahan.
Siapa yang tidak mengakui kepintaran Anggita di kantor ini. Gadis manis berusia belia yang sudah menyandang gelar sarjana di usia 21tahun. Setelah lulus kuliah, dia diterima bekerja di peringkat ini setelah melewati seleksi yang sangat ketat. Selama bekerja, Anggita bisa menunjukkan dirinya orang yang bertanggungjawab di setiap tugas yang dibebankan kepada dirinya. Tapi sayangnya, Anggita bisa bekerja di perusahaan ini hanya satu tahun.
"Selagi mulutmu tidak bocor, maka bisa dipastikan kakek tidak akan mengetahuinya," jawab Evan ketus.
"Aku tidak habis pikir denganmu Evan. Ada apa denganmu. Menurutku. Ada baiknya kamu mengajak Anggita kembali bergabung di perusahaan ini. Dia wanita yang pintar dan kakek mengakuinya. Aku rasa kepintarannya akan berguna untuk kemajuan perusahaan ini."
Evan tertawa mendengar perkataan asistennya. Mana mungkin itu terjadi. Yang ada Evan ingin menceraikan istrinya itu secepat mungkin supaya terbebas dari pernikahan perjodohan yang tidak pernah dia inginkan.
"Mengajak dia bergabung di perusahaan ini hanya membuat dia besar kepala. Kamu pikir siapa dirimu sehingga berani beraninya memberikan pendapat murahan itu," kata Evan sudah mulai terpancing emosi.
"Maaf kalau aku salah memberi pendapat. Silakan berbuat sesuka kamu terhadap perusahaan ini," kata Rico akhirnya. Dia memilih mengalah daripada berdebat yang berujung bertengkar dengan Evan. Sebagai sahabat, Dia sudah mengetahui tabiat baik dan buruk sahabatnya itu. Tidak ingin berhadapan terlalu lama dengan Evan. Rico memilih keluar dari ruangan itu.
Evan menyandarkan punggungnya ke kursi kebesarannya. Dia memejamkan matanya. Entah apa yang ada dipikiran saat ini. Sesaat kemudian, Evan membuka matanya setelah seseorang masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk terlebih dahulu.
"Mama."
"Selamat pagi sayang," sapa mama Anita sambil menghampiri putra semata wayangnya. Evan berdiri dan menyambut pelukan sang mama.
"Duduk ma," kata Evan sambil membantu Mama Anita duduk di sofa.
"Apa istrimu sudah menandatangani surat perceraian kalian," tanya mama Anita langsung ke inti pembicaraan.
"Belum ma. Dia menolak bercerai selama kakek masih hidup."
"Sudah aku duga. Dia pasti akan menggunakan taktik licik itu untuk memperlama perceraian kalian," kata mama Anita penuh kebencian. Dia sama sekali tidak menyukai Anggita.
"Sudahlah ma. Lagipula kakek juga umurnya tidak lama lagi. Itu artinya perceraian kami juga tidak lama lagi."
"Tapi lebih cepat lebih baik Evan. Paksa dia menandatangani surat perceraian itu secepatnya. Mama bisa membungkam mulutnya untuk menyembunyikan perceraian kalian. Bagaimana kalau ternyata umur kakek masih panjang. Dokter bukan Tuhan. Bisa saja perkiraan dokter itu meleset. Apa kamu ingin terus hidup dengan orang yang kamu tidak cinta?.
"Sudahlah ma. Jangan memaksaku. Sabarlah. Tinggal hitungan minggu lagi."
"Tapi yang aku mau. Kamu cepat menceraikan."
"Ma, pulanglah. Aku tidak mau berdebat tentang itu."
"Mama tidak mau tahu. Minggu depan aku harus mendengar gugatan kamu sudah terdaftar di pengadilan."
Evan memijit pelipisnya. Sikap mamanya yang terlalu memaksa membuat kepalanya berdenyut. Evan tidak mempedulikan lagi mamanya yang sudah beranjak dari duduknya dan keluar dari ruangan itu.
tapi di ending bikin Sad
senggol dong
tapi mengemis no.